Perusahaan Dibela, Buruh Sengsara



Oleh: Nabila Sinatrya

Nasib buruh kembali runyam, hal ini diperparah dengan keluarnya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 5 Tahun 2023 tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan Pada Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Berorientasi Ekspor yang Terdampak Perubahan Ekonomi Global.

Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah mengizinkan perusahaan berorientasi eksportir untuk memotong gaji buruh maksimal 25 persen serta mengurangi jam kerjanya. Kebijakan ini untuk meminimalisir Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Koordinator BPJS Watch, Timboel Siregar, menganggap kebijakan pemotongan gaji maksimal 25 persen dari upah yang biasa diterima buruh, bukan solusi efektif untuk menekan angka PHK. Karena hubungan kerja di industri padat karya berorientasi ekspor, umumnya adalah pekerja kontrak dan outsourcing. Sehingga perusahaan tetap dengan mudah memutus ikatan kerja. 

Alasan pemotongan upah tidak sesuai dengan realitas di lapangan, pasalnya permintaan dari luar negeri terus meningkat. Secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia Januari–Februari 2023 mencapai USD 43,72 miliar atau naik 10,28 persen dibanding periode yang sama tahun 2022. Sementara ekspor nonmigas mencapai USD 41,05 miliar atau naik 8,73 persen, (kumparan.com/19/03/2023).

Kondisi rawan para buruh sebagai pekerja kontak dan adanya  sistem outsourcing adalah buah Undang-undang Ciptaker yang sudah disahkan oleh DPR. Selain perihal kontrak kerja, ada penghapusan upah minimum berdasarkan provinsi atau kabupaten (UMK). Permenaker No. 5/2023 makin menambah panjang daftar permasalahan yang mendera kaum buruh.

Sungguh nasib para buruh makin mengenaskan dalam tatanan sistem ekonomi kapitalis. Mirisnya, negara justru membuat regulasi yang menguntungkan para pemilik modal (kapital). Kepentingan rakyat tak lagi dihiraukan, suara rakyat hanya dibutuhkan saat pemilu saja. Sistem ini terbukti gagal menjamin kesejahteraan para pekerja.
 
Sangat berbeda jika dibandingkan dengan penerapan Islam dalam Khilafah. Khalifah akan bertanggung jawab penuh terhadap seluruh urusan rakyat, termasuk menjamin kesejahteraan para pekerja. Dalam melegalisasi hukum pun berlandaskan Al-Qur'an dan as-sunnah, tidak akan ada celah membuat aturan sesuai dengan kepentingan manusia.

Dalam Islam, perjanjian antara pengusaha dengan buruh harus sesuai dengan akad ijarah, di mana perjanjian keduanya tidak boleh ada yang mendzalimi. Penetapan upah disesuaikan dengan manfaat tenaga yang diberikan pekerja.

Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Nidzam al-Iqtishadi fi al-Islam menyampaikan bahwa “Sebuah kontrak transaksi jasa tertentu dengan kompensasi."

Artinya upah ditentukan sesuai dengan manfaat atau hasil kerja maupun jasa yang disepakati oleh kedua belah pihak. Jika terjadi persengketaan antara majikan dengan pekerja, maka upah akan ditentukan oleh pakarnya untuk mendapatkan yang sepadan. Sedangkan penetapan upah minimum dilarang dalam islam karena sebagaimana penetapan harga. Jika harga kompensasi atas barang, sedangkan upah adalah kompensasi atas jasa.

Selain itu, negara juga memberikan jaminan kesejahteraan melalui pemenuhan kebutuhan pokok, individual maupun komunal. 

Upah pekerja digunakan untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Keterjangkauan kebutuhan pokok individu akan dijamin oleh negara baik secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan kebutuhan komunal seperti kesehatan, pendidikan, dan keamanan ditanggung penuh oleh negara secara murah bahkan gratis. 

Keadilan kesejahteraan sebagai hasil penerapan syariat Allah swt, sebagaimana firmanNya dalam (QS Al-Hadid: 25). “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan mizan (neraca, keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” 
Begitulah penerapan Islam dalam Khilafah sangat memperhatikan nasib para pekerja.

Wallahu'alam bi showab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak