Efektifkah UU Perampasan Aset?



Oleh : Sri Setyowati
 (Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam)


Seolah tidak akan pernah berakhir, aksi korupsi kembali terjadi. Kali ini dilakukan oleh pasangan suami istri Bupati Kapuas, Kalimantan Tengah, Ben Brahim S Bahat dan anggota DPR RI Fraksi Nasdem Ary Egahni Ben Bahat. Mereka menggunakan kewenangannya sebagai pejabat publik selaku kepala daerah untuk mengumpulkan dana politik dengan cara korupsi. Bahat menggunakan anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan memanipulasi untuk membuat kegiatan fiktif hingga penggelembungan. Disamping itu, SKPD diminta menjadi pengumpul dana dari pihak swasta yang meminta perizinan. 

Biasanya bentuknya persentase dari nilai pekerjaan yang dilaksanakan oleh swasta itu diminta untuk dikembalikan dalam bentuk suap atau gratifikasi. Modus lainnya adalah dengan meminta uang tertentu pada pejabat SKPD. Uang tersebut merupakan biaya untuk mendapatkan atau mempertahankan jabatan. Jadi setiap pegawai atau pejabat di daerah yang ingin menduduki jabatan tertentu itu harus menyetor sejumlah uang kepada kepala daerah. Pegiat antikorupsi dari PUKAT UGM Zaenur Rohman menilai, modus yang dilakukan pasangan suami istri itu kerap dilakukan pejabat lain dengan menyalahgunakan wewenangnya. (tirto.id, 29/03/2023)

RUU Perampasan Aset kembali menjadi mencuat lagi ketika Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Mahmodin (MD) meminta permohonan khusus kepada Komisi III DPR. Permohonan khusus itu adalah terkait persetujuan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana serta RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal. Hal ini Mahfud sampaikan langsung kepada Ketua Komisi III DPR RI, Bambang Wiryanto atau Bambang Pacul. Menurut Arsul Sani, Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI), RUU Perampasan Aset Tindak Pidana diperlukan agar proses-proses pengembalian kerugian negara bisa di maksimalisasi lebih baik dan lebih cepat karena RUU Perampasan Aset Tindak Pidana tidak hanya terkait dengan tindak pidana korupsi (tipikor) saja, tetapi bisa juga dimanfaatkan untuk mengembalikan kerugian negara dalam tindak kriminal lainnya yaitu pidana narkotika, pajak, kepabeanan dan cukai, lingkungan hidup, illegal logging, hingga terorisme. (kompas com, 01/04/3023)

RUU Perampasan Aset atau yang dikenal dengan istilah asset recovery merupakan salah satu aturan yang harus ada ketika suatu negara sudah menandatangani konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) melawan korupsi. Indonesia telah menandatangani konvensi tersebut pada 2003 dan melakukan ratifikasi dengan membuat Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2006. Namun, hingga kini, Indonesia belum juga memiliki aturan hukum soal perampasan aset.

Kasus korupsi Kapuas dan kasus korupsi lainnya tidak lepas dari masalah high cost politic. Money politic lazim dilakukan kepala daerah korup yang ingin maju kontestasi pemilu maupun pemilihan kepala daerah. Disamping itu, pengawasan yang lemah semakin membuka celah untuk korupsi. Penuntasan korupsi tidak bisa hanya dari penegakan hukum,  jenis hukuman yang menjerakan serta soal perampasan aset, tapi harus diberantas mulai akarnya, yaitu sistem kapitalisme demokrasi. Sistem yang  mendasarkan pada sekularisme dan meniscayakan politik demokrasi yang berbiaya mahal di setiap kontestasi legislatif, apalagi eksekutif. 

Dalam sistem demokrasi, lahirlah individu-individu yang tidak takut dosa, berusaha mencari celah mendapat harta dengan cara apa saja untuk mengembalikan biaya ketika akan menjadi pejabat. Sehingga pemberantasan  korupsi tidak akan cukup dengan peningkatan kinerja KPK dan menyempurnakan UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), UU Perampasan aset atau sejenisnya. 

Yang harus dilakukan adalah merujuk pada sistem Islam karena Islam memiliki seperangkat aturan untuk mencegah terjadinya korupsi dan terdapat mekanisme yang rinci terkait hal tersebut.

Pertama, dalam Islam rekruitment SDM aparat negara wajib berasaskan profesionalitas dan integritas, bukan berdasarkan koneksitas atau nepotisme, dengan memenuhi kapabilitas  dan kepribadian Islam.

Kedua, negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya sehingga ketaqwaan dan keimanan mereka akan terjaga.

Ketiga, negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya. Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, "Siapa saja yang bekerja untuk kami, tapi tak punya rumah, hendaklah ia mengambil rumah, kalau tidak punya istri hendaklah dia menikah, kalau tidak punya pembantu atau kendaraan, hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan". (HR. Ahmad)

Keempat, Islam mengharamkan suap dan hadiah bagi para aparat negara. Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, "Siapa saja yang menjadi pegawai kami dan sudah kami beri gaji, maka apa saja yang ia ambil diluar itu adalah harta yang curang". (HR. Abu Dawud)

Kelima, kekayaan aparat negara wajib dilakukan penghitungan.

Keenam, adanya teladan dari pemimpin, karena manusia cenderung mengikuti orang terpandang dalam masyarakat termasuk pemimpinnya. Karena itu pemimpin harus memiliki jiwa wara' dan zuhud dari kemungkinan mengambil harta yang tidak halal. Keteladanan ini akan mencegah anggota keluarga untuk memanfaatkan jabatan demi kepentingan pribadi.

Ketujuh, pengawasan oleh negara dan masyarakat secara langsung. Muhasabah atau koreksi terhadap penguasa menjadi kewajiban seluruh rakyat supaya pejabat tidak melanggar hukum syara'. Jika masih ada pejabat yang melanggar hukum syara' atau korupsi maka negara akan mengambil langkah yang tegas yaitu memberikan hukuman  tegas dan setimpal. Dalam kitab Nidhomul Uqubat Halaman 78 hingga 89 karya Abdurrahman Al-Maliki dijelaskan hukuman untuk koruptor yaitu berupa ta'zir yaitu hukuman yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuknya mulai dari yang paling ringan seperti nasehat atau teguran sampai yang paling tegas yaitu hukuman mati. Berat ringannya hukuman disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan.

Apapun aturan dan sanksi yang dibuat manusia, tidak akan bisa menyaingi aturan yang dibuat dari Sang Maha Pengatur, yaitu Allah Subhanahu Wa Ta'ala yang sudah dijelaskan dalam hukum syara'. Karena itu sudah semestinya bagi umat Islam untuk berjuang menegakkan  sistem Islam dengan penerapan syariat Islam kaffah.

Wallahu a'lam bi ash-shawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak