Oleh: Mega Puspita
Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) Lily Pujiati kembali buka suara soal potongan komisi yang diterapkan aplikator pada para pengemudi ojek online atau ojol. Penghasilan pengemudi ojol hingga saat ini tak kunjung membaik lantaran regulasi batas maksimal biaya komisi tersebut kembali menjadi 20%.
Walaupun sudah ditetapkan maksimal 20%, ujarnya, tetap saja aplikator melanggar ketentuan tersebut dengan melakukan potongan kepada pengemudi ojol dari 20%. Potongan yang memberatkan pengemudi ojol tersebut di kisaran 22-40 persen dalam setiap orderan.
Seperti diketahui, Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 667 Tahun 2022 telah menurunkan potongan komisi atau biaya sewa penggunaan aplikasi menjadi 15% dari sebelumnya 20%.
“Namun, aturan tersebut dirubah kembali melalui Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 1001 Tahun 2022 hanya dalam waktu 2 bulan kemudian” tutur Lily. (Tempo).
Regulasi tersebut membuat kesejahteraan pengemudi ojol tidak kunjung berubah menjadi lebih baik. Adapun perubahan aturan itu lebih mengikuti kemauan aplikator ketimbang mensejahterakan pengemudi ojol. Praktik yang merugikan ini terjadi karena status mitra yang melekat pada pengemudi ojol, sedangkan aplikator terus berusaha meraih profit sebesar-besarnya dengan tidak mempekerjakan pengemudi ojol sebagai status pekerja.
Kondisi inilah yang menyebabkan pengemudi ojol mengalami ketidakpastian pendapatan. Pengemudi ojol Gojek, Grab, dan sebagainya menjadi tren sejak 2010 hingga 2016, banyak orang berbondong-bondong beralih profesi menjadi driver ojol.
Saat pertama kali muncul tahun 2010-2015 penghasilan para pengemudi bisa mencapai Rp 10 juta. Tahun 2016, aplikasi mulai ada perekrutan besar-besaran untuk posisi driver.
Namun pada 2016-2018, pendapatan para driver mulai menurun hingga 50% dari sebelumnya.
Aplikator lebih fokus pada eksistensi bisnisnya daripada nasib pengemudi. Bahkan dari awal, aplikator tidak serius dalam mengembangkan SDM para pengemudinya. Adanya ledakan pengemudi baru yang cukup besar dianggap sekedar turn over driver, tidak masalah banyak yang keluar masuk, yang penting bisnis tetap berjalan.
Watak kapitalistiknya jelas terlihat, yaitu prinsip mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan biaya semurah-murahnya. Akibatnya, pengemudi ojol yang merasa kecewa, akhirnya meninggalkan aplikasi itu dan lebih memilih pekerjaan lainnya.
Inilah gambaran bisnis yang dibangun tanpa pondasi kuat dan hanya memikirkan keuntungan sesaat tanpa memperhatikan nasib mitra atau pekerjanya. Ironisnya, penguasa di negeri yang menganut sistem demokrasi ini lamban dan tidak mampu memberikan solusi apa pun, bahkan tidak peduli akan kesejahteraan masyarakat, termasuk para pengemudi ojol tadi.
Terkait nasib para pengemudi ojol, kita harus bisa melihatnya dari perspektif Islam.
Dalam regulasi Islam, negara memiliki peran besar dalam menjaga keharmonisan antara pengusaha dan pekerja, di mana negara harus memastikan hubungan pengusaha dan karyawan sesuai dengan hukum syara’ terkait akad-akad yang dibangun di antara keduanya.
Sejak awal, sistem kontrak kerja harus jelas, baik jumlah, waktu, maupun gajinya. Seorang karyawan digaji karena telah memberikan manfaat dari jasa yang telah ia lakukan. Apabila manfaat itu sudah tertunaikan, pengusaha wajib menggaji dan tidak boleh terjadi gharar (ketidakjelasan), misalnya ada potongan-potongan yang tidak jelas, apalagi sampai lebih dari 40% yang mengakibatkan turunnya pendapatan para pekerja.
Di sisi lain, negara juga berkewajiban menjamin kesejahteraan setiap individu masyarakat, sehingga mereka tidak mengandalkan gaji untuk memenuhi seluruh kebutuhan mereka.
Dua problem inilah yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Dengan demikian, tidak akan ada pihak yang terzhalimi. Rakyat juga tidak akan mengandalkan bekerja sebagai satu-satunya jalan untuk memenuhi seluruh kebutuhannya. Ini karena negara sudah menanggung kebutuhan pokok setiap rakyatnya. Wallahu a'lam bishshowab.
Tags
Opini