PHK Marak, Di Mana Perlindungan Negara?




Oleh : Ummu Aimar


Sebuah pabrik tekstil yang berlokasi di Cikupa, Kabupaten Tangerang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 1.163 pekerjanya. Diketahui perusahaan tersebut adalah PT Tuntex Garment yang banyak memproduksi untuk baju kenamaan dunia seperti Puma.

Selain Puma, Kepala Bidang Hubungan Industrial Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kabupaten Tangerang Desyanti mengungkapkan bahwa brand asal Amerika Serikat yaitu Nike juga sempat memercayakan produksinya pada pabrik ini.

Bukan Pertama Kali Pabrik Pakaian Puma Ini PHK
"Dulu pernah ada Nike, tergantung pemesanan dari brand-brand. Nike pernah juga pesan kaosnya. Yang jelas produksi tekstil untuk baju olahraga yang berkualitas bagus dan dipakai brand-brand kenamaan dunia," katanya kepada CNBC Indonesia, Selasa (4/4/2023
https://www.cnbcindonesia.com)

PHK lagi dan lagi-lagi PHK. Fenomena yang terus terjadi berulang dan tidak kunjung menemukan solusi pasti. Nasib buruh kian tergantung di tengah badai PHK yang semakin marak. Hingga detik ini siklus PHK terus berulang.

Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Perekonomian Iskandar Simorangkir mengungkapkan terdapat dua faktor penyebab PHK terus terjadi. Bukan hanya di dalam negeri, PHK massal juga terjadi pada perusahaan luar negeri. 

Menurut Iskandar, faktor pertama ialah permintaan terhadap produk yang tidak sesuai ekspektasi. Artinya, produksi mengalami penurunan yang mengakibatkan perusahaan harus memangkas pengeluaran dengan cara mengurangi pekerja. Hal ini lazim dilakukan suatu perusahaan dalam melakukan efisiensi biaya dengan mengorbankan pekerjanya.

Kedua, Banyak perusahaan besar telah berhasil membangun sistem teknologi di perusahaannya. Dengan sistem tersebut, perusahaan tidak lagi membutuhkan karyawan dalam jumlah besar sehingga efisiensi pun dilakukan.

Namun sebenarnya ada faktor lain penyebab PHK marak di mana-mana, yaitu ketakpastian ekonomi global berupa dampak buruk penerapan ekonomi kapitalisme yang membawa penyakit bawaan berupa inflasi. Ini karena ekonomi kapitalisme mengandalkan kebijakan moneter pada mata uang kertas, seperti dolar yang rentan inflasi.

Saat ini, masyarakat yang menjadi korban PHK hanya bisa berharap adanya figur atau sosok seorang pemimpin yang memahami dan tahu persis terkait persoalan yang telah dialami oleh sebagian besar kalangan buruh. Dengan hadirnya seorang pemimpin dari kalangan buruh atau serikat pekerja diharapkan dapat mengoptimalkan fungsi penegakan hukum, khususnya dalam mengatasi ketenagakerjaan.

Akan tetapi, permasalahan yang datang bertubi-tubi dan tidak ada titik terangnya ini bukan sekadar tentang seorang pemimpin. Mereka yang dinilai tak mampu menjalankan tugasnya, tak bisa keluar dari cengkeraman sistem kapitalis. Sebaik apa pun kepribadian seorang pemimpin, tidak akan berkutik manakala berbenturan dengan kepentingan di sistem kapitalis ini. 

Demokrasi yang dibangun di atas sekularisme-kapitalisme telah mengunci hati setiap pengembannya. Meskipun awalnya mereka berjuang untuk rakyat, tapi ambisi kepentingan pribadi mengalahkannya. Ibarat hati yang suci dapat ternodai dengan adanya aturan yang di usung sekularisme-kapitalisme.
Dapat dikatakan PHK tersebut salah satu bentuk kezaliman di tengah rakyat. Tidak diberikannya hak-hak para pegawai, pekerja, karyawan atau buruh sesuai dengan yang seharusnya. Hal ini tentu sangat beda sekali dengan Islam.

Dalam sistem ekonomi Islam, PHK sangat kecil sekali kemungkinannya terjadi. Sebab, prinsip ekonomi Islam yang dianut adalah penyerapan pasar domestik yang sangat didukung oleh negara dalam rangka memenuhi setiap kebutuhan individu masyarakatnya. Selain itu, sistem ekonomi Islam pun mencakup pembahasan tentang tata cara perolehan harta kekayaan dan pemanfaatannya baik untuk kegiatan konsumsi maupun distribusi. 

Walhasil, jika penerapan ekonomi kapitalisme terus berlangsung, mustahil bisa menghilangkan PHK yang berpengaruh pada jumlah pengangguran sehingga mengakibatkan kemiskinan makin menganga. Demikianlah, permasalahan ekonomi kapitalisme akan terus berputar seperti itu selama ideologi ini diterapkan.

Di sisi lain, peran negara sangat minim. Jika ekonomi lesu, negara kerap mencari solusi instan dalam mengurangi jumlah pengangguran. Dalam mengatasi pengangguran, negara membuka investasi asing/ swasta agar lapangan kerja bertambah dan menyerap tenaga kerja Indonesia. Untuk mengurangi angka kemiskinan, negara hanya menerapkan solusi tambal sulam yang tidak menyentuh pokok permasalahan, yakni memberikan berbagai stimulus agar daya beli masyarakat menggeliat, seperti bansos, sembako, dsb.

Ironisnya lagi, di tengah kemelut PHK dengan solusi instan dan pragmatis, privatisasi SDA terus terjadi. Liberalisasi kekayaan alam negeri telah merampok harta milik rakyat menjadi milik individu atau swasta. Privatisasi telah merenggut peran negara yang semestinya menghidupi rakyat, menjadi hanya bertindak sebagai regulator kepanjangan tangan kepentingan kapitalis. Kekayaan SDA yang mestinya bisa memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat, seolah sia-sia tatkala kapitalis berkuasa dan menguasai hajat hidup masyarakat.

Dalam sistem ekonomi Islam, kesejahteraan diukur berdasarkan prinsip terpenuhinya kebutuhan setiap individu masyarakat, bukan atas dasar penawaran dan permintaan, pertumbuhan ekonomi, cadangan devisa, nilai mata uang, ataupun indeks harga-harga di pasar nonriil.

Persoalan PHK dan pengangguran adalah efek penerapan kapitalisme, maka penyelesaiannya harus mendasar dan fundamental, bukan lagi tambal sulam. Karna  negara harus menstabilkan sistem moneter dengan dua cara, yaitu mengubah dominasi dolar dengan sistem moneter berbasis emas (dinar) dan perak (dirham). 

Pengaturan kepemilikan harta, yaitu kepemilikan individu, umum, dan negara. Dengan kejelasan status kepemilikan harta, negara mengelola harta milik umum untuk kemaslahatan rakyat semata. Islam melarang menyerahkan pengelolaan harta milik umum kepada individu atau swasta. Dengan begitu, hasil pengelolaan harta milik umum bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan asasi masyarakat.

Kemudian penerapan sistem pendidikan yang terjangkau, bahkan gratis untuk semua warga negara. Pendidikan adalah salah satu kebutuhan pokok yang harus dipenuhi negara agar semua rakyat dapat mengenyam pendidikan sesuai keinginan mereka.

Negara juga wajib menyediakan lapangan kerja untuk warganya. Yang tidak punya modal, diberi modal usaha. Yang tidak punya keterampilan, diberi pelatihan agar ia mampu bekerja. Yang memiliki keahlian, akan terserap pada sektor usaha riil, seperti pertanian, industri berat, pertambangan, dll. Dalam Islam, tidak ada istilah orang menganggur. Kewajiban mencari nafkah pun hanya dibebankan kepada laki-laki, bukan perempuan.

Pada masa Khalifah Umar bin Khaththab (13—23 H/634—644 M), misalnya, hanya dalam 10 tahun masa pemerintahannya, kesejahteraan merata ke segenap penjuru negeri. Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99—102 H/818—820 M), meskipun masa pemerintahannya cukup singkat (hanya tiga tahun), umat Islam mengenangnya sebagai khalifah yang berhasil menyejahterakan rakyat. 

Wallahu'alam...

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak