Strategi Perindustrian Daulah Khilafah Dalam Mengatasi Trend Thrifting




Oleh : Maulli Azzura

Sebuah akun Twitter membongkar penyebab pemerintah melarang impor pakaian bekas. Staf Khusus Menteri Koperasi Bidang Pemberdayaan Ekonomi Kreatif Fiki Satari disebut menjadi salah satu pihak yang mendorong Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk melakukan pelarangan tersebut. Akun Twitter @_palungmariana mengungkapkan kalau produk domestik bruto (PDB) sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) termasuk UKMnya sempat tumbuh hingga 9,34 persen hingga Agustus 2022. Namun kondisi itu tidak bisa bertahan di tahun selanjutnya dengan imbas banyaknya pebisnis industri yang melakukan PHK. Padahal pada saat yang bersamaan, pemerintah sudah menggelontorkan bantuan dana senilai Rp 30,7 triliun melalui APBN 2022 untuk semua sektor industri UKM, termasuk industri tekstilnya. (Suara.com 07/04/2023)

Negara kapitalis memiliki gambaran dan kebijakan yang belum bisa mengatasi masalah tanpa menimbulkan masalah lain, termasuk dalam bidang ekonomi (perindustrian), berbeda dengan era dimana zaman sistem Islam diterapkan ketika ada seorang khalifah yang memimpin.

Strategi perindustrian di dalam Daulah Khilafah sangat diatur, karena tidak luput dari aturan Islam yang mengikat dan  mengatur seluruh aspek kehidupan. Namun bicara tentang perindustrian dalam Islam, orang sering hanya terfokus pada cabang industri yang mendukung aspek ruhiyah Islam, seperti industri penerbitan Islam, industri busana dan aksesoris muslim, atau industri yang mendukung ibadah haji.

Padahal seharusnya seluruh cabang perindustrian diwajibkan untuk tunduk kepada syariat Islam. Seluruh cabang industri, baik yang menghasilkan produk untuk konsumen akhir maupun yang menghasilkan alat-alat berat atau bahan baku industri yang lain, seharusnya dibangun dan diatur dalam satu kerangka berpikir dan paradigma yang dilandasi oleh aqidah Islam.

Dengan melihat fakta-fakta di muka, maka bisa kita simpulkan bahwa suatu politik perindustrian dalam Islam akan terkait erat dengan bagaimana merubah pola berpikir dalam masyarakat, dan juga satu set aturan-aturan dalam sistem ekonomi seperti hukum kepemilikan, politik moneter, perdagangan luar negeri, aturan-aturan tentang hak atas kekayaan intelektual dan perburuhan, sampai sistem pendidikan, sistem politik dan pertahanan.

Paradigma negara dalam Islam adalah untuk melindungi dan memelihara jiwa, akal, agama, nasab, harta, kemuliaan, keamanan dan negara. Karena itu, seluruh politik perindustrian akan disinergikan untuk mewujudkan apa yang disebut maqashidus syariah itu. Perindustrian dikembangkan agar ekonomi bisa berputar, sehingga jiwa-jiwa bisa tertolong (misalnya industri makanan atau obat-obatan), akal bisa dihidupkan (misalnya industri penerbitan Islam serta alat-alat edukasi), kehidupan beragama bisa lebih semarak (misalnya industri konstruksi sarana ibadah atau alat-alat transportasi jamaah haji), kehidupan keluarga lebih harmonis (misalnya industri peralatan untuk bayi dan ibu hamil), dan seterusnya.

Perindustrian diarahkan untuk mampu mengatasi seluruh kebutuhan rakyat negara Islam, baik muslim maupun non muslim. Tidak ada artinya berproduksi yang berorientasi ekspor, jika pada saat yang sama untuk berbagai kebutuhan yang mendasar harus mengimpor, bila itu sudah bisa dipenuhi kemampuan industri dalam negeri. Namun demikian, kebijakan dan respon yang kita lihat di negara demokrasi kapitalis sangat jauh berbeda. Yang mana disetiap kesempatan dan menimbulkan peluang dipungutnya pajak, tanpa melihat siapa dan mana yang wajib dipungut pajaknya. Itulah sebabnya jika kita menengok pada industri impor pakaian "Thrifting " yang sedang marak di negara ini, menjadi bahan perbincangan dikalangan pemerintahan.

Jika kita menyoal impor pakaian bekas yang berujung pada tindakan ilegal, tentu bisa dikatakan merugikan negara. Dalam konteks lain kebijakan luar negri masih lemah, tentu lemahnya kebijakan luar negri ini karena adanya oknum- oknum/instansi yang memberikan jalan tanpa adanya ijin resmi dari pemerintah.

Namun demikian sejatinya jika kita menengok bagaimana proses dan distribusi perdagangan yang dilakukan di era kekhilafahan, akan sangat berbeda.

Dimana Khalifah sebagai kepala negara dibantu  departemen perindustrian mengatur distribusi keluar masuknya barang, baik ekspor maupun impor. Dengan begitu, semua harus dengan ijin kepala negara. Sejatinya permasalahan impor termasuk barang bekas di negri ini juga sudah berjalan demikian. Namun rusaknya akhlak para petinggi departemen, mengakibatkan timbulnya kejahatan yang memang tidak ada hukum yang membuat efek jera bagi pelakunya.

Dalam khasanah Ibnu Khaldun membahas satu bab khusus tentang ekspor dan impor dalam Muqaddimah (2011). Menurut Ibnu Khaldun, perdagangan internasional adalah salah satu sarana untuk mengakumulasi laba dalam jumlah yang besar. Hal tersebut bisa dijelaskan melalui dua mekanisme. Pertama, para pedagang hanya akan mengekspor barang-barang yang berkualitas tinggi yang diminati banyak orang ke negara lain. Sehingga barang tersebut akan dijual dengan  harga yang mahal. Kedua, pengiriman barang ke negara lain yang jaraknya jauh  juga melewati berbagai risiko dalam perjalanan. Sehingga hanya sedikit orang yang  mau mengambil risiko tersebut, yang mengakibatkan barang yang diekspor juga sedikit dan akan menyebabkan harga barang menjadi mahal sesuai hukum  penawaran dan permintaan.

Dalam perdagangan internasional atau kegiatan ekspor dan impor dikenal istilah bea cukai. Secara definisi bea diartikan sebagai pungutan yang dibebankan atas perbuatan yang berkaitan dengan lalu lintas barang, sedangkan cukai adalah pungutan negara yang dibebankan terhadap barang-barang tertentu dengan sifat dan karakteristik yang perlu dibatasi dan diawasi pemakaiannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan (Ananti, 2017). Khazanah ilmu ekonomi Islam  menyebut bea cukai dengan istilah usyur.

Dengan demikian bisa kita simpulkan bahwa terjadinya peredaran dan pendistribusian barang-barang impor yang sifatnya ilegal, tentu tidak lepas dari lalainya pengawasan disektor perisdustrian rakyat. Tentunya negara harus menyikapi hal tersebut dengan merombak sistem pengawasannya. Bukan perkara yang mudah , karena individu yang bertaqwa menjadi dasar pembentukan dan perbuatan yang benar. Sehingga bisa dikatakan resolusi yang tepat untuk carut marut dinegri ini adalah mengganti sistem kapitalis liberal dengan sistem Islam. Maka akan tercipta iklim yang kondusif dengan ketaatan pada Syariat Allah SWT yang dibawa lewat Rasulullah Shalallahu 'alaihi.

Wallahua'lam bishshowab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak