Aroma Kapitaliasi Pendidikan dalam Pencabutan Izin Perguruan Tinggi

Oleh : Diani Ambarawati
(Forum Literasi Muslimah Bogor) 

 
Kurikulum pendidikan merupakan salah satu yang berperan penting dalam menghasilkan output pendidikan yang berkualitas, semua bisa terwujud jika ada supporting system dari negara, keluarga, dan masyarakat. Kualitas Instansi pendidikan akanlah tercapai jika sesuai dengan aturan pemangku kekuasaan, namun jika pembuat regulasi bermasalah, kewajaran terjadi pelanggaran dan berimbas pada output pendidikan itu sendiri. Terlebih jika pendidikan dijadikan sebagai lahan bisnis para pemodal bahkan oligarki korporasi yang membidik materi semata.

Melansir dari Kompas.com, 27 Mei 2023. Kementerian Pendidikan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) mencabut izin operasional 23 perguruan tinggi karena adanya pengaduan masyarakat dan pemeriksaan tim evaluasi kerja. Sanksi berupa pencabutan izin operasional dijatuhkan pada perguruan tinggi yang sudah tidak memenuhi ketentuan standar pendidikan tinggi mulai dari melaksanakan praktik terlarang, pembelajaran fiktif, jual beli ijazah, penyimpangan beasiswa KIP kuliah, dan perselisihan badan penyelenggara.

Tahapan pemberian sanksi dilakukan secara berjenjang. Sanksi ringan terdapat di Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) sementara sanksi sedang dan berat terdapat pada Dirjen Diktiristek dengan melibatkan tim EKPT (Evaluasi Kinerja Perguruan Tinggi) seperti kelembagaan, hukum, pembelajaran kemahasiswaan, sumber daya, dan Pangkalan Data Pendidikan Tinggi sehingga keputusan yang diambil berdasarkan fakta dan data tervalidiasi 
Lantas, bagaimana nasib mahasiswa dari perguruan tinggi yang dicabut izinnya tersebut? UPT Kemendikbudristek menyatakan akan membantu mahasiswa, dosen, dan tenaga pendidik terdampak untuk dipindahkan ke perguruan tinggi lain. (CNN Indonesia, 26 Mei 2023).

Kompetensi perguruan tinggi di sistem kapitalis sekuler mudah diperjualbelikan dan tolak ukur yang disandarkan pada kapitalisasi pendidikan sehingga perguruan tinggi hanya mencari keuntungan, pendidikan hanya menjadi sarana “bisnis” antara permintaan dan penawaran. Mahasiswa membutuhkan ijazah untuk mendapatkan pekerjaan, perguruan tinggi mempunyai legitimasi untuk melakukan penawaran sejumlah uang. Lahirlah mahasiswa didik yang melakukan praktik jual beli ijazah, tidak perlu kuliah yang menstimulasi pemahaman keilmuannya atau pembentukan karakternya, tidak heran lulusan kapitalisasi pendidikan bermental “mata duitan” yang disambut oleh para pemilik modal yang menanamkan modalnya di sektor pendidikan.

Negara dalam sistem kapitalisme menihilkan perannya sebagai penjaga urusan umat, sejatinya negara merupakan penyedia dan pengelola institusi pendidikan yang memadai dengan kualitas yang berteknologi tinggi bagi rakyatnya. Namun faktanya hanya isapan jempol semata, negara malah menyerahkan kepada swasta, korporasi, dan masyarakat untuk berparstisipasi dalam mendirikan institusi pendidikan. Negara hanya berfungsi sebagai regulator yang hanya mendapatkan keuntungan materi semata yang tidak seberapa bahkan regulasi yang diadopsi dibuat mudah dan tidak berbelit, namun menjadi celah terjadinya praktek ilegal dalam sistem kapitalis yang melahirkan mahasiswa yang belum mumpuni pada keilmuannya namun sudah ada izin praktek atau bekerja tanpa ada keahlian yang dimiliki.

Bagaimana pendidikan dalam Islam? Berkebalikan dan jauh berbeda dengan pendidikan ala kapitalis. Negara wajib menyediakan institusi pendidikan dengan fasilitas yang high tech dan tenaga pengajar yang handal dibidangnya dengan keterampilan yang mumpuni. Hasil penelitian menjadi sarana untuk mengadopsi teknologi dan pembiayaan dari negara dalam skala besar.  Pendidikan dalam Islam merupakan kebutuhan primer masyarakat yang terbagi atas menjadi dua. Kebutuhan primer untuk rakyat itu sendiri secara personal (sandang, pangan, dan papan) dan bagi rakyat secara keseluruhan (sandang, pangan, keamanan, kesehatan dan pendidikan).

Islam menerapkan politik ekonomi Islam sebagai jantung mewujudkan mandiri secara finansial, terlebih pendidikan dan bebas biayapun bisa terealisasikan. Dalam menjalankan pemenuhan kebutuhan rakyat, negara wajib membangun falsafah pelayanannya berbasis ri’ayah asy-syu’un al-ummah (pengurusan urusan rakyat). Dengan paradigma ini, penguasa akan memosisikan diri sebagai pengurus urusan rakyatnya. Rasulullah saw. bersabda, “Pemimpin itu laksana gembala dan ia akan dimintai pertanggungjawaban akan gembalaannya (rakyatnya).” (HR Imam Bukhari dan Ahmad).

Kemandirian finansial dalam pendidikan akan diambil dari baitul mal yang bersumber dari fa’i dan kharaj serta pos kepemilikan umum. Jika belum memenuhi, akan ada sumbangan sukarela dari kaum muslimin dan jika masih belum mencukupi, pembiayaan beralih pada seluruh kaum muslimin yang mampu secara finansial. Terkait dengan berbagai pelanggaran yang mungkin akan dilakukan, negara mencegah praktik ilegal dengan regulasi yang memiliki sanksi efek jera. 

Adapun tujuan pendidikan Islam adalah membangun kepribadian Islam dan penguasaan ilmu kehidupan seperti sains, teknologi dan matematika. Tenaga pengajar dan mahasiwa yang memiliki kesadaran ketakwaan individu akan menghasilkan output pendidikan yang berpegang teguh pada keimanannya dan memiliki pemikiran islam yang mendalam. Apa upaya yang dilakukan oleh negara? Yakni menyusun kurikulum pendidikan formal berlandaskan akidah Islam dan ditetapkan oleh negara bagi seluruh perguruan tinggi. Mendirikan perguruan swasta diperbolehkan selama mengikuti kebijakan negara. Tata kelola pendidikan secara islam akan menciptakan atmosfir pendidikan yang lebih terarah dan searah, terlebih bersumber pada aturan pembuat hukum yakni Allah SWT yang akan dijamin pemerataannya sehingga tercipta rahmatan lil alamin.

Allahu A'lam
 
 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak