Oleh: Krisdianti Nurayu Wulandari
Setiap orang tua tentu tidak mau anaknya mengalami stunting. Namun, fakta yang terjadi justru berbanding kebalikannya. Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo mengungkap bahwa angka stunting sebesar 21,6% itu masih tinggi. Apalagi, Hasto mencium adanya kesalahan penghitungan data stunting. Ia menyampaikan bahwa banyak Pemda yang melakukan kesalahan dalam perhitungan, seperti anak di atas 5 tahun tidak dimasukkan ke dalam data lagi, padahal anak tersebut belum sembuh dari stunting. (Bisnis Indonesia, 6-4-2023)
Di kawasan 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) juga justru mengalami kenaikan kasus. Contohnya, prevelensi balita stunting di Kabupaten Kepulauan Sula berdasarkan SSGI 2021 ada di angka 27,7% sedangkan 2022 berada di angka 28,5%. Artinya, ada kenaikan 0.8% kasus stunting. (Republika, 8-4-2023)
Padahal, selama ini pemerintah juga sudah menganggarkan dana yang cukup besar untuk menangani masalah stunting. Menurut Menkeu Sri Mulyani, pemerintah menggelontorkan dana sebesar 77 triliun. Namun, berdasarkan laporan yang diterima hanya ada 34 triliun yang tepat sasaran. Sisanya justru digunakan untuk kegiatan nyeleneh, seperti rapat koordinasi dan pembangunan pagar Puskesmas. (CNN Indonesia, 24-3-2023)
Penyebab Stunting
Melihat fakta yang terjadi, tentunya masalah stunting masih menjadi PR besar negeri ini. Anggaran ada, namun ternyata tidak tepat sasaran. Wajar jika stunting sulit untuk diatasi.
Stunting sendiri adalah kondisi gagal tumbuh pada anak, yakni pertumbuhan tubuh dan otak akibat kekurangan gizi. Penyebab Stunting ada dua. Pertama, kesehatan yang kurang baik pada ibunya saat hamil. Kedua, kurangnya asupan gizi pada awal kehidupan dan masa balita karena pola pengasuhan yang kurang tepat.
Masyarakat dimanapun, tentu bukan tak ingin mengonsumsi makanan bergizi. Tetapi, kemampuan ekonomi mayoritas mereka memang tak memadai, alias miskin dan kesenjangan sosial begitu tinggi.
Gagalnya negara menjamin kesejahteraan, salah satunya terpenuhinya pangan bergizi individu per individu rakyatnya memang adalah hal yang mutlak terjadi. Sebab negara menerapkan sistem ekonomi kapitalisme yang berorientasi pada materi dan pro terhadap kepentingan pemilik modal.
Penerapan sistem ekonomi kapitalisme juga meniscayakan distribusi logistik pangan yang tidak adil. Hal ini berdampak pada semakin tajamnya ketimpangan sosial di tengah masyarakat. Demikianlah sistem ekonomi kapitalisme terbukti gagal menyejahterakan rakyat sebab tidak dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan pangan (gizi) bagi rakyatnya.
Sistem Islam
Berbeda dengan sistem kapitalisme yang tidak dapat menjamin kesejahteraan rakyatnya, sistem Islam melalui peran negara di tengah masyarakat akan menjamin kesejahteraan tiap-tiap individu rakyatnya dengan berbagai mekanisme. Tentu, sistem Islam sangat memperhatikan persoalan ini. Sebab, anak-anak ini adalah calon generasi penerus penjaga peradaban Islam.
Penerapan sistem ekonomi Islam akan menjamin setiap anak, bahkan sejak dalam kandungan terjaga dan terhindar dari risiko stunting. Terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan rakyatnya akan dijamin pemenuhannya oleh negara. Sebab Islam telah menetap bahwa Khalifah (Kepala Negara) sebagai penanggung jawab terhadap urusan rakyatnya melalui penerapan aturan Islam Kaffah.
Maka, berakhirnya kasus stunting ini secara tuntas hanya akan terwujud jika umat Islam kembali pada aturan penciptanya, yakni kembali untuk menerapkan hukum Islam secara kaffah melalui Daulah Khilafah. Wallaahu A'lam
Tags
Opini