Oleh: Ummu Fathan
Pasca terbukanya dugaan kekerasan yang diduga dilakukan oleh anak pejabat kaya, terbukalah banyak hal. Mulai dari terbongkarnya gaya hidup hedon nan hobi flexing si anak, hingga pertanyaan publik berkaitan darimana sumber kekayaan anak muda belia bisa sebanyak itu kepemilikan barang mewahnya.
Satu demi satu terbuka, anak hedon yang diduga pelaku kekerasan tersebut ternyata anak pejabat yang diragukan kekayaanya. Murni dari gaji ataukah masuk terjangkit penyakit tikus berdasi alias kekayaan mencurigakan. Tak lama berselang, publik kembali heboh dengan dana 300 T yang konon ditemukan sebagai transaksi keuangan mencurigakan dan berpotensi merugikan negara.
Jika hal mencurigakan tersebut disinyalir bagian mata rantai dari wabah tikus berdasi, maka problema ini memang sudah demikian kronis. Angka besar yang ditemukan mustahil bisa lolos rapi jika hanya satu orang saja yang melakukan. Kemungkinan tikus berdasi ini telah beranak pinak, telah membentuk marga yang bisa jadi menyusup di banyak lembaga. Dan pastinya semakin mempersulit wabah diatasi dan dicegah.
Ada banyak faktor yang mempengaruhi mengapa wabah tikus berdasi ini makin kronis. Di antaranya:
1. Kualitas personal yang lemah benteng imannya, sehingga ketika gejala wabah mendekati tidak dapat melindungi diri atau menangkal hingga tidak terjangkiti.
2. Ada dugaan berlakunya 'adagium' yang menurun. Jika sama-sama kebagian tidak mengapa, memang wajar untuk kembali modal. Hal ini seolah-olah mengindikasikan lemahnya birokrasi menertibkan kesehatan para pegawainya agar tidak menularkan wabah bahaya.
3. Sanksi dan hukuman yang dinilai sebagian pihak tidak sungguh-sungguh memberikan efek jera. Walhasil hukuman yang didapat seakan dipandang ringan dari pada besarnya hasil yang didapatkan. Banyaknya lembaga yang mengurusi ulah tikus berdasi seolah-olah tak jua menurunkan jumlah dan level kejahatan mereka dari hari ke hari.
4. Kebiasaan buruk tikus berdasi memanfaatkan kecanggihan teknologi, memodifikasi agar apa yang dibawa lari tidak terendus karena dengan transaksi digital jejak pencucian uang bisa disamarkan jejaknya, sehingga sulit terlacak.
Parahnya lagi, semua poin di atas diperburuk dengan tidak takutnya personal tikus berdasi akan konsekuensi perbuatannya di akhirat. Kurang begitu memedulikan bagaimana pandangan agama terkait halal haramnya cara memperoleh harta. Kurang berpikir dampak jangka panjangnya harta bagi keshalihan putra putri yang turut menikmatinya. Walhasil tidak kaget jika justru "anak polah bapak kepradah". Inilah buah nyata dari aturan sekularisme yang bersimbiosis dengan liberalisme dan gaya hidup hedonis.
Tikus berdasi nampaknya mudah diberantas jika Islam dijadikan aturan. Dalam Islam negara memiliki kewajiban mengarahkan individu rakyat, personal pejabat, dan juga masyarakat untuk terus taat dan tunduk pada hukum IsIam. Individu dibina ketakwaannya, masyarakat diaktifkan pola amar makruf nahi munkarnya, dan negara dengan tegas menegakkan hukuman bagi yang terang-terangan melakukan pelanggaran dengan seadil-adilnya.
Pun Islam akan melakukan sinkronisasi bukan hanya di level pemerintahan saja, tapi dari sistem ekonomi, sosial masyarakat, politik, pendidikan, media massa, hingga urusan peradilan sekalipun semuanya diatur sesuai yang Rasul tuntunkan. Semuanya diemban dengan amanah menyejahterakan dan memudahkan kehidupan. Dijamin dapat dinikmati semua orang secara merata tanpa harus mencuri sembunyi-sembunyi.
Jikapun terpaksa masih saja ada pelanggaran, maka pelaku harus siap dengan sanksi tegas yang diberikan. Dirampas hasilnya korupsinya, diumumkan ke publik kesalahannya, dan ditakzir sesuai kadar pelanggarannya. Dan untuk pemilihan pejabat berikut seleksi ketat berbasis ketakwaan akan diutamakan. Maka orang yang melihat dan menyaksikan akan berpikir panjang sebelum ikut-ikutan. Dengan IsIam, maka wabah kronis tikus berdasi niscaya diatasi. []
Sumber gambar: suaraindonews