Buruh Menangis di Negeri Kapitalis



Oleh : Azma Masroya



Hari buruh diperingati setiap 1 Mei. Sebagaimana biasanya, para buruh di Indonesia sepakat mengadakan aksi dalam rangka menyambut hari mereka. Dalam aksi unjuk rasa kali ini, menurut penjelasannya ada enam tuntutan buruh, yakni cabut Omnibus Law UU Cipta Kerja, cabut parliamentary threshold 4%, sahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT), tolak RUU Kesehatan, reforma agraria dan kedaulatan pangan.

Tuntutan buruh saat ini sebenarnya tidak beda dengan sebelumnya. Seluruh tuntutan yang diajukan merupakan usaha mereka untuk membuat kehidupan para buruh menjadi sejahtera. Jika saat ini mereka menuntut kesejahteraan, berarti hingga sekarang kondisi mereka tidak ada yang berubah. Nasib mereka tetap sama, bahkan mungkin lebih tidak manusiawi setelah disahkannya UU Cipta Kerja.

Tuntutan buruh dari tahun ke tahun tetap sama. Perjuangan mereka selama 137 tahun sejak tahun 1886 yang awalnya menuntut 16 jam kerja menjadi 8 jam kerja bahkan sampai saat ini permasalahan buruh tetap ada sepertinya tidak membuahkan hasil signifikan.

Ketika upah minimum buruh ditentukan oleh Kebutuhan Hidup Minimum (KHM), berubah lagi namanya sekarang Kebutuhan Hidup Layak (KHL). menjadikan dibeberapa wilayah tentu akan mendapatkan upah yang lebih kecil dari pada tempat lain, misalnya Upah Minimum Kota (UMK) di Solo 2021 sebesar Rp2.013.810. Solo sendiri terkenal akan tempat wisata dan biaya hidupnya yang murah. Dengan modal Rp5 ribu saja, bisa menikmati makanan di sana. Transporasi di Solo juga hanya dipatok seharga Rp3 ribu - Rp15 ribu saja, di Yogyakarta biaya hidupnya hanya Rp1 juta - Rp1,5 juta perbulan dan masih banyak kota yang lainnya. 

Kesejahteraan yang dituntut oleh rakyat dalam hal ini para buruh sebenarnya banyak sekali faktor-faktor yang mempengaruhinya, sehingga dapat dipahami bahwasannya kesejahteraan buruh bukan tanggung jawab pengusaha/pelaku usaha, karena pengusaha/pelaku usaha pada hakekatnya mereka juga merupakan rakyat bukan penguasa yang tidak memiliki kekuasaan dan wewenang untuk mengatur rakyat, tetapi merupakan tanggung jawab negara terhadap rakyatnya. 

Problem perburuhan ini sebenarnya terjadi karena kebebasan kepemilikan dan kebebasan bekerja yang menjadi pilar sistem kapitalisme. Dengan kebebasan ini, seorang pengusaha yang senantiasa berorientasi keuntungan dianggap sah mengeksploitasi tenaga buruh. Artinya, mereka menekan biaya produksi sekecil mungkin—salah satunya memberi gaji rendah dan memperlama waktu kerja buruh—untuk mendapat laba yang besar. Begitulah prinsip usaha dalam kapitalisme. Bagi kapitalisme, uang atau materi adalah sumber kebahagiaan. Jadi, mereka akan melakukan apa saja untuk mendapatkannya.

Meskipun berbagai aturan lahir untuk mengimbangi nasib buruh, ternyata negara hanya berperan sebagai regulator. Negara membuat regulasi untuk memuluskan kepentingan para kapitalis, UU Cipta Kerja, misalnya. Ini jelas memperlihatkan bahwa negara berada dalam kendali korporasi yang dengan uangnya dapat “membeli” penguasa dan mengatur sesuai kepentingan mereka. Jadi, selama kapitalisme masih bercokol di muka bumi, nasib buruh akan terus dibuat meringis.

Sedangkan dasar yang memicu konflik buruh dan pengusaha sendiri, disebabkan oleh kesalahan tolok ukur yang digunakan untuk menentukan gaji buruh, yaitu living cost (biaya hidup) terendah. Living cost inilah yang digunakan untuk menentukan kelayakan gaji buruh. Maka tidak heran namanya Upah Minimum. Dengan kata lain, para buruh tidak mendapatkan gaji mereka yang sesungguhnya, karena mereka hanya mendapatkan sesuatu yang minimum sekedar untuk mempertahankan hidup mereka. Sehingga problem kesejahteraan buruh akan selalu ada selama relasi antara buruh dan pengusaha dibangun berdasarkan sistem kapitalisme.

Dalam syariat Islam hubungan antara pekerja dan pengusaha termasuk dalam transaski ijaarah. Ijaarah didefinisikan sebagai aqdu ‘ala al manfaah bi iwadin, akad/transaksi atas manfaat/jasa (yang dikeluarkan ajir/pekerja) dengan memperoleh imbalan (berupa upah/ujrah dari musta’jir/pengusaha).

Transaksi (akad) ijarah tersebut sah menururt syara’ jika memenuhi persyaratan dan ketentuan yang jelas mengenai : (a) Bentuk dan jenis pekerjaan, (b) Masa Kerja, (c) Upah Kerja dan (d) Tenaga yang dicurahkan saat bekerja. Jika keempat masalah tersebut jelas dan disepakati maka kedua belah pihak terikat dan harus memenuhi apa yang tercantum dalam kesepakatan tersebut. Sedangkan upah sebenarnya merupakan nilai jasa (manfaat) yang diberikan oleh buruh (ajir) kepada majikan (pengusaha, musta’jir). Upah dalam pandangan Islam merupakan kesepakatan antara ajir (pekerja) dan mustajir (pengusaha).

Jika terjadi sengketa antara buruh dan majikan dalam menentukan upah, maka pakar (khubara’)-lah yang menentukan upah sepadan (ajr al-mitsl). Pakar ini dipilih oleh kedua belah pihak. Jika keduanya tidak menemukan kata sepakat, maka negaralah yang memilihkan pakar tersebut untuk mereka, dan negaralah yang akan memaksa kedua belah pihak ini untuk mengikuti keputusan pakar tersebut. Tidak ada unsur eksploitasi terhadap buruh karena semua hal sudah saling diketahui. Sehingga negara tidak perlu menetapkan UMR/UMP.

Tentang Tunjangan Hari Raya (THR),Pensiun, penghargaan, jaminan kesehatan dan kompensasi yang diberikan kepada para buruh, pada dasarnya ini merupakan bentuk tambal sulam sistem Kapitalis untuk memenuhi kebutuhan kaum buruh yang dianggap tidak mampu, bahkan bagi buruh yang memiliki pemikiran kapitalis tak jarang dari mereka terjerat judi online, pinjaman online dsb. Kenapa? Karena, mereka mengagap pendapatannya kurang untuk mencapai kebutuhan ataupun keinginan tak jarang dari mereka bisa mengakhiri hidup saat semuanya tidak terpenuhi.

Hanya saja, upaya perberian diluar upah oleh perusahaan telah menghilangkan kewajiban negara untuk memberikan jaminan kepada rakyatnya agar bisa memenuhi kebutuhannya. Karena kewajiban ini merupakan kewajiban negara. Bukan kewajiban majikan atau perusahaan. 

Dengan demikian, berbagai solusi yang dilakukan oleh sistem Kapitalis ini pada dasarnya bukanlah solusi. Tetapi, sekadar “obat penghilang rasa sakit”. Penyakitnya sendiri tidak hilang, apalagi sembuh. Karena sumber penyakitnya tidak pernah diselesaikan. Karena itu, masalah perburuhan ini selalu muncul dan muncul, karena tidak pernah diselesaikan. Konsep dan solusi Islam benar-benar telah teruji, ketika diterapkan.

Kondisi buruh semacam ini tidak akan ditemukan dalam sistem Islam, sebuah sistem kehidupan yang sempurna. Sistem Islam mengatur segalanya dengan landasan keimanan, dibangun untuk memuliakan manusia apa pun golongannya. 
Allah Swt. telah berjanji dalam firman-Nya, “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” (QS Al-Araf: 96).

Islam mengatur perburuhan bukan seperti perbudakan. Islam memandang masalah ini dengan akad ijarah (bekerja). Buruh adalah pekerja memiliki kedudukan setara dengan pemberi kerja (majikan). Mereka akan digaji sesuai keahliannya dan sesuai kesepakatan awal. Dari Abdullah bin Umar ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda. “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya.” (HR Ibnu Majah dan Ath-Thabrani).
Dari hadis tersebut, tersurat jelas bahwa majikan tidak boleh menunda atau mengurangi hak pekerjanya. Bagi pekerja pun wajib melaksanakan kerjanya sesuai kesepakatan awal.

Kapitalisme telah membuat masalah buruh makin meringis. Islamlah yang akan membuatnya menjadi lebih baik. Buruh (masyarakat) yang siap bekerja dalam ketaatan mendapatkan dan menggunakan dalam hal yang halal sesuai dengan aturan Islam. Dengan demikian, tidak ada pilihan lain untuk menyelamatkan nasib para buruh, kecuali dengan ideologi Islam. Aksi buruh pun tidak akan dapat membuahkan hasil manakala tujuan itu selaras dengan perjuangan menegakkan Islam kafah, bukan sebatas tuntutan yang bersifat praktis. Karena sesungguhnya permasalahan mereka timbul karena kesalahan penerapan aturan yang tak menjadikan Allah sebagai pemutus persoalan. 
Wallahualam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak