Data Pribadi Kembali Diretas, Butuh Solusi Tuntas



Oleh: Eti Fairuzita



Pengamat Perbankan Doddy Ariefianto meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ikut melakukan investigasi merespons kendala yang dialami sistem Bank Syariah Indonesia (BSI). Mengingat lagi, ada dugaan kebocoran 15 juta data nasabah BSI.
Doddy menyebut, investigasi ini perlu dilakukan OJK sebagai lembaga pengawas sekaligus independen. Tujuannya, mencari akar masalah kendala BSI, apakah terjadi kendala internal, atau ada serangan siber.

Menurutnya, kejadian ini bisa menjadi satu citra buruk bagi perbankan di Indonesia. Apalagi, kejadian dugaan serangan siber terjadi ke bank besar sekelas BSI.
"Harus, wajib harus banget. Kqrena kalau bank segede gitu, bisa digituin, gimana saya bisa percaya sama BCA, BRI, Bank Mandiri?," ujarnya kepada Liputan6.com, Sabtu (13/5/2023).

Seiring perkembangan teknologi digital kasus kebocoran data makin marak terjadi. Kasus BSI diretas adalah kasus kesekian kalinya, tentu hal ini menggiring pada sebuah pertanyaan siapa yang bertanggung jawab atas jaminan keamanan dan perlindungan data rakyat ? Data digital merupakan entitas yang sangat berharga bagi para pengelolanya dalam meraup cuan sebanyak-banyaknya.

Pada tahun 2021, NielsenIQ mencatat (merilis) bahwa jumlah konsumen belanja online di Indonesia yang menggunakan e-comerse mencapai 32 juta orang. Bagi perbankkan sebagai penyedia layanan keuangan, data digital nasabah harus dijaga secara rahasia agar mereka terus mendapat keuntungan dari nasabahnya. Sementara bagi hacker data tersebut merupakan pundi-pundi uang jika berhasil mereka retas.
Jelas, data digital rakyat atau nasabah akan menjadi penting bagi kedua belah pihak.

Kasus kebocoran data yang banyak terjadi menjadi niscaya dalam sistem kapitalisme. Sistem ini membuat cara pandang manusia hanya berorientasi pada materi untuk mencari keuntungan dengan berbagai cara meski harus merugikan orang lain. Tentu, negara harus turun tangan dalam menyelesaikan masalah ini. Tapi sayangnya, kapitalisme telah membuat negara menjadi tidak berfungsi sebagaimana harusnya. Disfungsi itu telah membuat negara tidak mampu memberikan jaminan sebagai penyedia utama kenyamanan, perlindungan, dan keamanan bagi setiap warganya.

Negara kapitalisme hanya menjadi regulator dan fasilitator. Maka tidak heran, dengan banyaknya kasus yang merugikan rakyat, solusi yang diberikan hanya membuat RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP). Tentu, semua kekacauan tersebut tidak akan terjadi jika urusan rakyat diatur oleh sistem pemerintahan Islam, yakni Khilafah. Sebab, Khilafah adalah sebuah negara yang hadir sebagai perisai yang akan melindungi warga negaranya. 

Rasulullah Saw Bersabda :"Sesungguhnya seorang imam adalah perisai, orang-orang berperang dari belakangnya dan menjadikannya pelindung, maka jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah azza wa jalla dan berlaku adil, baginya terdapat pahala dan jika ia memerintahkan yang selainnya maka ia harus bertanggung jawab atasnya,"(HR. al-Bukhari, Muslim, an-Nasai, dan Ahmad).

Maka Khilafah akan bertanggung jawab penuh menjadi pelindung warga negaranya. Dengan landasan ini, kasus peretasan tidak akan mudah terjadi, bahkan tidak mungkin terjadi jika di dalam sistem Khilafah. Sebab, Khilafah akan proaktif, menjaga, melindungi, dan menjamin keamanan data rakyat, termasuk menjaga harta rakyat. Bahkan lebih dari itu, perlindungan data pribadi menjadi satu hal yang sangat penting karena terkait dengan pertahanan nasional.
Khilafah sangat memahami arus digitalisasi yang menawarkan kecepatan dan kemudahan. Namun pada saat yang sama, arus ini juga membawa potensi kejahatan online. Seperti, hacking atau sosial engineering.

Karenanya, Khilafah akan mengerahkan tim IT negara untuk menciptakan mekanisme perlindungan terkuat dengan teknologi yang paling canggih dan terbaru. Khilafah tidak akan berhenti pada sistem mobile app shielding, multifactor authentication, dan electronic signature yang saat ini banyak digunakan sebagai pelindung data digital. Khilafah akan terus melakukan inovasi, riset, evaluasi teknologi dan peningkatan layanan. Tugas ini akan diemban secara penuh oleh Khilafah.

Tidak akan membiarkan pihak swasta menjadi pelayan utama perlindungan data warga negara seperti negara kapitalisme saat ini. Pihak swasta hanya diperbolehkan menjadi pendukung dan pembantu negara untuk melayani masyarakat. Selain optimal, di sisi perannya sebagai negara, Khilafah akan memastikan para pegawai negara khususnya yang bertugas melayani pendataan digital, adalah orang yang amanah dan profesional. Dimana kriteria ini akan menjadi penjaga dari sisi faktor human error. Pegawai yang amanah akan menjalankan tugasnya dengan sebaik mungkin karena adanya kesadaran akan hubunganya dengan Allah (idraksillah billah) sehingga dia tidak akan berani melakukan keculasan dan kelalaian dalam pekerjaannya.

Sementara pegawai yang profesional akan membuat pelayanan mudah dan cepat karena dia telah ahli di bidangnya. Seandainya ada kasus peretasan, Khilafah memiliki sistem sanksi yang membuat siapapun dibuat jera olehnya. Tindakan peretasan, kecurangan, penipuan, dan seluruh jenis kejahatan cyber lainny yang membuat data bocor adalah tindakan yang  merugikan orang lain bahkan negara. Maka dalam sanksi Islam, pelaku akan diberikan sanksi takzir.

Syekh Abdurrahman Al Maliki dalam kitabnya Nidzamul Uqubat fil Islam menjelaskan "Takzir adalah sanksi pidana untuk perbuatan-perbuatan atau kejahatan-kejahatan yang hukumannya tidak di atur dalam nash (al-Quran dan al-Hadist). Hukuman yang diberikan akan diserahkan pada ijtihad qadhi (hakim) atau Khalifah. Hukuman akan diberikan sesuai kadar kejahatan, hukuman paling ringan adalah pewartaan, sementara yang paling berat adalah hukuman mati,"

Keistimewaan sanksi yang diterapkan oleh Khilafah ini, akan menimbulkan efek jawabir (penebus dosa pelaku) dan zawajir (pencegah di tengah-tengah masyarakat agar tidak ada kejahatan serupa). Jika negara telah memberikan perlindungan optimal, para pegawai menjalankan tugasnya dengan benar, dan pelaku peretas dihukum sesuai kadar kejahatannya, tentu perlindungan data warga negara bukan sesuatu hal yang mustahil diwujudkan. Semua ini niscaya akan terwujud, jika umat hidup berada di bawah naungan negara Islam yaitu Khilafah Islamiyah.

Wallahu alam bish-sawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak