Oleh: Nun Ashima
(Aktivis Muslimah)
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia meminta agar pembahasan Rancangan Undang-Undang Kesehatan dihentikan. Salah satu poin yang dipermasalahkan di RUU itu adalah perlindungan hukum terhadap tenaga kesehatan dan tenaga medis yang dinilai belum terjamin. PB IDI meminta agar penolakan berbagai pihak terhadap RUU ini diperhatikan secara serius oleh pemerintah.
Hal ini ditegaskan oleh Ketua Umum PB IDI Moh Adib Khumaidi melalui siaran pers, Minggu (9/4/2023), "Seorang dokter yang melakukan sebuah pelayanan kesehatan menyelamatkan nyawa maka harus memiliki hak imunitas yang dilindungi undang-undang. Di sinilah peran organisasi profesi sebagai penjaga profesi untuk memberi perlindungan hukum. Namun, peranan organisasi profesi dihilangkan," ungkapnya.
Dengan hal ini, pemerintah akan mempermudah dokter asing maupun dokter diaspora untuk beroperasi di dalam negeri. Aturan ini tertuang dalam Draf Revisi Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Draf tersebut mengatur tenaga medis dan tenaga kesehatan asing harus dapat beroperasi dalam syarat yang diatur pada Pasal 233 dan Pasal 234. Syarat pertama dalam Pasal 233 adalah dokter lulusan luar negeri tersebut harus lolos evaluasi kompetensi.
Impor dokter asing bukanlah kali ini saja diwacanakan oleh pemerintah. Seperti di tahun 2020, pemerintah melakukan hal ini dengan alasan agar rakyat tidak harus berobat ke luar negeri sehingga menguntungkan dan terjaganya devisa negara.
Alih-alih ini semua tercapai, SDM dalam negeri pun judtru terancam. Dengan adanya regulasi ini, dapat memudahkan tenaga kesehatan luar negeri untuk berebut masuk dan secara otomatis tenaga medis dalam negeri pun tersingkirkan.
Padahal, kalau kita melihat SDM dalam negeri sangatlah memadai. Tinggal peran pemerintah dalam mengupayakan dan mengembangkannya.
Persoalan kesehatan di negeri ini masih banyak dan sangat kompleks, banyak hal yang harus diselesaikan dengan tuntas. Namun RUU Kesehatan justru tidak menawarkan solusi yang komprehensif untuk mewujudkan pelayanan yang berkualitas dan mudah bagi rakyat dan justru merugikan kepentingan rakyat termasuk para tenaga kesehatan.
Sudah menjadi identitas sistem sekuler kapitalis, dimana ada keuntungan di situ usaha dilanggengkan. Di sinilah liberalisasi kesehatan kemudian semakin mudah dilancarkan. Tidak lagi menimbang hak rakyat maupun pelaksananya.
Berbeda dengan sistem Islam. Islam menjadikan kesehatan sebagai tanggung jawab negara. Islam mengupayakan terselenggarnya pelayanan kesehatan yang berkualitas, mudah, dan murah bahkan gratis dalam semua aspeknya, baik dari sisi sarana prasarana maupun SDM dan hal terkait lainnya. Semua ini akan kita rasakan apabila Islam diterapkan di seluruh lini kehidupan.
Penguasa dalam sistem Islam (Khilafah) berjalan di atas syariat Islam, sehingga setiap kebijakan yang diterapkan tidak akan keluar dari syariat. Sedangkan syariat sendiri memerintahkan penguasa adalah sebagai qhadhimul ummah (pelayan umat).
Rasulullah Saw Bersabda :
"Seorang Imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya,"(HR. Bukhari).
“Barangsiapa di antara kalian mendapatkan rasa aman di rumahnya (pada diri, keluarga dan masyarakatnya), diberikan kesehatan badan, dan memiliki makanan pokok pada hari itu di rumahnya, maka seakan-akan dunia telah terkumpul pada dirinya.” (HR. Tirmidzi no. 2346, Ibnu Majah no. 4141).
_Wallahu a'lam bishawab_
Tags
Opini