Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan Keluarga
MenKopUKM Teten Masduki berkunjung ke Pondok Pesantren Sunan Drajat yang terletak di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, dan ia melihat peran sebagai akselerator ekonomi setempat dapat dilakukan dengan baik oleh pondok pesantren itu. Pondok pesantren yang memiliki luas lahan kurang lebih 104 hektare ini memiliki beberapa unit bisnis yang dijalankan seperti air mineral, garam, jamu, percetakan, mini market, dan paling baru ialah restoran. Ia menambahkan, Pondok Pesantren Sunan Drajat juga memiliki tugas dalam pengembangan ekonomi masyarakat dan bisa menjadi role model bagi pesantren lain. (www.tvonenews.com, 23/03/2023)
Pemerintah begitu gencar menyasar santri, mahasiswa, dan pemuda untuk bisa berkontribusi dalam meningkatkan perekonomian nasional. Mereka diminta untuk aktif di berbagai giat usaha ekonomi kreatif di masing-masing daerah, mengingat salah satu peran strategis pesantren adalah mendukung perekonomian syariah.
Terlebih lagi, jumlah pesantren mencapai 36.080 dengan jumlah santri sekitar 4,2 juta orang. Sebanyak 12.469 atau 39,7% pesantren memiliki potensi ekonomi yang bisa menjadi motor penggerak ekonomi kerakyatan, ekonomi syariah, dan UMKM halal. (Radar Bogor, 15/09/2022).
Untuk mendukung program ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 114/2020, sebagai payung hukumnya. Dalam peraturan tersebut dinyatakan bahwa edukasi dan literasi keuangan merupakan elemen penting. Dan bahwa segmen pelajar/santri dan masyarakat sekitar pondok pesantren merupakan sasaran prioritas dalam peningkatan inklusi keuangan di Indonesia. Hal ini tertuang dalam Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI).
Pengembangan ekonomi pesantren, dilakukan melalui penguatan kewirausahaan, lembaga keuangan mikro syariah, sektor riil, dan upaya ketahanan pangan bermuara pada kesejahteraan masyarakat pesantren. Sepintas tampak bagus, tetapi justru akan mencetak para santri sebagai buruh kapitalisme.
Corak pesantren yang telah melekat sebagai lembaga pendidikan agama dan dakwah, kini terkikis dengan kebijakan pemerintah lewat program ini. Harapan santri sebagai penerus ulama pun menjadi kandas.
Jika pesantren telah menjadi pangsa pasar baru bagi para kapitalis, hal ini jelas berbahaya bagi para santri. Pesantren yang semestinya menjadi tempat mencetak muslim yang bertakwa, malah berganti menjadi pencetak wirausahawan untuk kepentingan para kapitalis.
Selain itu, pesantren notabene sebagai tempat diajarkannya tsaqafah Islam yang dipelajari langsung dari sumber-sumber kitab muktabar. Fungsi ini pun terancam hilang. Harapan umat untuk bisa mengkaji lebih mendalam ajaran Islam secara paripurna di pesantren, juga akan pupus seiring gencarnya program santripreneur.
Sungguh, bukan kemaslahatan yang didapatkan dari program santripreneur, melainkan kemudaratan. Memberdayakan ekonomi pesantren sama saja mengambil keuntungan materi sebesar-besarnya dari pesantren. Santri dipekerjakan dan diiming-imingi dengan keuntungan materi, padahal mereka sedang disasar sebagai buruh bagi korporasi. Wallhua’lam bi ash showab