Oleh: Muflihatul Khofifah
Nama Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Waskita Karya (Persero) Tbk. Menjadi sorotan publik. Belum lama ini, Kejagung menetapkan Direktur Utama PT Waskita Karya, Destiawan Soewardjono alias DES, sebagai tersangka kasus dugaan korupsi. bisnis.tempo.co (15/05/2023)
Kemudian Kejaksaan Agung membuka peluang adanya tambahan kerugian yang dialami negara dalam kasus dugaan korupsi penyimpangan atau penyelewengan penggunaan dana PT Waskita Beton Precast pada 2016-2020.
Direktur Penyidikan (Dirdik) Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejagung Kuntadi juga menegaskan kerugian Rp2,5 triliun yang sebelumnya diberitakan adalah jumlah dana yang dipalsukan. Jumlah kerugian Negara bisa saja lebih banyak dari jumlah tersebut. cnbcindonesia.com (15/05/2023)
Bukan masalah banyak atau sedikitnya. Kasus korupsi yang terus menjadi bak jamur di musim hujan ini yang perlu kita kritisi hingga akarnya. Korupsi sudah seperti tradisi wajib di negeri ini yang menganut sistem Demokrasi. Bahkan sangat aneh jika penguasa tidak korupsi.
Pasalnya negeri yang bersistem Demokrasi tentu tidak bisa lepas dari konsep politik balas budi. Dimana dalam sistem Demokrasi, sebelum menjabat setiap penguasa perlu donor dana untuk meyakinkan masyarakat akan kemampuan dia sebagai pemimpin. Dari mana dana tersebut? Dari pihak pemodal alias konglomerasi. Apakah mereka memberikan dana secara cuma-cuma? Tentu saja tidak, karena tidak ada makan siang gratis dalam sistem ini.
Oleh karena itu penguasa harus balik modal ketika menjabat, mengembalikan dana dari pemilik modal dan untuk mengamankan kekayaan paska purna tugas sebagai nafkah keluarganya. Sehingga demi mendapatkan itu semua, maka jalan alternatifnya yaitu korupsi. Dari sini hilanglah kemurnian mereka sebagai wakil rakyat yang mengurusi urusan masyarakat. Beralih menjadi pencari kesempatan untuk kemanfaatan dan kekayaan pribadi.
Ditambah dengan adanya pengesahan RKUHP yang mengurangi hukuman bagi koruptor yang termuat dalam pasal 603, bahwa koruptor paling sedikit dipenjara selama dua tahun yang sebelumnya empat tahun dan maksimal 20 tahun. Lalu, denda paling sedikit Rp10 juta, yang dulunya Rp200 juta dan paling banyak Rp 2 miliar.
Bunyi pasal tersebut yakni:
"Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau Korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit kategori II dan paling banyak kategori VI.”
Apakah dengan ini bisa memberikan efek jera pada para koruptor? Tentu saja tidak. Justru dengan RKUHP, para koruptor seperti mendapatkan tameng untuk melancarkan korupsi mereka. Hukuman tersebut tidak sebanding dengan apa kerugian negara dan masyarakat karena ulah mereka si koruptor. Dan kesannya korupsi tidak lagi menjadi kejahatan yang serius.
Inilah gambaran gelapnya keseriusan pemberantasan korupsi di tengah sistem demokrasi.
Berbeda dengan sistem Islam yang menutup celah tidakan korupsi dan mengantisipasi peluang korupsi dengan mengoptimalkan peran negara, peran masyarakat, dan peran keluarga untuk tercapainya insan pemimpin yang bertakwa dan amanah, tidak akan pernah mengambil secuil pun harta umat demi kepentingannya.
Salah satu kisah dan bukti berhasilnya Islam dalam membentuk pemimpin yang amanah yakni Khalifah Umar bin Abdul 'Aziz yang mematikan lampu es minyak hanya karena yang dibicarakan putranya adalah kepentingan pribadi. Sebab Umar tidak ingin menjadi pemimpin yang menyalahgunakan amanah dan kepercayaan rakyat. minyak tersebut adalah harta Allah dan kaum muslimin atau milik negara. Sehingga hanya dipakai untuk keperluan kaum muslimin
Disamping memberikan pendidikan dengan kurikulum islam untuk tercapainya pribadi yang bertaqwa, yang ahli dalam mengelola kekayaan baik pribadi maupun kekayaan milik negara, islam juga memberi pendidikan tentang kepemimpinan agar terlahir pemimpin-pemimpin yang amanah. Negara juga menerapkan hukum uqubat sebagai sistem sangsi di dalam islam. Sistem tegas dalam pemberantasan korupsi yang berperan sebagai Jawabir (penebus) dan Zawajir (pencegah). Yang artinya, sangsi ini selain menjadi efek jera bagi pelaku dan penebus dosa, sangsi ini juga menjadi pencegahan bagi orang lain yang bukan pelanggar hukum untuk melakukan hal serupa.
Wallahu'alam Bishowab
Tags
Opini