Polemik Sepak Bola, Antara Kepentingan Atau Kemanusiaan?


Oleh : Mona Ely Sukma

Dua bulan menjelang pelaksanaan Piala Dunia U-20, proses pengundian peserta grup akan digelar akhir bulan ini. Kehadiran tim sepak bola Israel mulai menarik perhatian. Sejumlah kalangan secara terang-terangan menyampaikan penolakan kehadiran tim tersebut. Polemik rencana kedatangan timnas Israel untuk mengikuti pertandingan Piala Dunia U-20 di Indonesia makin memanas seperti dilansir di laman CNN Indonesia.

Mulai dari politisi, kyai, pemimpin daerah, dan masyarakat melakukan penolakan tegas karena negara ini mendukung penuh kemerdekaan Palestina, sebagaimana Palestina yang salalu menjadi target serangan dan dibombardir oleh Israel.

Sementara sikap kementrian pemuda dan olahraga terus melakukan persiapan. Deputi III Kemenpora, Raden Isnanta mengatakan pemerintah Indonesia selaku tuan rumah berkewajiban menyediakan fasilitas sesuai standar organisasi sepak bola dunia FIFA. Hal lain tergantung sepenuhnya pada FIFA sendiri.

Dikutip www.voaindonesia.com,
Indonesia tidak akan mengintervensi apapun keputusan FIFA, respons penguasa sebenarnya refleksi dari cara memimpin. Sebagimana diketahui sistem yang diterapkan saat ini Kapitalisme. Sistem Kapitalisme membuat penguasa hanya memikirkan keuntungan materi semata. Seperti peralatan piala dunia, ajang ini memiliki potensi ekonomi yang sangat besar, mulai dari hotel, penonton marchandise, dan lainnya. Bisa dibayangkan risiko apa yang akan didapatkan jika membatalkannya.

Qatar, tempat berlangsung piala dunia sebelumnya mendapatkan keuntungan  US$7,5 miliar atau sekitar Rp 117,75 triliun (laporan dari al-Jazeera). Jumlah ini belum termasuk kesepakatan siaran utama piala dunia Qatar diterima FIFA dari beberapa negara lainnya. Pengaruh politik peningkatan sektor pariwisata secara umum untuk bisnis atau penginapan. Namun sebagai umat muslim potensi keuntungan ekonomi tersebut tidaklah sebanding dengan pederitaan saudara muslim di Palestina. Palestina yang selalu merasa penderitaan atas kejahatan Israel.

Hal tersebut tidak mengherankan, meskipun negeri ini mayoritas penduduknya muslim. Meskipun warganya menolak kedatangaan timnas Israel. Meskipun ada sikap mengklaim mendukung kemerdekaan Palestina. Tapi, jika masih menerapkan sistem kapitalisme, tentu akan berat bersikap secara benar kepada Israel, bahkan timnas Israel tetap bisa main di negeri ini dengan alasan sebagai tuan rumah wajib menfasilitasi para pemain tersebut.

Padahal sejatinya keuntungan ekonomi yang diincar, sebagaimana penolakan dan kecaman terhadap Israel tidak akan terasa, jika hanya dilakukan oleh individu atau masyarakat saja tanpa didukung oleh negara. Umat Islam, khususnya kaum muslim di Palestina membutuhkan pemimpin yang berani dan tegas, membela, dan menyelamatkan Palestina dari kekejaman Israel.

Selama ini satu-satunya negara yang
mampu mewujudkan sikap tersebut adalah sistem Khilafah. Di antara sikap Khilafah dalam membela Palestina terlihat dari perjuangan panglima Salahuddin al-Ayyubi  yang membebaskan tanah suci Palestina dari cengkeraman tentara salib. Perjuangan ini dilakukan secara nyata dengan mengirim pasukan kaum muslimin dan memerangi tentara salib. Bukan dengan cara kecaman, diplomatika hipokrit, ataupun solusi-solusi menyesatkan ala sistem Kapitalisme saat ini.

Begitu juga dengan sikap tegas Sultan Abdul Hamid II, penguasa kekhilafahan Utsmaniyyah yang menolak mentah-mentah tawaran Teodor Herzi, salah satu tokoh utama gerakan zionisme Israel pada tahun 1902 Teodor Herzi mengunjungi Sultan dengan maksud memberikan tawaran yang begitu menggiurkan kepada Daulah Khilafah (Dikutip dari karya Ahmad Jenggis).

Tawaran tersebut berupa paket hadiah sebesar 150 juta poundsterling untuk pribadi Sultan, jika dikonversikan ke rupiah bisa setara kurang lebih Rp 2,7 triliun. Tawaran berikutnya adalah semua utang Khilafah Utsmaniayyah saat itu mencapai 33 juta poundsterling akan diluasi. Kemudian akan dibuatkan kapal induk untuk menjaga pertanahan Utsamaniyyah sekitar 120 juta frank, juga akan diberikan pinjaman tanpa bunga sebesar 35 juta poundsterling dan akan dibangunkan sebuah universitas Utsmaniyyah di Palestina. Namun tawaran itu disertai dengan kompensasi yakni Sultan Abdul Hamid harus memberikan sejumlah wilayah untuk permukiman Israel di tanah Palestina.

Dengan nada tegas dan penuh ancaman Sultan Abdul Hamid II mengatakan, 

“Nasehati Mr.Herz, agar dia tidak terlalu serius menanggapi masalah ini. Sesungguhnya, saya tidak akan melepaskan kendati hanya satu jengkal tanah Palestina. Sebab ini bukan milik pribadiku, tetapi tanah wakaf kaum muslimin. Rakyatku telah berjuang untuk memperolehnya sehingga mereka berjuang dengan darah mereka. Silakan Yahudi itu menyimpan kekayaan mereka yang milyaran itu. Bila pemerintahanku tercabik-cabik, saat itu baru mereka dapat menduduki Palestina dengan gratis. Adapun jika saya masih hidup, meskipun tubuhku terpotong-potong adalah lebih ringan ketimbang Palestina terlepas dari pemerintahanku."

Sikap tegas ini hanya dilakukan oleh pemimpin dalam sistem Khilafah. Khalifah tidak memikirkan keuntungan materi yang akan didapatkan kerena mereka mamahami hadis Rasulullah:

”Sesungguhnya seorang imam adalah perisai bagi orang-orang yang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung. Jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah dan berlaku adil. Baginya terdapat pahala ...." (HR Muslim)

Dari hadis di atas tampak jelas gambaran pemimpin yang memiliki rasa ketakutan kepada Allah lebih kuat, karena sosok pemimpin dalam Islam adalah perisai seperti tirai karena menghalangi musuh menyerang kaum muslim. Pemimpin seperti ini akan didapatkan di bawah naungan sistem Islam. Wallahu'alam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak