Oleh: Maya Dhita
Pegiat Literasi
Nasib tenaga honorer di sistem kapitalisme tidak pernah sejahtera. Meski jam kerja setara dengan ASN, nyatanya tidak mendapat apresiasi yang sesuai.
Tidak dapat dimungkiri keberadaan tenaga honorer justru membantu pemerintah dalam melayani masyarakat. Bahkan ASN sendiri sering melimpahkan tugasnya kepada para tenaga honorer. Namun, lagi-lagi kebijakan tidak pernah berpihak pada mereka. Di saat negara sulit mengatur keuangan, maka tenaga honorer harus menerima getahnya, tidak mendapat THR di bulan Ramadan kali ini.
Meski nominal THR bagi tenaga honorer tidak seberapa, tetapi kedatangannya sangat dinantikan. Mengingat begitu berharganya setiap rupiah di tengah kondisi yang tidak menentu seperti sekarang ini.
Begitulah kerja sistem Kapitalisme. Mengutamakan materi daripada aspek kemanusiaan. Segala hal diukur dengan materi. Negara butuh tenaga honorer tetapi tidak bisa menetapkan status yang jelas dan gaji yang layak untuk mereka.
Lalu bagaimanakah seharusnya sistem penerimaan pegawai negara? Mari kita mengacu pada aturan sempurna yang datangnya dari sang Pencipta, Allah Subhanahu wa ta'ala.
Dalam sistem Islam, negara menyediakan lapangan kerja yang memadai bagi warga negaranya. Khususnya bagi warga yang wajib bekerja untuk menghidupi keluarganya. Untuk pegawai negara seperti ASN, negara tidak mematok syarat yang rumit. Asalkan memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan dan kuota tenaga kerja maka akan diterima untuk menjalankan semua pekerjaan admistratif maupun pelayanan. Baik laki-laki atau perempuan, muslim maupun non muslim dapat menjadi pegawai di departemen dan unit-unit yang ada.
Hasil rekrutmen pegawai negara akan disebut ajir atau pekerja. Maka tidak ada istilah honorer. Tidak ada pembagian kasta pegawai seperti apa yang terjadi saat ini.
Pegawai negara akan terikat dengan akad ijarah atau kontrak kerja dengan gaji yang sesuai dengan pekerjaannya. Sedangkan gaji pegawai negara berasal dari kas baitulmal. Besarnya gaji pun disesuaikan dengan besarnya manfaat yang diberikan pegawai kepada negara. Sedangkan hal-hal lain di luar itu tidak menjadi tanggung jawab negara dalam memenuhinya. Misalnya, tunjangan kesehatan, pendidikan dan pensiun.
Para pegawai negara ini terikat dengan hukum-hukum syariah dan peraturan administratif yang ada. Mereka bertanggungjawab kepada Khalifah, para penguasa, para wali dan mu'awin dalam hal pelayanan atau pengurusan. Sedangkan dalam pelaksanaan tugas, mereka bertanggungjawab kepada kepala jawatan.
Segala yang berurusan dengan kepentingan masyarakat dalam sistem Islam dilandasi dengan kesederhanaan aturan, kecepatan pelayanan, dan profesionalisme pengurusnya. Setiap pekerja akan ditempatkan sesuai dengan keahliannya. Sehingga tidak akan ada pekerjaan yang diserahkan kepada yang bukan ahlinya.
Nabi shalallahu alaihi wa salam bersabda, "Apabila sebuah urusan/pekerjaan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka bersiaplah menghadapi hari kiamat." (HR. Bukhari).
Negara membuka lapangan pekerjaan sebanyak-banyaknya, sehingga menjadi pegawai negara hanya satu dari banyak pilihan lapangan pekerjaan. Kesejahteraan masyarakat terjamin karena negara mewujudkan ketahanan pangan sebagai prioritas utama pemenuhan kebutuhan pokok rakyat. Negara mengusahakan pendidikan dan kesehatan terbaik dengan harga murah bahkan gratis.
Begitulah sistem Islam dalam mewujudkan kepemimpinan yang mampu menjadi rain atau pemelihara dan pelindung rakyat. Tugas utamanya adalah mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dengan pelaksanaan syariat Islam secara menyeluruh maka akan terbukti bagaimana Islam adalah rahmat bagi seluruh alam.