Oleh : Diani Ambarawati
(Forum Literasi Muslimah Bogor)
Pemberitaan informasi era digitalisasi membuat mudahnya akses layanan diberbagai bidang, termasuk informasi yang positif atau negatif bahkan hoaks hilir mudik di gadget. Info peretasan data yang terus berulang menambah kekhawatiran masyarakat, terlebih data pribadi yang bisa mengakses semua layanan dan dijadikan alat yang digunakan untuk membajak database bahkan tidak sedikit kasus penipuan, pinjaman online, bahkan pencucian uang dan lain-lain.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Azwar Anas mendorong 20 pemerintah kabupaten dan kota untuk segera menerapkan Mal Pelayanan Publik (MPP) Digital. Bertujuan untuk pelayanan publik secara digital, namun sudahkah negara menjaga keamanan data? Laporan National Cyber Security Indeks (NCSI) tahun 2022, Indonesia menempati peringkat ke-3 terendah diantara G-20 terkait keamanan data yaitu sebesar 38,96 dari nilai paling tinggi 100. Sementara secara global peringkat ke-83 dari 160 negara. Databoks.katadata.co.id.
UU no.27 Tahun 2022 tentang perlindungan Data Pribadi masih menghadapi sejumlah masalah dalam monitoring dan evaluasinya. Namun kasus pencurian data semakin marak, bahkan akhir-akhir ini menjadi perhatian publik tentang eror layanan digital Bank Syariah Indonesia (BSI), mulai dari info maintenance pelayanan, recovery database bahkan diserang ransomware (siber). Informasi yang terus mengalir deras di dunia digital meresahkan warga dan tidak sedikit cuitan di laman tweeter, beranda FB bahkan story WA yang belum jelas validitasnya.
Public distrust (ketakpercayaan publik) menjadi fenomena nyata akibat beragam kebohongan dari hulu ke hilir dengan beragam penyalahgunaan kekuasaan sampai mencari perhatian rakyat dengan berseliweran janji dalam mengentaskan keresahan pun kemiskinan rakyat. Belum lama terjadi kebocoran data telkom, eror layanan BSI dan BCA. Terkait dengan program MPP digital, merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk mempermudah dan mempercepat akses pelayanan publik dan diharapkan dapat menghemat 50% waktu pelayanan dan 50% anggaran layanan publik. Namun pertanyaannya, sudah siapkah dengan sarana dan prasarana digitalisasinya? Mulai dari perangkat input data, akses pelayanan, edukasi digitalisasi pada masyarakat, dan yang paling penting keamanan data. Melansir dari The Conversation.com bahwa pernah terjadi 102 juta data personal bocor dari instansi kementerian.
Terbukti negara Indonesia masih rawan akan keamanan data warganya, perlindungan warga seharusnya tanggungjawab pemimpin negara, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, An-Nasa’I, Abu Dawud dan Ahmad : “Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu (laksana) perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya. Jika seorang imam (khalifah) memerintahkan supaya bertakwa kepada Allah ’azza wajalla dan berlaku adil, maka ia (khalifah) mendapatkan pahala karenanya, dan jika ia memerintahkan selain itu, maka ia akan mendapatkan siksa.”
Namun faktanya, pengelolaan diserahkan pada instansi perwakilan negara yang sudah di swastanisasi. Negara hanya sebagai regulator dan fasilitator yang siap merangkul para pelaku usaha perlindungan data. Berkebalikan dengan aturan islam, islam berteknologi dengan sistem ekonomi yang menyeluruh dan bersumber dari pertumbuhan ekonomi riil dan sistem keuangan tidak ribawi seperti saat ini, yakni perbankan ribawi walau berkamuplase berlabel “syariah”. Keniscayaan terjadi berbagai serangan siber dari berbagai kepentingan pribadi maupun golongan bahkan politik jika masih mengadopsi sekuleris liberalis dalam semua aspek kehidupan.
Allahu A’lam
Tags
Opini