Oleh : Ummu Aqeela
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan 10 orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap proyek pembangunan dan pemeliharaan jalur kereta api. Korupsi ini terjadi di lingkungan Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Tahun Anggaran 2018-2022.
Adapun penetapan tersangka terhadap 10 orang ini berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) yang KPK lakukan di Semarang, Jakarta, Depok, dan Surabaya. Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menyampaikan korupsi berjamaah ini berkaitan dengan pembangunan jalur kereta api di wilayah Sulawesi Selatan, Jawa Bagian Tengah, Jawa Bagian Barat, dan Jawa Sumatera Tahun Anggaran 2018-2022.
Dari pihak penerima suap, ada Direktur Prasarana Perkeretaapian Harno Trimadi, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Balai Teknik Perkeretaapian (BTP) Jawa Bagian Tengah, Bernard Hasibuan. Lalu, Kepala BTP Jawa Bagian Tengah, Putu Sumarjaya; PPK BTP Jawa Bagian Barat, Syntho Pirjani Hutabarat; PPK Balai Pengelola Kereta Api (BPKA) Sulawesi Selatan, Achmad Affandi; PPK Perawatan Prasarana Perkeretaapian, Fadilansyah.
Sementara, para pemberi suap adalah Direktur PT Istana Putra Agung (IPA), Dion Renato Sugiarto; Direktur PT Dwifarita Fajarkharisma, Muchamad Hikmat; dan Direktur PT KA Manajemen Properti (sampai Februari 2023), Yoseph Ibrahim. Adapun salah satu alasan tersangka mau menerima suap adalah untuk tunjangan hari raya (THR). (KOMPAS.com, 13 April 2023)
Banyaknya kasus yang terkuak saat ini semestinya menyadarkan umat muslim. Bahwasanya kebobrokan sistem demokrasi yang berasas kapitalisme sekuler menjadi pangkal berbagai persoalan di Indonesia. Tak dapat dipungkiri lagi sistem politik demokrasi telah menciptakan habitat politik yang menumbuh suburkan korupsi. Sistem demokrasi pun pada dasarnya memberikan hak membuat hukum kepada manusia telah menimbulkan berbagai kerusakan.
Demokrasi adalah biang kerok setiap permasalahan negeri, termasuk kasus korupsi. Biaya politik yang mahal, menjadi jalan pintas yang dengan mudah merubah pejabat menjadi penjahat. Tuntutan gaya hidup mewah sebagai standar bahagia ala kapitalisme-sekuler telah mendorong para elit politik untuk tampil parlente dengan rumah, mobil dan gaya hidup yang mewah.
Disatu sisi hukum dengan mudah dibeli, keadilan menjadi sulit diwujudkan. Hukum layaknya alat tulis yang tajam kebawah dan tumpul keatas. Begitupun, orang-orang yang berada dalam pusaran kekuasaan seolah kebal hukum, sehingga hukum rimba menjadi biasa. Hukum yang demikian tidak mampu memberikan efek jera pada pelaku korupsi. Yang ada mereka satu suara, bersepakat untuk memutuskan hukum yang mengamputasi akal sehat.
Dengan mengetahui akar masalah korupsi adalah diterapkannya sistem demokrasi, maka rakyat harus tarik mandat, lalu mencampakkan demokrasi sebagai biang keladi yang menyuburkan praktek korupsi. Demokrasi layak dibuang karena tidak sesuai dengan fitrah manusia yang lemah dan membutuhkan aturan pencipata disetiap lini kehidupan. Demokrasi terbukti gagal dan tidak masuk akal, menempatkan hukum kesepakatan manusia diatas hukum Allah sang pencipta.
Islam, melalui al-Qur'an dan Hadis sebagai sumber pokok ajaran, telah secara lantang mencegah dan melarang keras segala bentuk korupsi serta memberikan ancaman hukum yang sangat berat, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Dalam al-Qur'an dapat ditelusuri dan ditemukan sejumlah ayat yang mencegah dan melarang praktik korupsi dalam segala bentuknya. Diketahui bahwa di dalam al-Qur'an dan Hadis ditegaskan pula larangan sekaligus hukuman tegas bagi orang yang mencuri. Bila ada pencuri yang telah memenuhi kadar minimal, 1/4 dinar, maka harus ditegakkan hukum yaitu dipotong kedua tangannya. Mencuri itu korbannya lebih sedikit, langsung, jelas dan sederhana. Sementara korupsi jauh lebih parah dahsyat. Korban yang bukan saja manusia tetapi juga sistem, tidak berwajah, tidak langsung, waktunya lebih lama, serta kaitan dan belitan masalahnya sangat kompleks dan sulit diuraikan.
Melihat kompleksnya masalah korupsi dan sulitnya membasmi penyakit ini, semua pihak yang masih memiliki akal sehat, hati nurani dan kesetiaan kepada ajaran agama sudah selayaknya menyakatan perang (berjihad) melawan korupsi. Tentu gerakan tersebut dilakukan dengan sistematis dan dilandasi oleh nilai-nilai kebutuhan agar tidak mudah dibelokkan oleh kepentingan sesaat. Dari sudut hukuman, Islam menawarkan hukuman potong tangan bagi pelaku pencurian, maka hukuman bagi koruptor tentu harus lebih tegas dan menjerakan. Jika mengacu QS. al-Maidah: 33, segala perbuatan destruktif (fasad), termasuk korupsi, pelakunya diberi hukuman mati, atau disalib atau dipotong tangan dan kakinya secara bersilang atau paling rendah diusir (diasingkan atau dipenjara). Korupsi jelas-jelas tindakan merusak semua sistem. Ia tidak saja merusak tatanan ekonomi, tetapi juga sosial, politik, hukum dan juga moral.
Dengan melihat kembali secara utuh al-Qur'an dan Hadis yang sarat dengan pesan antikorupsi diharapkan ada gambaran yang menyeluruh dan jelas bahwa Islam senantiasa tampil dalam posisi yang kukuh sebagai kekuatan pemberantasan korupsi. Ini satu-satunya langkah yang harus ditempuh, jika Islam masih ingin mengidentifikasikan diri sebagai agama keadilan, kejujuran dan kesejahteraan.
Peran Islam dalam pemberantasan kemungkaran, seperti korupsi ini, merupakan langkah yang selaras dengan nilai-nilai kekhalifahan manusia di muka bumi. Karena itu, mata rantai korupsi hanya bisa dilakukan dengan penerapan Islam secara totalitas. Yang terbukti elah berhasil memimpin peradaban dunia, tidak kurang 12 abad lamanya. Cahaya Islam menaungi hingga 2/3 belahan dunia. Dengannya Islam rahmatan lil 'alamin terwujud, kesejahteraan dan keadilan berlaku setiap makhluk, baik bagi muslim maupun non muslim.
Wallahu’alam bishowab