Korupsi Langgeng dalam Asuhan Demokrasi



Oleh : Wulansari Rahayu, S. PD


Kasus korupsi kembali ditemukan, baik oleh pejabat, anggota dewan atau ASN, bahkan dilakukan secara berjamaah.

Selain ramai soal nama Mantan Pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Rafael Alun Trisambodo (RAT), yang disinyalir menerima gratifikasi selama menjadi pegawai Ditjen Pajak Kemenkeu. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menahan dan menetapkan tersangka kepada Bupati Kapuas Ben Brahim S. Bahat bersama istrinya Ary Egahni yang merupakan legislator DPR RI pada 28 Maret 2023 lalu.

Untuk 2023, ICW  sediri memprediksikan modus korupsi dengan memanipulasi saham atau pemanfaatan pasar modal akan marak. Ini sejalan dengan temuan PPATK pada 2022 lalu yang menyebut terdapat 1.215 laporan transaksi keuangan mencurigakan dengan nilai Rp183,8 triliun. Dari total transaksi tersebut, terdapat lebih dari Rp81,3 triliun yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi.
Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan korupsi di Indonesia saat ini telah terjadi di berbagai sektor. Ia menyebut korupsi sudah menjadi fenomena yang gila. “Gilanya korupsi di negara kita ini,” ujarnya. (kbr[dot]id, 21-3-2023).

Saat ini Ramai pembahasan tentang RUU perampasan aset tindak pidana, yang hingga kini belum ada kejelasan , padahal Indonesia telah menandatangani konvensi tersebut pada 2003 dan melakukan ratifikasi dengan membuat Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2006.

Melihat gurita kasus korupsi, dan kuatnya sekulerisme merasuki negara ini, muncul pertanyaan apakah penegsahan RUU perampasanaset mampu mencegah korupsi? . Faktanya berbagai hukuman yang diberikan belum juga membuat efek jera. 

Perlu di cermati bahwa mengularnya kasus korupsi tidak lainlahir dari rahim demokrasi. Sistem politik demokrasi yang begitu mahal hanya akan menghimpun para pejabat korup yang gila kuasa dan harta. Pejabat dari tingkat daerah hingga pusat seperti sedang berlomba menggali emas dalam jabatannya. Tidak peduli rakyatnya mati kelaparan, korupsi jalan terus. Lihat saja kasus korupsi Menteri Sosial Juliari Batubara, ia mengambil jatah BLT rakyat, tidak peduli meski rakyat sudah kehabisan napas akibat pandemi.

Sistem demokrasi yang mahal juga akan menciptakan sistem politik transaksional. Hukum yang ada bukan lagi bicara siapa yang benar dan salah, melainkan siapa pun yang memberi banyak dan memiliki kekuasaan besar, ialah yang layak dibela. Jadilah politik saling sandera, yakni yang menjatuhkan akan dijatuhkan.

Islam memiliki berbagai mekanisme efektif untuk mencegah korupsi, mulai dari penanaman akidah yang kuat hingga sistem sanksi yang tegas. landasan sistem kehidupan masyarakat Islam adalah akidah yang akan melahirkan takwa. 

Seseorang akan senantiasa berperilaku sesuai perintah Allah Taala. Ubadah bin Ash-Shamit berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya ghulul (korupsi) itu adalah kehinaan, aib, dan api neraka bagi pelakunya.”
Umat termasuk para pejabatnya akan senantiasa menjauhi korupsi karena ingin masuk surga. Inilah yang dimaksud dengan kontrol internal. Tanpa ada pengawasan, para pejabat akan mengontrol sendiri perbuatannya. Meski demikian, tetap perlu adanya kontrol dari eksternal. 

Hukum sanksi pejabat menjadi markus sama dengan korupsi, yaitu takzir. Bentuk dan kadar sanksinya didasarkan pada ijtihad khalifah atau kadi. Antara lain, bisa menyita hartanya sebagaimana yang Khalifah Umar bin Khaththab ra. lakukan; ataupun diekspose (tasyhir), penjara, hingga hukuman mati jika itu menyebabkan dharar bagi umat dan negara. Wallahu alam bi showab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak