Dramatisasi Piala Dunia U-20, Siapa yang Salah?



Oleh: Dyah Putri Ratnasari



Sah! Setelah melalui berbagai drama penolakan kehadiran Timnas Israel U-20, RI resmi batal menjadi tuan rumah piala dunia U-20. Keputusan ini dinyatakan asosiasi sepak bola dunia, FIFA, Rabu (29/3/2023) malam. Beberapa Gubernur besutan PDIP seperti I Wayan Koster (Gubernur Bali), Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah), dan lembaga MUI menjadi tokoh yang disorot dan dituding sebagai penyebab dibatalkannya Indonesia sebagai tuan rumah piala dunia U-20. Tak sedikit warganet yang kecewa atas keputusan ini sehingga menyalahkan orang-orang yang menolak kehadiran timnas Israel disebut sebagai “kadrun”, tidak peduli akan nasib sepak bola tanah air, hanya mementingkan kemerdekaan bangsa lain tapi menenggalamkan cita-cita anak bangsanya sendiri. Jokowi Dodo pun sudah mewanti-wanti dalam pidatonya "Dalam urusan Piala Dunia U-20 ini, kita sependapat dengan Duta Besar Palestina untuk Indonesia bahwa FIFA memiliki aturan yang harus ditaati anggotanya. Jadi, jangan mencampuradukkan urusan olahraga dan urusan politik," ujar Presiden dalam keterangannya pada Selasa, 28 Maret 2023, di Istana Merdeka, Jakarta.

Peristiwa ini cukup menyita perhatian penulis sehingga muncul pertanyaan, apakah bisa untuk tidak mencampur adukkan antara sepak bola dengan politik? Kemudian apakah benar para “kadrun” lah yang menyebabkan FIFA mencabut Indonesia sebagai tuan rumah? Terkait pertanyaan pertama, sejumlah kalangan pun menyoroti beda perlakuan FIFA dengan Rusia dan Israel, padahal keduanya dianggap sama-sama tengah berkonflik dengan negara lain. Kalau FIFA bisa larang Rusia ikut Piala Dunia 2018 maka kenapa tidak bisa melakukan hal yang sama kepada Israel di Piala Dunia U-20 pada 20 Mei-11 Juni nanti? Bukankah, dari satu perspektif, Israel-Palestina dianggap serupa dengan Rusia-Ukraina, dan sering pula terjadi konflik di sana? Hal ini membuktikan bahwa, pertama: FIFA memiliki standar ganda, kedua: terbukti bahwa politik dan sepak bola memang tidak bisa dipisahkan.

Contoh lain, ketika piala dunia diselenggarakan di Qatar kemarin, terdapat aksi bungkam mulut yang dilakukan timnas Jerman dalam rangka menyindir Qatar karena dianggap sebagai negara yang close minded, menolak kaum L987, ide-ide global yang jelas-jelas lekat dengan aroma liberal. Seorang bintang sepak bola seperti Cristiano Ronaldo juga pernah menjalankan aksi politiknya dalam membela Palestina yaitu dengan menolak betukar jersey dengan salah satu pemain Timnas Israel pada saat pertandingan Portugal VS Israel di babak kualifikasi piala dunia 2014. Bahkan nyaris di setiap pertandingan ada saja pendukung Palestina hadir membawa bendera menyuarakan pembebasan Palestina.

Jadi sekali lagi, dunia sepak bola terlebih dalam ajang yang berskala global tidak pernah sepi dari yang namanya politik. Sudah saatnya kita sebagai kaum muslimin juga sadar dunia sepak bola di sistem kapitalisme bukan hanya sekedar olah raga untuk menyehatkan jasmani tapi terdapat bisnis besar yang sangat menguntungkan. Mulai dari penjualan tiket masuk arena pertandingan, tiket pesawat terbang, hotel bagi para supporter, penjualan merchendise, dan masih banyak lagi. Kafir Barat memang sengaja mendesign sepak bola untuk melenakan kaum muslim sehingga lalai dari ibadah, menumbuh suburkan praktek perjudian, minuman keras, interaksi yang tidak sesuai standar syariat, fanatisme pada golongan secara berlebihan, dan sejenisnya.

Kemudian untuk menjawab pertanyaan kedua, terkait apakah benar akibat adanya segelintir tokoh politik dan masyarakat yang menentang masuknya timnas Israel menjadi penyebab utama dicabutnya Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20? Coba kita ingat lagi proses pembuatan UU Cipta Kerja, penolakan terjadi dimana-mana, demonstrasi yang didominasi oleh kaum buruh tak pernah surut di depan halaman gedung DPR Senayan, apakah UU Cipta Kerja dibatalkan? Tentu tidak. Begitu pula ketika penolakan terjadi pada saat revisi UU KPK, apakah UU cacat ini dibatalkan? Tentu tidak. Begitupun ketika Indonesia ditunjuk sebagai tuan rumah Moto GP dan Formula E, bukankah tak sedikit masyarakat yang berdemo dan menolak? Tapi apakah dibatalkan? Tentu tidak.

Maka patut dipertanyakan apakah benar penolakan Israel ini hanya dilakukan oleh masyarakat tertentu, para radikalis, fundamentalis? Kita mampu melihat bahwa persiapan piala dunia ini telah menggelontorkan dana yang tidak sedikit, dan pasti akan menghasilkan keuntungan yang sangat menggiurkan. Maka aneh sekali jika hanya dengan suara segelintir masyarakat mampu membatalkan suatu event sebesar ini. Mari buka mata lebar-lebar, bahwa prakltek oligopoli yang sedang berkuasa saat ini sangatlah kuat, mereka menguasai baik legislatif maupun eksekutif. Sehingga pasti ada campur tangan oligopoli pada peristiwa ini yang tersinggung atau bahkan terancam jika timnas Israel berlaga di Indonesia.

Dengan dalih apapun, Israel tidak layak mendapatkan panggung. Dalam kacamata kemanusiaan pun kita semua sepakat bahwa apa yang sudah dilakukan Israel pada Palestina adalah tindakan yang sangat biadab, apalagi ketika kita menggunakan kacamata aqidah Islam. Wilayah Palestina adalah milik kaum muslim. Al-Aqsa sendiri terbebaskan di tangan Khalifah Umar bin al-Khaththab. Beliau menaklukkan Yerusalem dan merebut kembali Masjidilaqsa pada 638 M. Pasukan Islam masuk ke Al-Quds di Yerusalem untuk mengusir tentara penjajah Bizantium (Romawi TImur) yang dzalim. Penduduknya lantas memutuskan untuk menyerahkan kota suci tersebut kepada Khalifah Umar bin Khaththab. Pada 1180, Shalahuddin al-Ayyubi yang merupakan pahlawan berdarah Kurdi itu kembali menyatukan berbagai negeri muslim di sekitar Baitulmaqdis. Pasukan muslim bersatu padu hingga berhasil membebaskan Baitulmaqdis dari cengkeraman kaum Salib pada tahun 1187 M.

Di bulan penuh berkah ini tentu menjadi momentum yang tepat untuk meningkatkan kepedulian sesama muslim. Rasulullah menggambarkan hubungan kita ibarat satu tubuh. Ketika satu bagian tubuh merasakan sakit, maka bagian tubuh lainnya pun turut merasakan sakit. Penting bagi kita untuk memandang segala peristiwa berdasarkan sudut pandang Islam, bukan prinsip hidup Barat yang secara jelas menjadikan keuntungan materi sebagai standar perbuatan. Selama menghasilkan keuntungan yang besar, aspek kemanusiaan atau agama sekalipun bisa dikesampingkan. Kalau ada yang masih menganggap sepak bola itu bersih dari masalah agama dan politik, ada baiknya membaca jejak sejarah Islam. Tidak cukup sampai di situ, tapi harus mengkaji Islam kaffah agar memahami cara Barat menghancurkan kaum muslim dengan berbagai kampanye budaya, gaya hidup, permainan, dan sejenisnya yang membuat kaum muslim berpaling dari syariatnya.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak