ISLAM, AS A WAY OF LIFE FOR MARRIED COUPLE



 
Oleh : Ummu Aqeela
 
“Bapak pergi ke kantor. Ibu pergi ke pasar” 
adalah kalimat standar yang sering kita temui di buku pelajaran sekolah. Namun sekarang, ternyata peran gender tersebut berubah: ibu pergi ke kantor, bapak mengurus rumah.
 
Ada yang pernah dengar istilah stay-at-home dad? Jadi ini adalah konsep baru berumah tangga. Sosok ayah yang dulunya harus yang mencari rezeki, sekarang di zaman modern sudah dibalik. Di zaman modern seorang ayah bisa berperan menggantikan sosok ibu rumah tangga. Stay-at-home dad ialah sebuah konsep berkeluarga yang di dalamnya seorang ayah hanya berdiam diri di rumah tanpa bekerja dan hanya membesarkan anak-anak. Sekilas terlihat tabu, namun kini sudah dianggap lumrah bahkan menjadi trend yang kian merebak. 
 
Ditambah lagi dengan dukungan narasi-narasi feminis tentang kesetaraan gender. Dimana laki-laki (suami) tidak harus menjadi tulang punggung keluarga. Suami boleh mengurus urusan domestik (rumah), dan sang istri bekerja asal dalam kesepakatan kedua belah pihak. 
 
Konsep yang demikian tersebut tentu tidak bisa diterapkan dalam keluarga muslim. Karena dalam Islam Allah telah mengatur hak dan kewajiban suami istri secara adil. Dimana mencari naflah adalah tugas dan kewajiban suami sebagai kepala keluarga. Saat seorang suami diberi kemampuan untuk bekerja namun dengan sengaja dia meninggalkannya, dan memilih melakukan pekerjaan  rumah sedang istri berperan sebaliknya yaitu mencari nafkah. Maka dalam syari’at dia telah dianggap melalaikan tugasnya dan melakukan perbuatan dosa yang digolongkan para ulama menjadi salah satu dosa besar.
 
Karena dalam syari’at Islam setiap suami kelak akan dimintai pertanggungjawaban atas kewajibannya dalam mencari nafkah atau memenuhi hak keluarganya. 
Rasullulah SAW bersabda,
“Cukuplah seseorang itu berdosa bila dia menyianyiakan ,orang yang menjadi tanggungannya.” [ HR Ahmad dan Abu Daud ]
 
Sekalipun kedua pihak menyetujui atau ridho jika dalam berumah tangga mereka bertukar peran yaitu suami dirumah mengurus segala pekerjaan rumah dan istri bekerja mencari nafkah, hal ini tetaplah tidak bisa diterapkan dan dibenarkan. Karena dalam Islam perintah suami sebagai kepala keluarga dan berkewajiban menafkahi keluarganya adalah perintah langsung dari Allah.
 
Istri tidak dikenakan kewajiban mencari dan memberi nafkah. Jika istri bekerja maka hasil dari jerih payahnya adalah hak nya, kalaupun dimanfaatkan untuk kebutuhan rumah tangganya maka pahala sedekah menjadi miliknya. Lain halnya jika suami tetap memenuhi kewajiban mencari nafkah dengan sekaligus juga membantu istri untuk mengerjakan pekerjaan domestik (rumah) maka hal ini diperbolehkan bahkan Rasullulah sendiri pun memberi teladan atas perbuatan tersebut. 
Dari Al Aswad ia bertanya pada Aisyah ra, “Apa yang Nabi SAW lakukan ketika berada ditengah keluarganya?” 
Aisyah menjawab “Rasullulah SAW biasa membantu pekerjaan keluarganya dirumah. Jika tiba shalat, beliau berdiri dan bersegera menuju shalat”
 
Dalam ajaran Islam, pernikahan merupakan akad yang sangat kuat dan salah satu ibadah yang terikat dengan aturan-aturan yang telah digariskan oleh Allah SWT. dan RasulNya. Oleh karena itu, pernikahan bukan perkara main-main, dan untuk menuju ke sebuah ikatan pernikahan, calon suami isteri haruslah mempunyai bekal pengetahuan tentang bagaimana cara membina rumah tangga yang sakinah mawaddah dan rahmah sesuai nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an.
 
Penciptaan laki-laki dan perempuan dari jenis manusia merupakan salah satu diantara bukti yang menunjukkan keesaan-Nya. Dengan menjadikan manusia berpasang-pasangan, Allah SWT. ingin memberikan ketenangan bagi pasangan tersebut dan untuk bersenang-senang diantara keduanya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Ar-Rum ayat 21 sebagai  berikut:
 
وَ مِنْ اٰیٰتِهٖۤ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْۤا اِلَیْهَا وَ جَعَلَ بَیْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّ رَحْمَةًؕ-اِنَّ فِیْ ذٰلِكَ لَاٰیٰتٍ لِّقَوْمٍ یَّتَفَكَّرُوْنَ.
 
Artinya: “dan di antara tanda-tanda kebesarannya ialah dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dia menjadikan diantara kamu rasa kasih dan sayang.”
 
Akad pernikahan dalam syariat Islam tidak sama dengan akad kepemilikan. akad pernikahan diikat dengan memperhatikan adanya kewajiban-kewajiban di antara keduanya. Dalam hal ini suami mempunyai kewajiban yang lebih berat dibandingkan istrinya berdasarkan firman-Nya 
“akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya”. Kata satu tingkatan kelebihan dapat ditafsirkan dengan firmannya : “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita…” (QS. An-Nisa ayat 34). 
Pada dasarnya kewajiban suami juga merupakan hak isteri, sehingga jika berbicara tentang kewajiban suami terhadap isteri, maka bisa juga berarti hak isteri atas suami.
 
Untuk itu, sebagai seorang muslim kita punya as a way of life yang harus menjadi panduan dan acuan segala perbuatan. Dimana segala sesuatu yang diatur oleh Allah adalah untuk kebaikan manusia itu sendiri. Tidak sedikit rumah tangga hancur ditengah jalan karena menyepelekan aturan-aturan agama. Maka jadikanlah agama sebagai pondasi atau landasan berumah tangga.
“Seorang istri akan menjadi penyejuk jiwa bagi suaminya dan seorang suami akan menjadi penyejuk jiwa bagi istrinya apabila mereka menegakkan perkara-perkara yang diwajibkan atas mereka berdua dalam agama Allah” [ Syaikh Ibnu Al Utsaimin rahimahullah ]
 
Wallahu’alam bishowab
 
 
 
 
 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak