Oleh: Ita Mumtaz
Kemiskinan ekstrim kerap menjadi kabar buruk yang menghantui negeri ini. Berbagai program pengentasan pun seringkali digalakkan namun hasilnya nihil.
Pada Senin, 20 Februari 2023, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa penurunan kemiskinan ekstrem mencapai 0 persen akan diupayakan tercapai pada tahun 2024. Hal itu menjadi pembahasan dalam rapat terbatas bersama Presiden Joko Widodo alias Jokowi sebelumnya.
Sejak tahun 2020 Persiden Jokowi memang pasang target kemiskinan ekstrem nol persen pada 2024, namun semua itu sekadar jargon manis tak realistis.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad merespons target pemerintah. Bahwa bantuan pemerintah harus maksimal. Tapi bantuan sosial yang diberikan pemerintah rata-rata hanya Rp 500-600 ribu per bulan, masih jauh di bawah. Belum lagi bantuan-bantuan program sosial yang tidak tepat sasaran. (Tempo.co, 22/02/2023)
Target yang dicanangkan pemerintah memang terkesan ambisius dan tidak serius. Mengingat para pejabat banyak berbuat ulah yang merugikan rakyat. Dana bansos yang notabene untuk rakyat miskin dengan tega dikorupsi. Anggaran pengentasan kemiskinan juga banyak tercecer buat booking hotel untuk rapat dan seminar.
Sejauh ini program pengentasan kemiskinan hanya tentang hasil angka-angka dan surve. Namun jauh dari realita yang ada. Jumlah kemiskinan di lapangan tetap tinggi, tapi karena kepiawaian mengutak-atik angka, pemerintah cukup puas dengan itu semua.
Kemiskinan akan selalu terjadi dalam sistem kapitalisme. Karena negara tidak memiliki kewajiban menyejahterakan rakyatnya. Peran negara hanya sebagai fasilitator dan regulator bagi kepentingan para pemilik modal. Berbagai kebijakan yang menyengsarakan rakyat bisa goal menjadi Undang-undang meski suara rakyat lantang menolak. Semisal UU Cipta kerja banyak dikecam oleh rakyat, namun semua tetap dilanjutkan tanpa mendengarkan nurani rakyat. Ditambah lagi kenaikan bermacam pajak, penghapusan subsidi BBM, kenaikan tarif listrik yang semakin menyempurnakan penderitaan rakyat.
Maka menjadi aneh jika pemerintah mencanangkan pengentasan kemiskinan, namun menetapkan undang-undang yang menjadi penyebab kemiskinan rakyat itu sendiri. Dari sini bisa disimpulkan bahwa kapitalismelah yang menjadi biangkerok kemiskinan ekstrim. Rakyat yang masih jauh dari kondisi sejahtera semakin bertambah miskin dengan berbagai kebijakan pro kapitalis.
Sistem kapitalisme memang sangat berlawanan dengan Islam. Dalam Islam, pemimpin memiliki amanah dan tanggung jawab besar dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya. Segala kebijakan yang diterapkan demi mewujudkan kesejahteraan rakyat, bukan untuk kepentingan oligarki.
Maka pencanangan target kemiskinan ekstrem nol persen mustahil terwujud dalam sistem buatan manusia ini.
Gambaran kepemimpinan Islam yang begitu memperhatikan rakyat banyak didapatkan di literatur sejarah. Fasilitas terbaik dalam pendidikan dan kesehatan gratis untuk rakyat.
Pada masa Khalifah Umar bin Khattab ada pemberian insentif pada setiap bayi yang baru lahir untuk menjaga dan melindungi anak-anak. Beliau juga membangun Dar ad-Daqi (rumah tepung) untuk para musafir yang kehabisan bekal perjalanan.
Di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang terkenal dengan zero mustahik zakat pun ada kebijakan pemberian insentif untuk pemuda yang menikah. Luar biasa memang sistem pemerintahan yang berasal dari Sang Pencipta. Kesejahteraan rakyat hanya bisa terwujud ketika syariat-Nya diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan. Wallahu a'lam bishshawab.
Tags
Opini