Islam Solusi Tuntas Berantas Tikus Berdasi




Oleh: Tri S, S.Si

Kasus korupsi di Indonesia telah menjalar ke semua lini kehidupan. Hal ini tampak nyata dengan berbagai temuan kasus korupsi dan taraf hidup masyarakat yang kebanyakan masih jauh dari sejahtera. Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Direktur Utama (Dirut) PT Waskita Karya Destiawan Soewardjono (DES) sebagai tersangka dugaan korupsi penggunaan fasilitas pembiayaan bank PT Waskita Karya Tbk (WSKT) dan PT Waskita Beton Precast Tbk (WSBP). Tim Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), pun melakukan penahanan terhadap DES yang baru terpilih kembali sebagai Dirut di perusahaan konstruksi milik negara tersebut. DES menjadi Dirut WSKT dua periode setelah ditunjuk pada medio Februari 2023.


Menurut Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Ketut Sumedana, tersangka DES adalah pihak yang memerintahkan dan menyetujui pencairan dana supplay chain financing (SCF). Dari penyidikan terungkap dokumen dalam pencairan SCF tersebut palsu. Menurutnya, pencairan SCF untuk pembayaran utang perusahaan. Semua utang perusahaan tersebut terjadi karena adanya proyek-proyek pembangunan dan pengerjaan fiktif yang dilakukan PT Waskita Karya dan PT Waskita Beton Precast atas permintaan tersangka DES (kompas.id, 15/04/2023).


Banyak faktor yang menyebabkan korupsi. Faktor yang paling mendasar adalah lemahnya ketakwaan karena agama dipisahkan dari kehidupan (sekuler). Selain itu, prioritas kehidupan masyarakat yaitu mendapatkan materi (kapitalis). Tidak heran, segala cara dilakukan untuk mendapatkan materi, termasuk mempertahankan jabatan dan kekuasaan demi kelanggengan kepentingan kelompoknya.
Kalau sudah begini, janji kesejahteraan masyarakat hanya isapan jempol saja. Sebaliknya, korupsi semakin tumbuh subur. Mirisnya, korupsi dilakukan melalui jalan kebijakan yang mengatasnamakan kepentingan masyarakat. Di sisi lain, lemahnya penegakkan hukum, bagaikan pupuk yang semakin menyuburkan tindakan korupsi. Apalagi sanksi yang diterapkan tajam ke bawah dan tumpul ke atas.


Sehingga, sanksi tersebut terkesan hanya untuk masyarakat lemah. Apalagi lembaga pemasyarakatan yang idealnya sebagai tempat penyadaran atas tindakan kejahatan korupsi yang dilakukan, dilengkapi dengan fasilitas mewah.
Selain faktor lemahnya ketakwaan, ongkos politik menjadi pemimpin pada sistem kapitalis-sekuler sangat tinggi (high cost), sehingga tatkala seseorang memenangkan pemilu/pemilukada, maka dirinya haruslah mengembalikan modal dari pemodal. Dana untuk pengembalian modal tersebut antara lain diperoleh dari fee proyek melalui berbagai kebijakan yang dibuat. Yang mana kebijakan tersebut tentunya menguntungkan pemodal dan kelompoknya.


Berbeda dengan itu, jika pemerintah menggunakan sistem pemerintahan Islam, maka otomatis ketakwaan akan terwujud mulai dari jenjang keluarga, masyarakat, dan negara. Dengan kata lain, masyarakat dan pemerintah sama-sama takwa. Sehingga, masyarakat menaati kebijakan pemerintah yang sesuai syariat dan pemerintah pun menjalankan pemerintahan untuk mengharap ridha Allah Swt. yang berarti berujung kemaslahatan masyarakat. Dalam Islam, menjadi pemimpin haruslah amanah karena berkonsekuensi pertanggungjawaban dunia dan akhirat. Selain itu, metode pemilihan kepala negara bukan melalui pemilu yang membutuhkan biaya besar, tetapi melalui pembaiatan setelah memenuhi syarat-syarat sesuai syariat. Sanksi yang diberikan pun berefek jera, mulai dari ta’zir berupa pengumuman di media massa, penyitaan harta, kurungan, hingga hukuman mati. Karena itu, umat sangat merindukan kembali tegaknya sistem Islam. 


Sebagai antitesis dari penerapan Kapitalisme, Islam jadi jawabannya. Penerapan sistem Islam dengan basis ketakwaan kepada Allah Swt. melahirkan individu-individu yang menjadikan halal haram sebagai standar hidupnya. Sehingga kecil kemungkinan terjadi berbagai praktik manipulatif di dalam lembaga pemerintahan. Islam telah menggariskan bahwasanya setiap muslim yang diamanahi menjadi pemimpin, maka ia akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah kelak. Dan tentu ini memberikan dampak psikologis yang luar biasa bagi seseorang yang benar-benar bertakwa kepada Allah Swt. Alhasil, jika dari akarnya diperbaiki, dirombak, diubah sesuai fitrah manusia, maka bukan tidak mungkin korupsi lenyap dari proses pemerintahan. Bahkan, para pemimpin yang hadir di tengah-tengah masyarakat pun adalah para pemimpin yang begitu dicintai rakyatnya. Di samping penerapan sistem yang mumpuni, Islam pun telah menetapkan langkah-langkah bagaimana supaya kasus korupsi tidak menjamur di dalam proses penyelenggaraan pemerintahan.


Pertama, sistem penggajian yang layak. Aparat pemerintahan sebagai pelayan rakyat, ia berkewajiban menunaikan tugasnya dengan sempurna. Memberikan pelayanan yang optimal. Namun, mereka pun tetaplah manusia yang mempunyai kebutuhan hidup. Sehingga negara wajib memberikan gaji yang layak supaya aparatur pemerintah bisa fokus bekerja dan tidak tergoda berbuat curang.

Kedua, larangan menerima suap dan hadiah. Tentang suap Rasulullah bersabda, “Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap.” (HR. Abu Dawud). Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur.” (HR. Imam Ahmad).

Ketiga, perhitungan kekayaan. Khalifah Umar bin Khathab pernah melakukan perhitungan kekayaan dan pembuktian terbalik dan ini menjadi cara yang ampuh untuk mencegah korupsi. Semasa menjabat pun, Khalifah Umar menghitung kekayaan para pejabat di awal dan akhir jabatannya. Bila terdapat kenaikan yang tidak wajar, maka diminta membuktikan bahwa kekayaannya itu didapat dengan cara yang halal.

Keempat, keteladanan pemimpin. Pemimpin berkewajiban untuk melakukan ri’ayah syu’unil ummah (mengatur urusan umat) dan pengaturan ini harus dicontohkan kepada bawahannya. Sebagaimana Khalifah Umar pernah menyita sendiri seekor unta gemuk milik puteranya, Abdullah bin Umar, karena didapati tengah digembalakan bersama di padang rumput miliki baitulmal dan ini dinilai sebagai bentuk penyalahgunaan fasilitas negara.

Kelima, hukum yang tegas. Penegakkan hukum dalam Islam tidak tebang pilih. Tanpa memandang apakah ia keluarga, kerabat atau kolega. Sebagaimana yang akan dilakukan Rasulullah kepada puterinya, jika benar Fatimah anaknya yang mencuri, “Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya. (HR. Bukhari). 

Keenam, pengawasan masyarakat. Masyarakat berperan sebagai kontrol sosial yang mempunyai kewajiban untuk senantiasa melakukan muhasabah ke berbagai elemen. “Barang siapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangan (tindakan atau kekuasaan)nya. Barang siapa tidak mampu melakukannya, maka hendaklah ia mengubahnya dengan lisannya. Barang siapa yang tidak mampu melaksanakannya, maka hendaklah ia mengubahnya dengan hatinya. Dan yang terakhir itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)


Paripurnanya Islam yang memberikan syariat dari hulu ke hilir, tercatat telah berhasil meminimalisasi tindak kejahatan di tengah-tengah masyarakat. Sistem ini mampu mengantarkan negara menjadi sebuah peradaban yang gemilang pada masanya. Bila sudah begini, apakah sistem Kapitalisme dengan berbagai nilainya yang rusak itu akan tetap dikukuhkan sebagai sistem tata negara? 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak