Oleh :Diani Ambarawati
(Forum Literasi Muslimah Bogor)
Belajar dari pengalaman, jangan sampai kesalahan pun terulang. Walau berita hilir mudik di media, mayoritas masyarakat menganggap biasa saja dan negara pun masih tetap abai dan lalai dengan kebijakan yang longgar, yang penting keuntungan ekonomi didapat, terlebih momen lebaran yang akan meningkatkan pendapatan pusat maupun daerah.
WHO akhiri status darurat kesehatan global untuk COVID-19, namun WHO pun mengatakan ribuan orang masih meninggal karena virus ini setiap pekan. Update per Jumat, 5 Mei 2023 positif COVID-19 sebanyak 7.784.170, sembuh 6.604.857 dan meninggal 161.404 (liputan6.com, 5/5/23).
Darurat global berakhir, ancaman virus masih mengincar. WHO menyerahkan kebijakan tanggap status ini pada masing-masing negara, akhirnya pengobatan COVIDpun tak lagi gratis. Data terkonfirmasi positif di RSUD kota bogor per hari ini, Selasa 9/5/23 sebanyak 63.833, meninggal 548, dan positif aktif dan dirawat 947. (Kemenkes go.id).
Kementerian Kesehatan menyambut baik keputusan Direktur Jenderal Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencabut status Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) untuk COVID-19 pada Jumat (5/5). Namun kata beliau “Virus COVID-19 masih ada di sekitar kita, sehingga masyarakat harus tetap waspada. Kelompok lansia dan pasien dengan penyakit penyerta masih memiliki resiko paling tinggi, sehingga vaksinasi harus tetap dilakukan.” jelas dr. Syahril. negeriku.kemenkes.go.id, 6/5/23.
Tanpa edukasi menyeluruh dan tepat sasaran, akan menghasilkan mispersepsi di tengah masyarakat. Semua protokol kesehatan ambyar dan penguasa juga mencontohkan demikian, penanggulangan kesehatan yang berorientasi bisnis menjadi target market dikala ancaman kesehatan menjelma menjadi perdagangan kepentingan. Rakyat tetaplah menjadi korban dan terus bertahan di era kapitalis sekuler liberalis ini.
Terlebih pengeluaran APBN membengkak dan hutang semakin menumpuk, mau memakai dana apa lagi untuk menggratiskan pelayanan COVID ini, jika kebijakan lock down kembali akan makin kolaps keuangan negeri. Alhasil kebijakan tak bijak menjadi pilihan penguasa negeri.
Sebenarnya, jika pemerintah mau menerapkan cara Islam menangani penyakit menular yakni dengan karantina dan memenuhi kebutuhan rakyat supaya tidak berkeliaran. Nyawapun tidak mudah melayang dan rakyat yang terkonfirmasi dan positif aktifpun cukup berada di wilayah karantina. Rasulullah saw. bersabda, “Taun (wabah penyakit menular) adalah suatu peringatan dari Allah Swt. untuk menguji hamba-hamba-Nya dari kalangan manusia. Maka, apabila kamu mendengar penyakit itu berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu masuk ke negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, jangan pula kamu lari darinya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari hadis ini, Rasulullah menerapkan karantina di daerah yang terkena penyakit itu. Hal senada juga dilakukan oleh Umat bin Khaththab yang tidak jadi mengunjungi Syam ketika terjadi wabah. Semua dilakukan agar wabah tersebut tidak menjalar ke negeri lain.
Kesehatan merupakan aset berharga bagi semua insan, hak sehat dan gratis lumrah dimiliki rakyat. Semua ini tanggung jawab negara dalam melayani dan memberikan pelayanan terbaik untuk rakyatnya termasuk promotif dan preventif. Islam memandang fasilitas kesehatan dan penanggulangan suatu penyakit adalah spirit nyata suatu negara. Terbukti penganggulangan kesehatan yang diterapkan oleh negara yang menerapkan syariat Islam mampu meminimalisir pandemi dan rakyat yang tidak terkontaminasi masih bisa beraktivitas sedia kala.
Allahu A'lam
Tags
Opini