Gelombang Panas Ekstrim Melanda Dunia, Butuh Solusi Paripurna




Oleh : Eti Fairuzita


Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Dodo Gunawan, mengatakan bahwa gelombang panas tidak berpotensi terjadi di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan wilayah geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan.
“Wilayah Indonesia ini secara bentuknya kepulauan yang diselingi oleh laut, dia sebagai unsur pendingin. Ibaratnya radiator, sehingga tidak dimungkinkan untuk penjalaran panas,” kata Dodo kepada BBC News Indonesia, Selasa (25/4).

Meski tidak bisa disebut gelombang panas, ia mengatakan bahwa wajar jika Indonesia kini mengalami cuaca panas. Sebab, sekarang negara sudah memasuki musim kemarau yang diprediksi akan berlanjut cukup lama.
Hal tersebut membuat sejumlah petani dan pengamat pertanian mengantisipasi kekeringan yang akan melanda mulai April hingga Juni ini.

Semester kedua akan ada El Nino. El Nino itu adalah kondisi kemarau yang di luar kemarau biasa.
“Bulan April-Mei pun sudah bisa terjadi kemarau biasa dan itu sudah setiap tahun. Tapi mungkin tahun ini, suhunya mungkin bisa lebih tinggi dari biasanya,” kata Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Dr Muhammad Firdaus.

Sementara, Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Dwikorita Karnawati, mengatakan sejumlah Badan Meteorologi di sejumlah negara di kawasan Asia Selatan telah melaporkan suhu panas lebih dari 40°C.
”Lonjakan panas di wilayah sub-kontinen Asia Selatan, kawasan Indochina dan Asia Timur pada tahun 2023 ini termasuk yang paling signifikan lonjakannya,” ungkap Dwikorita lewat keterangan resmi pada Selasa (25/4).

Saat ini, suhu terpanas terekam di Kumarkhali, Bangladesh dengan suhu maksimum harian sebesar 51,2°C pada Senin (17/4) lalu.
Di Indonesia, suhu harian tertinggi masih berada di angka 37,2॰C di stasiun pengamatan BMKG di Ciputat pada pekan lalu.
Secara umum suhu tertinggi yang tercatat di beberapa lokasi berada pada kisaran 34॰C - 36॰C hingga saat ini.
Meski begitu, masyarakat diminta agar tidak panik dan tetap waspada.

Sebab, sambung Dwikorita, para pakar iklim menyimpulkan pemanasan global dan perubahan iklim membuat gelombang panas berpeluang semakin sering terjadi.
Memang benar bahwa bencana kekeringan bisa terjadi karena faktor alam seperti El Nino. Namun bencana kekeringan ini semakin diperparah dengan adanya liberalisasi dan kapitalisasi sumber daya alam yang menyebabkan perubahan iklim. Kekeringan adalah salah satu masalah cabang yang diciptakan oleh penerapan sistem (ideologi) kapitalisme di negeri ini. 

Sebab, dalam paradigma kapitalisme sumber daya alam boleh dikelola atau diprivatisasi oleh pihak swasta demi meraih keuntungan sebesar-besarnya, termasuk sumber daya air dan hutan. Alhasil, terjadilah pembabatan hutan dan penguasaan sumber mata air oleh swasta secara masif dengan legalisasi penguasa dan atas nama investasi.
Padahal hutan memiliki peranan penting dalam mengatur kondisi iklim di bumi melalui siklus karbon. 

Hutan yang ada di bumi mampu menyerap sebanyak 2,4 miliar ton karbon dioksida per tahun. Nilai ini sebanyak 30 persen dikontribusikan dari hasil pembakaran bahan bakar fosil. Namun kini habitat hutan di Indonesia semakin berkurang. Meski laju deforestasi berhasil ditekan, namun berdasarkan penelitian terbaru, laju deforestasi masih lebih cepat dari pertumbuhan hutan di Kalimantan. Oleh karena itu, suhu ekstrim hingga kekeringan akan terus melanda masyarakat di dunia selama sistem kapitalisme liberal masih diberlakukan untuk mengatur kehidupan.

Berbeda dengan Khilafah, yang diatur dengan aturan Islam semata. Islam telah memiliki solusi dalam mengatasi kekeringan akibat perubahan suhu ekstrim karena fenomena alam. Demikian pula, Islam mampu mencegah terjadinya perubahan iklim akibat penerapan sistem kapitalisme hingga berdampak pada kekeringan. Kita memahami bahwa hutan secara umum memiliki fungsi ekologis dan hidrologis yang dibutuhkan jutaan orang di Indonesia bahkan dunia. Demikian pula, sumber-sumber mata air yang berpengaruh luas terhadap kehidupan masyarakat.
Karena itu, pada hutan dan sumber-sumber mata air, sungai, danau, dan lautan secara umum, melekat karakter harta milik umum yang wajib dikelola oleh negara.

Rasulullah Saw Bersabda :"Kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput (hutan), air, dan api,"(HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Status hutan dan sumber-sumber  mata air, sungai, danau, dan laut sebagai harta milik umum, menjadikannya tidak dibenarkan dimiliki oleh individu atau pun swasta. Akan tetapi tiap individu publik memiliki hak yang sama dalam pemanfaatannya. Negara tidak berwenang memberikan hak konsesi atau pemanfaatan secara istimewa khusus terhadap hutan, sumber-sumber mata air, sungai, danau, dan laut, karena konsep ini tidak dikenal dalam Islam.

Negara wajib hadir sebagai pihak yang diamanahi oleh Allah subhanahu wa ta'ala, yakni bertanggung jawab langsung dan sepenuhnya terhadap pengelolaan harta milik umum.
Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas kepengurusan rakyatnya,"(HR. al-Bukhari). Dengan demikian, fungsi hutan sebagai stabilitator iklim dunia akan berjalan secara maksimal. Selain itu, negara berkewajiban mendirikan industri air bersih perpipaan sedemikian rupa sehingga terpenuhi kebutuhan air bersih bagi setiap individu masyarakat kapan pun dan dimana pun berada. Bahkan, ketersediaan air bersih ini akan cukup untuk mengatasi fenomena alam seperti El Nino. 

Negara hanya akan mengelolanya untuk kemaslahatan Islam dan kaum muslimin. Negara harus memanfaatkan berbagai kemajuan sains dan teknologi, memberdayakan para pakar yang terkait dengan berbagai upaya tersebut. Seperti pakar ekologi, pakar hidrologi, pakar teknik kimia, teknik industri, dan ahli kesehatan lingkungan. Sehingga terjamin akses setiap orang terhadap  air bersih gratis atau murah secara memadai. Penerapan syariat Islam secara kaffah di bawah institusi Khilafah, akan menghindarkan masyarakat menghadapi kekeringan akibat suhu ekstrim yang semakin parah.

Wallahu alam bish-sawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak