Oleh: Uswatun Maghfirah
Terjadi kembali, kasus pembulian siswa sekolah kembali mencuat ke ranah publik. Bahkan kali ini korban bullying dikabarkan meregang nyawa akibat cedera yang dialami. Hal ini terjadi karena aktivitas bullying telah berkembang bukan hanya pada aktivitas verbal, tetapi pada aktivitas fisik (Kompas.com. 20/5). Kasus bullying seolah tidak kunjung usai, bahkan terkesan semakin lama semakin anarkis. Mirisnya lagi hal ini menjangkiti seluruh lini perkembangan sekolah generasi muda, baik di tingkat dasar hingga menengah berbagai kasus bullying acap kali terdengar. Pertanyaannya mengapa generasi muda semakin anarkis dan amoral?
Ketika ditelaah lebih dalam, perilaku manusia dipengaruhi oleh informasi yang ada di dalam otaknya. Informasi tersebut kemudian akan berikatan satu dengan yang lain sehingga menghasilkan sebuah kesimpulan bahkan sebuah standart atas suatu aktivitas. Sehingga informasi ini menjadi hal penting yang akan mempengaruhi terbentuknya karakter dan sikap dari seorang manusia itu sendiri. Proses pembentukan ini bisa disebut dengan proses pendidikan. Proses pendidikan yang disusun dengan sistematis dengan membawa nilai dan tujuan tertentu dapat disebut sebagai sistem pendidikan. Setidaknya ada 3 pemeran sistem pendidikan, pertama adalah keluarga sebagai unit terkecil masyarakat, kedua instansi pendidikan dan ketiga adalah masyarakat itu sendiri. Ketiganya memiliki peran masing masing dalam proses pendidikan generasi muda.
Ketiga aktor pendidik tersebut sebagai pembentuk corak generasi muda tentang sudut pandang kehidupan sesuai dengan sudut pandang yang diambil oleh masing masing aktor tersebut. Sudut pandang dari ketiganya sendiri bisa saja sama sehingga saling menguatkan ataupun bahkan saling bertentangan sehingga melemahkan satu sama lain. Sudut pandang itu sendiri dibangun dari idealitas kehidupan. Jika idealitas yang diambil sebagai sudut pandang adalah idealitas yang benar maka terbentuk generasi gemilang. Hal ini yang terjadi ketika Islam diambil sebagai sebuah idealitas oleh ketika aktor pendidik tersebut.
Islam sebagai Idealisme
Islam sebagai agama ruhiyah sekaligus agama siyasiyah memberikan aturan lengkap kepada manusia terkait bagaimana berinteraksi dengan Tuhan hingga berinteraksi dengan sesama manusia. Islam menjelaskan bahwa setiap perbuatan baik itu interaksi manusia dengan Tuhan maupun dengan sesama manusia, semuanya bernilai ibadah asalkan sesuai dengan aturan Islam itu sendiri dan dijalankan karena mengharap ridho Tuhannya semata. Sehingga seseorang yang memahami konsep ini akan sangat menjaga interaksinya dengan sesama manusia sesuai aturan Islam.
Islam sendiri menjelaskan bahwa setiap manusia harus saling mengasihi satu sama lain, tidak diperkenankan untuk saling mencela apalagi menyakiti satu sama lain. Konsep ini sesuai dengan hadist Rasulullah dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Ahmad, At Tirmidzi dan Ibnu Hibban dalam shahihnya. Rasulullah bersabda yang artinya “Bukan termasuk dari kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua, dan tidak menyayangi yang lebih kecil, serta orang yang tidak memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah perbuatan munkar”,
Konsep di atas harusnya bukan hanya sebagai wacana atau sekedar dihafal akan tetapi diajarkan hingga mendarah daging pada setiap kaum muslimin. Sehingga ketika ketiga aktor pendidikan mengambil Islam sebagai idealitas mereka maka ketiganya mengimplementasikan hal tersebut.
Keluarga Sebagai Pendidik Pertama
Keluarga adalah unit terkecil masyarakat sekaligus tempat pertama seseorang belajar ataupun menempuh proses pendidikan, karena disanalah seseorang pertama kali tumbuh dan berkembang menjadi manusia. Oleh karena itu maka, keluarga mampu membentuk idealitas dengan berbagai cara seperti kebiasaan yang dibangun, aturan keluarga bahkan pola asuh. Keluarga yang di dalamnya terdapat idealism Islam tentu akan otomatis seluruh kebiasaan keluarga dengan berdasarkan aturan Islam. Termasuk bagaimana memperlakukan sesama manusia baik muslim maupun non muslim, salah satunya terkait bagaimana memperlakukan teman, adik kelas ataupun kakak kelas. Sebelum pemahaman terkait aturan ini diajarkan kepada anak anak, hal yang dilakukan keluarga adalah mengenalkan Tuhannya kepada mereka, menanamkan kebutuhan mereka atas Tuhan dan konsekuensi ketika seseorang beriman. Sehingga anak anak akan dengan senang hati menggunakan Islam sebagai idealitas mereka di dalam kehidupan baik di tengah keluarganya maupun di luar lingkungan keluarga.
Sekolah sebagai Instansi Pendidikan
Sekolah sebagaimana yang diketahui sebagai sebuah instansi pendidikan formal yang diharapkan mampu membentuk generasi yang intelek, beradab dan bermoral. Untuk membentuk generasi yang semacam itu maka diperlukan idealism yang benar sebagai dasar kurikulum pendidikan. Ketika Islam digunakan sebagai idealism instansi pendidikan maka nilai Islam akan diajarkan secara sistematis dan terstruktur kepada peserta didik. Sehingga generasi muda tidak hanya ahli di bidang sains dan teknologi akan tetapi mampu memilih baik dan buruk berdasarkan sudut pandang Islam sebagai idealisme yang diambil.
Hal ini berbeda, sekolah menganggap agama tidak selayaknya digunakan dalam kehidupan di keseharian. Sehingga generasi yang dilahirkan dari instansi pendidikan adalah generasi yang bebas atau liberal. Generasi ini menentukan baik dan buruk berdasarkan manfaat yang akan diterima oleh masing masing individu mereka. Sehingga, tidak heran jika generasi yang ada justru akan bertindak sesuka hati, egosentris dan individualis.
Masyarakat Sebagai Pendidik Generasi.
Masyarakat berperan penting dalam mendidik generasi muda, karena implementasi dari sebuah idealism yang diambil akan mudah dilihat ketika generasi melihat bagaimana pola kehidupan masyarakat. Oleh karena itu ketika masyarakat mengambil Islam sebagai idealitasnya, maka di dalam keseharian baik dalam kehidupan online maupun offline akan tampak interaksi antar manusia yang saling tolong menolong untuk kebaikan, saling menyayangi, saling mengasihi, menghormati sesama dan lain lain. Bukan sebaliknya seperti viralnya aksi pengeroyokan, penganiayaan, bullying, mencaci maki dan seterusnya.
Generasi akan tersuasanakan dan mudah menirukan implementasi kebaikan tersebut, sekaligus masyarakat ini akan aktif dalam aktivitas saling menasehati ketika menemui seseorang yang melakukan aktivitas tidak sesuai dengan aturan yang ada. Hal ini akan membantu mengontrol terbentuknya generasi yang sesuai dengan aturan. Sedangkan gambaran masyarakat seperti itu tidak ditemukan dalam masyarakat sekarang karena masyarakat dengan paham sekuler liberal menganggap hal tersebut bukan persoalan yang perlu diatasi.
Ketika proses pendidikan dilakukan oleh seluruh aktornya dengan menggunakan idealitas yang benar. Maka terbentuknya generasi muda yang intelek, beradab, bermoral serta religious bukan hal yang sulit. Namun, hal itu hanya bisa tercapai ketika idealisme institusi yang menaunginya juga benar. Karena seluruh elemen masyarakat dibentuk dan dipengaruhi oleh idealism institusi yang menaungi. Oleh sebab itu menjadi hal yang penting dan mendesak adanya sebuah institusi yang memiliki idealisme yang benar. Lantas, siapa pemilik idealism yang benar selain pemilik alam semesta. Allah Subhanahu wa ta'ala. Wallahualam.
Tags
Opini