Oleh : Ummu Aqeela
Berdasarkan laporan Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Polri, diketahui bahwa sebanyak 979 miliar rupiah denda pelanggaran lalu lintas telah tercatat masuk di sepanjang semester pertama 2022. Jumlah ini meningkat sebesar 35% bila dibandingkan dengan denda tilang yang diperoleh di tahun 2021. Di tahun 2020, Polri mencatat bahwa terdapat denda pelanggaran lalu lintas sebesar 1,4 triliun rupiah. Sedangkan di tahun 2019 tercatat sebanyak 1,7 triliun rupiah uang denda telah masuk ke kas negara. Kemudian di tahun 2018 sebanyak 2,2 triliun rupiah telah tercatat sebagai denda dari pelanggaran lalu lintas.
Bila dilihat berdasarkan data tahunan, maka jumlah uang dari denda tilang yang diterima oleh negara ini terus berkurang selama masa pandemi COVID-19 berlangsung, yakni dari tahun 2019 hingga 2021, baru lah di tahun 2022 jumlah pemasukan dari denda tilang kembali melonjak naik.
Berdasarkan laman resmi Komisi Kejaksaan RI, denda tilang atau uang denda pelanggaran lalu lintas merupakan salah satu sumber penerimaan Negara yang digolongkan ke dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Dan perlu diketahui juga bahwa uang hasil denda tilang ini tidak dapat digunakan secara langsung baik oleh Polri maupun Kejaksaan, melainkan akan disetorkan langsung ke kas negara yang akan disalurkan kembali ke masing-masing instansi berdasarkan APBN tahunan. ( detikoto, 01 April 2023 )
Melihat fakta dan data diatas, dengan kenaikan tingkat pelanggaran, meskipun dengan adanya denda yang diberlakukan terbukti tidaklah memberi efek jera terhadap sebagian besar pengendara. Secara logika jika hukuman yang dimaksudkan ada untuk memberi jera, tentu saja tingkat pelanggaran akan menurun bukan malah meningkat. Hal ini harusnya menjadi intropeksi bahwa pemberlakuan hukuman ini tidaklah efektif. Yang lebih memprihatinkan lagi ketika negara merauk keuntungan materi dari setiap pelanggaran yang dilakukan oleh rakyatnya. Sedangkan rakyat masih terjebak dengan kesalahan yang sama dan berulang tanpa berfikir bahwa setiap kesalahan yang dilakukan bagian dari bisnis penguasa. Hal ini tentu tidak mengherankan jika kapitalisme menjadi pijakan, pemahaman bahwa materi dan nominal angka diatas segala-galanya. Bahwa kebahagian dunia adalah harta yang melimpah. Bahwa kesuksesan sebuah negara ketika sumber pendapatan melimpah meski dibalik itu ada rakyat yang susah dan sengsara.
Inilah konsekuensi nyata jika sistem kapitalisme masih bercokol di suatu negeri. Sebuah sistem yang berdasar pada landasan sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan), yaitu sebuah sistem yang mengakui agama hanya dari sisi keberadaannya, bukan dari sisi perannya. Membuat kehidupan manusia tidak menggunakan aturan agama, sehingga sistem ini melahirkan berbagai aturan yang bersumber dari hawa nafsu manusia semata, yang justru akan menimbulkan berbagai masalah dan bencana.
Hal ini akan berbeda jika Islam dijadikan landasan berdirinya sebuah pemerintahan. Dengan sistem keuangan yang didukung oleh sistem ekonomi yang kuat, memungkinkan negara Islam mempunyai sumber pembiayaan yang kuat pula, bukan bersumber dari memanfaatkan setiap pelanggaran yang dilakukan rakyatnya. Pos kepemilikan negara meliputi harta fa’i (anfal, ghanimah, khumus), jizyah, kharaj, usyur, harta milik umum yang dilindungi negara, harta pejabat dan pegawai negeri, khumus dan rikaz, harta orang yang tidak memiliki ahli waris dan harta orang murtad. Pos kepemilikan umum yang berasal dari hasil SDA yang dikelola negara, seperti: minyak bumi, gas, batubara, pos zakat berupa zakat fitrah, mal, infak dan wakaf, dan lain sebagainya
Adapun pajak atau pungutan dalam sistem Islam disebut dharibah. Dharibah dipungut ketika kas Baitul Mal tidak mampu memenuhi kebutuhan mendesak negara, seperti: bencana alam dan jihad. Dharibah pun dipungut bagi kaum muslim yang kaya setelah mereka terpenuhi kebutuhan pokok dan sekundernya. Dharibah bersifat isendental dan diberlakukan bagi kaum Muslim saja. Begitulah cara khilafah mendapatkan pendapatan negara dan memungut dharibah dengan cara yang makruf.
Dalam pandangan Islam, negara bertindak sebagai pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya dan bertanggung jawab mewujudkan kemaslahatan bagi mereka melalui penerapan hukum Islam secara kaffah. Oleh karena itu sebagai umat terbesar di negeri ini, sudah saatnya mencari solusi alternatif untuk mewujudkan kesejahteraan yang hakiki, yaitu sebuah tatanan pemerintahan yang diridai Allah Swt, sehingga akan melahirkan umat yang ta'at tersebab semua hukum Islam diterapkan secara kaffah.
Wallahu’alam bishowab