Oleh : Imas Rahayu, S.Pd.
Kasus korupsi kini kian terus terulang. Kali ini Kejaksaan Agung telah menetapkan Direktur Utama PT Waskita Karya (Persero) Destiawan Soewardjono sebagai tersangka kasus dugaan korupsi penyimpangan penggunaan fasilitas pembiayaan. Ia diduga terlibat dalam penyimpangan penggunaan fasilitas pembiayaan dari beberapa bank yang dilakukan oleh Waskita dan anak usahanya PT Waskita Beton Precast Tbk (WSBP).
Dalam perkara tersebut, Destiawan melakukan perlawanan hukum dengan memerintahkan dan menyetujui pencairan dana Supply Chain Financing (SCF) dengan menggunakan dokumen pendukung palsu. Hal itu digunakan untuk sebagai pembayaran hutang-hutang perusahaan yang disebabkan oleh pencairan pembayaran proyek pekerjaan fiktif. Pihak Kejagung juga telah mengungkapkan kerugian negara dalam kasus tersebut yaitu mencapai Rp 2,5 triliun, (katadata.co.id, 29 April 2023).
PT Waskita Karya (Persero) Tbk. merupakan sebuah badan usaha yang dimiliki oleh negara Indonesia bergerak di bidang konstruksi. Sebagai sebuah badan usaha milik negara, semestinya komitmen pada tanggung jawab walau menjadi fokus Waskita. Bekerja dengan sebaik mungkin demi memberi kemaslahatan rakyat. Bagaimanapun segala yang dijalani bukanlah milik nenek moyang para petinggi dan pihak terlibat lainnya.
Namun apa daya, faktanya kesadaran akan amanah yang diemban amat minim, apatah tidak diriayah dengan Islam. Merekapun juga akan bertindak sesukanya, mengambil yang bukan menjadu haknya sebanyak yang dimau. Padahal jika dilihat pada gaji, terkhusus Dirut Waskita, mencapai ratusan juta per bulan. Semestinya celah korupsi akan tertutupi dengan gaji sebesar ini.
Akan tetapi dengan adanya gaya hidup yang hedon juga keserakahan para pejabat dan keluarga, gaji sebesar itupun justru membuat mereka kian haus dengan materi dunia. Lantas dengan memanfaatkan celah-celah sekecil apapun, akan mengabaikan halal haram. Mereka dengan mudahnya akan meraup apa yang menjadi keinginan. Seperti itulah, tidak adanya standar perbuatan yang sahih, lebih kepada "mempertebal dompet" dan "mengenyangkan ambisi" semata.
Inilah potret buram para pejabat yang lahir dan diasuh oleh sekularisme. Mereka akan bertindak semaunya, tanpa jadikan agama sebagai pemandu. Seolah-olah hidup di dunia selamanya, maka tidak bertanggungjawab atas polahnya. Maka tak heran lagi, tidak sekali dua kali akan mendengar adanya kasus korupsi. Tersebab, hal tersebut sudah menggurita di dalam negeri ini, di berbagai lini, dan oleh berbagai pihak.
Kasus korupsi menggurita di negeri ini, selain mengindikasikan rapuhnya keimanan pada para pelaku juga menjadi bukti rusaknya moral pada individu di negeri ini. Lembaga khusus yang menangani korupsi seolah tidak ada nilainya dan tanggungjawabnya. Sebab sejatinya dasar dari pada penerapan aturan di negeri ini karena tidak berlandaskan pada hukum yang sahih, hukum yang diwahyukan oleh Sang Pencipta kita. Sehingga sebanyak apapun lembaganya, jika dasar yang dipakai tidak kokoh, maka penanganannya pun tidak akan berjalan secara sempurna.
Maka dari itu, kita tidak boleh berdiam diri saja dengan mengguritanya kasus korupsi. Akan tetapi, juga penting untuk diketahui akarnya permasalahannya yaitu karena diterapkannya sistem kapitalisme. Sekularisme sebagai asas kapitalisme yang merupakan paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Tidak boleh membawa agama ketika berurusan dengan kehidupan yang "duniawi". Sehingga, individu para pejabat khususnya boleh saja mengucap sumpah jabatan, tetapi pada faktanya dalam perjalanan tidak ada yang tahu jika ia melakukan korupsi secara diam-diam.
Sesungguhnya, di dalam Islam korupsi merupakan salah satu kemaksiatan sebab mengambil yang bukan menjadi miliknya, mendurhakai Allah, dan berbuat khianat. Aturan Islam pula kan menetapkan hukuman yang jelas pun akan memberikan jera terhadap para pelakunya. Hukuman yang diberikan berupa takzir, yakni sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim.
Sanksi yang diberikan bisa mulai dari yang paling ringan, seperti sekadar memberikan nasihat atau teguran dari hakim, bisa pula berupa penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhir), hukuman cambuk, hingga sanksi yang paling tegas, yaitu berupa hukuman mati. Teknisnya bisa digantung atau dipancung. Berat atau ringannya hukuman takzir tersebut disesuaikan dengan berat atau ringannya kejahatan yang dilakukan oleh para pelaku. (Abdurrahman al-Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 78—89).
Dengan demikian Islam sudah mempunyai formula untuk mencegah terjadinya korupsi. Negara sedari dini juga telah menanamkan akidah Islam kepada individu-individu rakyatnya, yang akan membentuk mereka menjadi individu bertakwa. Disisi lain, gaji dan fasilitas yang diberikan pun layak sehingga akan dapat menutup celah korupsi. Kekayaan yang dimiliki para pejabat juga akan dihitung secara berkala. Ditambah hukuman yang dapat menjerakan bagi para koruptor, menjadi paket komplit upaya preventif dan kuratif untuk menangani kasus korupsi.
Oleh karena itu, mari kita bertransformasi ke kehidupan dengan menjalankan hukum Allah secara totalitas dalam naungan khilafah. Sebab, selama kita menjalani kehidupan dan aturan yang digunakan adalah aturan kapitalisme, maka kasus korupsi senantiasa akan menggurita. Ya itulah, konsekuensi dari penerapan hukum buatan manusia yang penuh kelemahan. Wallahu a'lam bishshawab.