Ditulis oleh: Sri Wahyu Anggraini, S,Pd
(Aktivis Muslimah Lubuklinggau)
Di tengah kebutuhan akan bahan-bahan pokok melonjak di momen Ramadhan dan menjelang Hari Raya Idulfitri, rakyat Indonesia diguyur gula impor.
Pemerintah akan melakukan impor gula kristal putih sebanyak 215.000 ton untuk tahun ini. Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA) menugaskan kepada BUMN Pangan dalam hal ini ID FOOD dan PTPN Holding untuk mengimpor gula tersebut. Kepala Badan Pangan Arief Prasetyo Adi, mengatakan kedatangan impor gula tersebut akan bertahap, pertama untuk kebutuhan bulan Ramadan akan datang sebanyak 99.000 ton gula kristal putih (GKP). Targetnya, gula impor tersebut sudah masuk Maret atau April. Gula impor tersebut dari sejumlah negara yakni Thailand, India, dan Australia.
"Prosesnya sudah berjalan dan ditargetkan sudah ada yang masuk pada Maret-April ini untuk menambah stok dan menjaga harga di tengah puasa dan lebaran, Keputusan impor gula ini merupakan hasil perhitungan Prognosa Neraca Pangan yang disusun Badan Pangan Nasional. Stok awal gula nasional di Januari 2023 sebesar 1,1 juta ton, adapun kebutuhan gula nasional per bulan tercatat sebesar 283 ribu ton. (finance.detik.com,26/03/2023)
Dalam sistem kapitalisme, negeri kaya dengan sumber daya alam tak menjadi jaminan akan terwujudnya kedaulatan, kemakmuran, dan kesejahteraan bagi penduduk negeri. Indonesia sebagai negara agraris harus menelan duka teramat sangat karena jatuh bangun memenuhi pasokan gula dalam negeri. Impor gula menjadi tradisi tahunan yang digalakkan pemerintah berwatak kapitalis. Ketidakmampuan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan gula konsumsi sebenarnya sangat disayangkan. Kita tahu bahwa lahan pertanian di Indonesia begitu luas dan subur, seharusnya pemerintah mampu mengelolanya sehingga dapat menghasilkan berbagai kebutuhan pokok yang dibutuhkan masyarakat. Sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan negara ini nyata tidak mampu mewujudkan ketahanan pangan yang diharapkan. Terbukti, gula konsumsi yang merupakan komoditas pangan strategis tidak pernah mampu dipenuhi ketersediaannya.
Tidak mengherankan apabila kekurangan stok gula konsumsi diguyur dengan impor, pasalnya impor sudah menjadi kebiasaan rezim kapitalisme yang dihapal betul oleh rakyat. Ketergantungan pemerintah terhadap impor dalam upayanya memenuhi stok kebutuhan pangan tidak dapat menyelesaikan permasalahan. Kebiasaan rajin impor akan berdampak makin menyulitkan upaya menciptakan ketahanan pangan. Selain itu, solusi impor menjadi solusi instan dan ketergantungan yang kerap dilakukan ketika stok komoditas pangan kurang. Ini meminimalkan upaya pemerintah untuk menyelesaikan persoalan sesungguhnya. Pada akhirnya ketahanan pangan benar-benar tidak akan pernah terwujud.Dalam sistem demokrasi kapitalisme yang menerapkan ekonomi kapitalisme tidak bisa lepas dari kebiasaan rajin impor telah menciptakan masalah yang tak kunjung terselesaikan. Jika solusi instan ketergantungan impor masih menjadi gaya rezim, maka dampak yang akan terjadi, di antaranya:
Pertama. Aktivitas impor gula yang menjadi kebijakan pemerintah bukan saja merugikan petani, tapi sumber penghasilan mereka juga terancam menurun drastis, bahkan hilang. Bagaimana tidak, tatkala impor gula dilakukan, hal itu bisa membuat serapan gula lokal berkurang. Jika demikian, maka petani garam akan memiliki stock garam yang menggunung. kebijakan memuluskan impor juga akan mematikan sektor-sektor industri dan pertanian di dalam negeri. Produk dalam negeri kesulitan bersaing dengan produk asing.
Kedua. Kesejahteraan petani semakin buram. Impor gula membuat gula lokal dipaksa bersaing dengan gula impor. Lebih miris lagi, harga impor selalu lebih murah dibanding harga lokal. Terlebih, kualitas gula lokal sering dijadikan alasan untuk mengimpor karena kualitas tak sebaik gula impor. Selain itu emakin ketergantungan dengan barang dan jasa dari asing. Akan semakin meragukan barang dan jasa dalam negeri, dan berpotensi mematikan upaya memajukan kualitas produk dalam negeri. Sehingga menyebabkan adanya defisit neraca perdagangan antara impor dan ekspor akan semakin melebar. Sehingga akan berdampak pada dunia usaha yang makin terhimpit.
Ketiga. Kedaulatan akan tergadai. Bukan hanya petani yang akan menanggung dampak buruk kebijakan impor gula, kedaulatan negara pun terancam. Adanya Impor gula menunjukkan seakan pemerintah sangat bergantung pada pengusaha atau investor asing. Maka, jika pemerintah asyik dengan kebijakan impor yang tak jelas, bukan hanya swasembada yang bagai pungguk merindukan bulan, kedaulatan pun siap tergadai dan melayang. Kebijakan impor juga akan terus memelihara sindikasi dan mafia impor atau para pemburu rente yang selama ini diuntungkan. Sehingga makin menumbuhsuburkan peluang-peluang korupsi di semua lini.
Alhasil, dari semua dampak yang mungkin ditimbulkan dari gaya rezim yang rajin impor, berujung pada keadaan semakin jauhnya rakyat dari harapan sejahtera. Anggaran besar yang seharusnya bisa dibelanjakan untuk produk dalam negeri yang, seharusnya mampu menstimulus pertumbuhan ekonomi dalam negeri harus terbuang untuk impor barang dan jasa dari asing. Kebiasaan rajin impor ini juga telah nyata menampar berkali-kali para petani yang harus merugi saat musim panen, namun dihadapkan pada melimpahnya pasokan barang-barang impor. Selain itu, rakyat sudah sering dihadapkan pada kondisi barang-barang langka dan juga berujung pada harga-harga yang melambung tinggi. Nyata, bahwa impor di tengah surplus produksi semakin menjauhkan rakyat dari kesejahteraan .
Berbeda dengan Islam, yakni khilafah, impor bukan solusi satu-satunya atas ketersediaan stok kebutuhan pangan. Impor hanya akan dilakukan di saat produksi dalam negeri benar-benar tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan barang dan jasa tersebut, hingga tidak bisa kalau tidak impor.
Pemerintah akan berupaya maksimal memajukan produksi dalam negeri, terutama yang dapat dihasilkan dari lahan pertanian. Strategi yang dilakukan pemerintahan Islam, di antaranya:
Pertama, khilafah menerapkan politik industri berbasis industri berat meliputi mesin-mesin, peralatan, dan bahan baku. Termasuk kebutuhan peralatan yang menunjang pertanian, akan diciptakan alat-alat yang akan memudahkan kerja para petani.
Kedua, khilafah mengharamkan Padang rumput, air dan api diprivatisasi baik oleh individu, korporat, apalagi kapitalis asing. Dengan adanya larangan ini, akan menjauhkan para petani dari dominasi pemodal asing yang secara liar menguasai lahan-lahan pertanian.
Ketiga, khilafah memiliki lahan pertanian milik negara yang akan maksimal memproduksi kebutuhan pangan untuk memenuhi kebutuhan per individu rakyatnya. Khilafah akan memperhitungkan kebutuhan per individunya sehingga dapat memetakan jumlah produksi yang dibutuhkan. Khilafah akan mendorong para petani berproduksi maksimal dengan memudahkan bibit, pupuk, peralatan pertanian, dan lain-lain. Termasuk menyediakan lahan pertanian dan modal bagi yang membutuhkan.
Keempat, khilafah akan mengatur lahan untuk industri dan pemukiman sehingga dapat memaksimalkan lahan pertanian. Kekayaan negara wajib dikelola secara benar (sesuai syariat Islam) agar negara memiliki kemampuan finansial untuk menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya. Khilafah wajib menganggarkan biaya secara mutlak untuk kemandirian industri, termasuk dana riset. Termasuk riset untuk memajukan pertanian dalam negeri khilafah.
Kelima, saat suatu daerah kekurangan pasokan barang dan jasa, solusi pertama yang diberikan khilafah bukanlah impor, namun mendatangkan barang dan jasa dari daerah lain yang berlimpah.
Sebagaimana saat kepemimpinan Umar bin Khattab, telah terjadi kekeringan di Semenanjung Arab, Makkah dan Madinah mengalami paceklik. Saat itu khalifah mengirim surat kepada jenderalnya di Mesir, Amr Ibn al-'Ash untuk mengirimkan makanan untuk membantu warga di Hijaz yang kelaparan.
Rasulullah SAW menegaskan fungsi utama pemerintahan di dalam sabdanya,
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ
“Imam (khalifah) raain (pengurus hajat hidup rakyat) dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Atas dasar kesadaran akan kewajiban utamanya, khilafah tidak akan mudah menjadikan impor sebagai solusi satu-satunya, apalagi untuk komoditas pangan strategis yang dapat dihasilkan dari lahan pertanian. Kemandirian di semua sektor akan dilakukan dengan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi di semua bidang. Pemerintahan yang berbasis akidah Islam mampu memberikan solusi ketersediaan komoditas pangan strategis seperti gula, tanpa harus menjadikan impor sebagai solusi. Lahan pertanian yang luas dan subur akan benar-benar dimanfaatkan secara maksimal ketika diatur dengan shahih. Sistem Islam akan menghadirkan para pemimpin yang berfungsi sebagai raain, yang akan bertanggung jawab penuh mengurusi hajat hidup rakyatnya. Saatnya beralih kepada aturan Islam secara kaffah dalam setiap lini kehidupan.
Wallahu A'lam Bishawab
Tags
Opini