Oleh: Salis F. Rohmah
Terasa bukan kasus yang mengagetkan lagi ketika terdapat berita yang megabarkan tentang penelantaran bayi. Seperti yang terjadi beberapa hari lalu di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Seorang bayi ditelantarkan oleh kedua orang tuanya yang diduga hasil dari hubungan di luar pernikahan.
Data juga membuktikan tidak jarang kasus penelantaran bayi telah terjadi di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, ada 4,59% bayi di Indonesia yang telantar pada 2022. Kalimantan Utara menjadi provinsi dengan proporsi balita telantar tertinggi di Indonesia, yakni 12,16%.
Jangankan penelantaran bahkan kasus pembuangan bayi akibat hubungan gelap juga sering terjadi. Di bulan Maret, warga Tulungagung sempat dihebohkan dengan berita penemuan bayi yang dibuang di pinggir jalan. Kemudian polisi mengungkap bahwa penemu bayi adalah orang tua bayi yang bersandiwara akibat malu karena bayi adalah hasil dari hubungan dengan pasangan gelapnya.
Kemungkinan kejadian yang serupa semakin bertambah mengingatkan dispensasi nikah akibat hamil di luar nikah pun juga sering diajukan. Lantas bagaimana seharusnya menangani masalah yang semakin marak terjadi ini?
Dikutip dari berbagai sumber bahwa Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) bergerakcepat melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah terkait kasus penelantaran bayi di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. “Pemerintah, tokoh agama, tokoh adat, masyarakat, hingga keluarga harus bersinergi memberikan edukasi reproduksi kepada anak dan remaja serta edukasi ketahanan keluarga bagi calon orang tua," ujar Plt. Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak KemenPPPA, Rini Handayani, di Jakarta, Sabtu (8/4).
Pemerintah melalui KemenPPPA mengaku prihatin atas maraknya kasus penelantaran bayi, apalagi dugaan besar bahwa bayi akibat hubungan di luar pernikahan. Indonesia Layak Anak Tahun 2030 adalah goal yang ingin diwujudkan namun perlu upaya strategis dalam upayanya.
Keprihatinan kepada kasus penelantaran anak akibat hasil hubungan perzinahan memang seharusnya disikapi, namun menjadi kritik besar kepada pemerintah jika tidak ada pencegahan hubungan perzinahan. Karena penelataran bayi yang kerap terjadi sejatinya adalah masalah cabang akibat hubungan perzinahan. Anehnya, tindak perzinahannya tidak pernah disikapi dengan serius.
Keanehan ini terjadi karena negeri ini dan dunia hari ini mengambil dan menerapkan nilai sekulerisme-liberalisme. Paham yang membolehkan manusia bertingkah laku semaunya asalkan tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Begitu juga negeri ini tidak menghukum pelaku perzinahan jika dilandasi suka sama suka. Tidak ada tindak tegas meski dalam agama Islam perzinahan adalah dosa besar yang perlu pencegahan dari negara sebagai penjaga masyarakat. Beginilah sekulerisme diemban dan dilestarikan meski di negeri mayoritas muslim sekalipun.
Berbeda dengan sekulerisme, Islam sebagai asas kehidupan mampu memunculkan aturan pergaulan yang mencegah terjadinya seks bebas. Bahkan Allah dengan tegas memerintahkan agar jangan mendekati perzinahan. Maka upaya berlapis akan dilakukan dalam pergaulan Islam untuk menjaga kesucian hubungan masyarakat.
Di dalam aturan pergaulan Islam, wajib hukumnya mrmisahkan antara kehidupan laki-laki dan perempuan. Jika tidak ada hal yang diharuskan mereka bertemu, seperti dalam hal kesehatan atau perdagangan, maka antara laki-laki dan perempuan tidak ada pertemuan bahkan bercampur baur tanpa batas. Laki-laki dan perempuan juga wajib menutup auratnya di lingkungan publik hingga wajibnya perempuan ditemani mahramnya ketika safar adalah bentuk pencegahan terjadinya zina yang harus diterapkan oleh negara.
Selain itu media di Islam akan menjaga masyarakat agar menundukkan pandangan. Tidak ada model yang akan pamer aurat atau tanyangan lain yang mengundang syahwat. Justru media menjadi sarana edukasi tentang tata pergaulan sesuai syariat Islam. Negara tidak akan memberikan tempat bagi konten-konten yang mengumbar syahwat walaupun hal tersebut dapat mendulang banyak keuntungan. Maka halal haram yang akan menjadi patokan kehidupan, bukan sekedar untung rugi materi yang jadi kejar-kejaran.
Sekulerisme justru sejatinya memunculkan masalah beruntun akibat nafsu bejat manusia yang dibiarkan dipenuhi. Berapa banyak lagi nyawa bayi yang tak berdosa akibat hubungan perzinahan yang harusnya tak boleh dibiarkan. Sampai kapan kita menutup mata melihat kesemrawutan ini? Maka sudah saatnya umat muslim membuang sekulerisme dari kehidupan mereka dan taubat (kembali) mengambil Islam sebagai aturan dan solusi bagi kehidupan.
Wallahu a’lam bishshawab.
Tags
Opini