Korupsi Menggurita, Mampukah UU Perampasan Aset Mencegah korupsi?




Oleh: Imas Rahayu, S.Pd
Aktivis Muslimah

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan pencekal terhadap 10 tersangka dalam penyidikan kasus dugaan korupsi tunjangan kinerja (tukin) pegawai di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada tahun anggaran 2020—2022 ke pergi  luar negeri. 

Asep Guntur Direktur selaku Penyidikan KPK mengungkapkan modus korupsi dalam kasus ini adalah dengan sengaja salah memasukkan angka tukin yang akan ditransfer. Selain itu, Penyidikan KPK telah melakukan penggeledahan di sejumlah lokasi, antara lain, Kantor Ditjen Minerba di Tebet Jakarta Selatan, Kantor Kementerian ESDM di Jalan Medan Merdeka Selatan, rumah tersangka di Depok dan Apartemen Pakubuwono di Jakarta Pusat. Di Apartemen Pakubuwono, penyidik KPK telah menemukan uang tunai sejumlah Rp1,3 miliar ( m.antaranews.com,Jumat, 31 Maret 2023)

Kasus korupsi hal yang biasa terjadi di negeri ini, kasus ini dilakukan baik oleh pejabat, anggota dewan atau ASN, bahkan dilakukan secara berjamaah. Di tengah marak kasus korupsi, kini ramai pembahasan tentang RUU perampasan aset tindak pidana.  Pembahasan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana semakin panas setelah Menko Polhukam Mahfud MD melakukan permohonan khusus kepada komisi III DPR pada saat membahas transaksi janggal senilai Rp349 triliun di Kementerian Keuangan. Arsul Sani selaku Anggota Komisi III DPR   menyetujui pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana. Menurutnya, dengan adanya RUU agar proses pengembalian kerugian negara bisa dilakukan lebih cepat dan lebih baik.

Pembahasan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana, hingga kini belum ada kejelasan terkait aturan perampasan aset. Padahal Indonesia telah menandatangani konvensi tersebut pada 2003 dan melakukan ratifikasi dengan membuat Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2006. Pada pelaksanaannya, melalui putusan pengadilan lah perampasan aset baru bisa dilakukan . Apakah dengan ada upaya pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana mampu mencegah korupsi yang sudah mengurita dan membudaya saat ini?

Jelas, fakta kasus korupsi merupakan menjadi PR besar di Indonesia, baik korupsi dalam kelembagaan, maupun korupsi politik yang terkait dengan kekuasaan dan melibatkan bukan satu dua lembaga, tetapi sudah menggurita di semua lembaga.

Sudah banyak bukti  pejabat, mulai dari wakil rakyat, kementerian dan lembaga, pemimpin dan pejabat daerah, pejabat BUMN, bahkan aparat hukum dan pejabat perguruan tinggi yang tertangkap karena terjerat kasus korupsi. 

Hal ini, sejalan dengan hasil penilaian Transparency International mengenai Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia. Pada 2022, poinnya hanya 34, melorot 4 poin dari tahun sebelumnya. Padahal rata-rata IPK global sendiri ada di angka 43.

Sehingga, Indonesia masuk sebagai negara yang korup. Dalam skala umum, Indonesia berada di peringkat ke 110 dari 180 negara yang dinilai. Indonesia masuk sebagai negara terkorup ke-5 di antara negara-negara Asia Tenggara setelah Myanmar, Laos, Kamboja, dan Filipina.

Sulitnya memberantas budaya kasus korupsi yang sudah menggurita dipengaruhi banyak faktor. Salah satu sulitnya memberantas korupsi adalah faktor budaya yang diwariskan turun temurun bahkan sejak zaman penjajah, serta lemahnya birokrasi dan sistem hukum, juga turut berperan dalam melembagakan perilaku koruptif.

Selain itu, faktor utama munculnya budaya korupsi adalah penerapan sistem turunannya, yaitu kapitalisme yang diterapkan saat ini. Sistem kapitalisme sekularisme dibangun dari asas manfaat dan motif materi, dari  wajar jika lahir manusia-manusia rakus yang menganggap perilaku korupsi adalah hal  yang biasa sehingga praktik korupsi tumbuh subur dalam semua bidang. Hal seperti ini bisa terjadi karena ditopang oleh sebuah sistem yang memunculkan budaya korupsi ini.

Berbeda halnya dengan Sistem Islam, budaya korupsi  bertentangan dengan Islam, dalam Islam korupsi merupakan kemaksiatan. Hal ini berkaitan dengan jabatan adalah sebagai satu amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak di akhirat.

Ketika sistem Islam diterapkan,  seorang penguasa atau pemangku kebijakan publik yang berkuasa, ia akan senantiasa berhati-hati dalam menjalankan aktivitasnya agar selaras dengan perintah dan larangan Allah Swt. Orientasi kehidupan seorang penguasa dalam sistem ini adalah akhirat sehingga kemungkinan kecil untuk korupsi.

Dalam hal ini ,Islam mewajibkan negara untuk membina ketakwaan setiap individu rakyatnya, juga mendorong masyarakat untuk melakukan amar makruf nahi mungkar. Hal ini dilakukan untuk mencegah berkembangnya  budaya tindak korupsi.

Selain itu, negara juga akan menerapkan berbagai aturan secara global sehingga tidak ada tidak ada lagi celah yang mengantarkan terjadinya korupsi dengan menerapkan aturan Islam secara kafah dalam seluruh bidang kehidupan.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak