Diskriminasi Menyuntik Upaya Disintegrasi



Oleh : Sindy Utami, SH.


Legalitas Operasi Siaga Tempur Oleh TNI
Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menilai penetapan siaga tempur TNI di Papua masih legal. Sebab, kehadiran TNI termasuk siaga tempur di Papua masih bagian dari perbantuan terhadap tugas Polri dalam koridor Operasi Militer Selain Perang (OMSP). 

Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. "Karena tidak ada yang berubah secara signifikan, operasi di Papua masih merupakan operasi penegakkan hukum yang dikendalikan oleh Polri, ya semuanya masih legal dan tidak berada di luar hukum," ujar Fahmi kepada Kompas.com, Kamis (20/4/2023). (Kompas.com)
Alasan Terjadinya Operasi Siaga Tempur
Baru-baru ini, konflik di Papua kembali memanas setelah KKB menyerang TNI. Serangan ini mengakibatkan empat prajurit gugur di medan tugas di Distrik Mugi, Nduga, Papua Pegunungan, Sabtu (15/4/2023) sore.

Mereka yakni Pratu Kurniawan, Pratu Ibrahim, Prada Sukra, Pratu Miftahul Arifin. Mereka gugur ketika berupaya membebaskan pilot pesawat Susi Air, Philip Marks Methrtens yang disandera KKB. Keempat jenazah kusuma bangsa kini telah diterbangkan menuju daerah asal pada Kamis (20/4/2023). Akibat peristiwa itu, Panglima TNI meningkatkan status operasi menjadi siaga tempur.

Namun, apakah Operasi Siaga Tempur benar-benar satu-satunya solusi untuk menghentikan upaya tindakan separatis?
Terminologi 'Siaga Tempur' dianggap tidak dikenal dalam Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Pencabutan Undang-undang Nomor 74 Tahun 1957 dan Penetapan Keadaan Bahaya.

Tugas pokok TNI diketahui menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Tugas pokok TNI dimaksud dilakukan dengan operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang.

Operasi militer selain perang di antaranya yaitu untuk mengatasi gerakan separatis bersenjata; mengatasi pemberontakan bersenjata; mengatasi aksi terorisme; mengamankan wilayah perbatasan; mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis; dan lain sebagainya.

Adapun pemerintah pada 29 April 2021 telah menetapkan KKB Papua serta seluruh organisasi dan orang-orang yang tergabung di dalamnya dan yang mendukung gerakan tersebut sebagai teroris.

"Kewenangan dan tanggung jawab pengerahan kekuatan TNI berada pada Presiden," sebagaimana bunyi Pasal 17 ayat 1 UU TNI.

"Dalam hal pengerahan kekuatan TNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat," lanjut Pasal 17 ayat 2 UU TNI.

Konflik menngenai Papua adalah konflik berkelanjutan yang seolah tak pernah usai, entah karena memang belum ada titik penyelesaian atau karena ‘sengaja dipelihara’ untuk beberapa kepentingan politik demi keuntungan ekonomi golongan tertentu.
Sebagian besar konflik kekerasan di Papua berkaitan erat dengan kekerasan, represifitas, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), dan sejarah integrasi ke Indonesia.

Pemberontakan atau upaya separatis tetap terjadi meskipun pembangunan infrastruktur serta ketersediaan perekonomian mulai dibangun di sana. Mengapa? Karena hal tersebut tidak mampu membasuh luka papua berupa kekerasan , represifitas serta pelanggaran HAM yang telah menjadi bagian sejarah bergabungnya Irian Barat dengan Indonesia.

Islam Mengatasi Masalah Disintegrasi

Islam bukan sekedar agama yang berbicara tentang aktivitas ibadah dan kegiatan yang berkaitan dengan ukhrawi semata. Islam juga mengatur bagaimana suatu pemerintahan dijalankan agar terjadinya keseimbangan antara politik dan spiritual. Dalam upaya menjadikan sebuah daerah dan masyarakatnya agar loyal terhadap negara tentu ada usaha keras tentang pelayanan publk terhadap masyarakatnya.

Tentang bagaimana menjamin kemerataan keadilan pernah diteladankan oleh Sultan Abdul Hamid II Sang Benteng Terakhir Khilafah Turki Utsmani. Sebelum golongan Turki Muda melakukan upaya menggulingkan kekuasaan khalifah secara paksa dan menjadikan peralihan Turki Menjadi negara Republik, Sultan Abdul Hamid II pernah mendapatkan keluhan dari masyarakat Aceh tentang pelarangan ibadah haji oleh kolonial Belanda.

Tentu saja Sultan Abdul Hamid murka setelah menerima surat tersebut. Selain melanggar hak asasi manusia, Sultan Abdul Hamid juga tidak suka Belanda yang mencampuri urusan ibadah muslim di Aceh. Dengan tegas beliau lantas langsung menghubungi Kedutaan Besar Belanda untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Artinya Pemimpin harus menjadi manusia terdepan untuk menyelesaikan masalah rakyatnya. Sehingga masalah disintegrasi bukan semata masalah pemerataan ekonomi saja, melainkan harus ada kesetaraan intelektualitas juga di dalamnya. Sebab distribusi kesejahteraan dan penyelesaian pelanggaran hak dasar jauh lebih penting.

Diskriminasi berdasarkan suku dan warna kulit juga sudah selayaknya dihilangkan sama sekali sebab Allah berfirman di dalam QS. Al-Hujurat Ayat 13
• يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

13. Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.
Wallahu a’lam bish showwab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak