DIGITAL BISNIS DALAM CENGKERAMAN KAPITALIS



 
 
Oleh : Ummu Aqeela
 
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah menghadirkan banyak perubahan fundamental dalam kehidupan sosial dan ekonomi manusia. Perubahan juga terjadi pada industri dan bisnis, salah satunya dengan kemunculan model sharing economy atau ekonomi berbagi. Di Indonesia, model bisnis semacam itu bisa kita lihat pada Gojek, perusahaan aplikasi ride sharing yang sangat populer dan digandrungi oleh masyarakat, khususnya masyarakat perkotaan yang memiliki masalah kemacetan. Gojek yang awalnya hadir sebagai solusi permasalahan transportasi, ekonomi, dan khususnya tenaga kerja, perlahan memunculkan persoalan baru seperti jam kerja berlebih dan pemutusan kemitraan sepihak oleh aplikator, dan sekarang masalah potongan besar yang harus dibebankan ke setiap drivernya.
 
Penghasilan driver ojek online (ojol) mengalami penurunan signifikan sejak beberapa tahun lalu. Dikabarkan, hal ini terjadi akibat potongan besar yang dilakukan oleh Gojek dan Grab.
 
Ketua Umum Asosiasi Pengemudi Ojek Daring Garda Indonesia Igun Wicaksono menjelaskan, saat tahun-tahun pertama kehadiran ojol, para pengemudi bisa mengantongi Rp5 juta hingga Rp10 juta. Namun, kondisi tersebut kini berbanding balik sejak beberapa tahun terakhir. Ia mengatakan, penurunan pendapat driver ojol bisa mencapai 50 persen atau bahkan di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP). (CNBC Indonesia, 01 April 2023)
"Makin ke sini makin menurun lagi karena perusahaan aplikasi menerapkan potongan di luar dari permintaan kita sangat tinggi," ungkap Igun kepada CNBC Indonesia, dikutip Sabtu (1/4/2023).
Igun mengungkap, penurunan tersebut membuat sebagian besar driver memutuskan untuk beralih profesi, salah satunya adalah menjadi pegawai kantoran dan wirausaha. Kini, pekerjaan sebagai driver ojol tidak lagi dijadikan sebagai sumber pendapatan utama, melainkan sebagai profesi sampingan. 
 
Berkaca dari permasalah yang tersebut diatas sungguh hanya satu kesimpulannya, bahwa perjuangan rider ojek online sungguh luar biasa. Mereka yang panas perih, dan bersikap serta bertindak baik dengan penuh jiwa raga, ternyata mereka hanya membuat kaya sang pengusahanya. Tantangan selanjutnya, mereka harus senantiasa tersenyum ramah pada setiap penumpang yang menggunakan jasa mereka. Meskipun senyumnya kadang terpaksa karena mendapatkan penumpang yang tidak sesuai harapan, aneh, cerewet, beraneka macam permintaan, bahkan tidak jarang keluar omelan jika dianggap tidak menservice dengan benar. Namun semua itu harus ditepis dengan senyuman, demi berharap mendapat bintang lima agar tetap beroperasi dijalanan. 
 
Fenomena tersebut tentu bukan hal yang mengherankan lagi di jaman ini. Jaman dimana materi menjadi raja, jaman dimana hati nurani terbutakan oleh angka. Jaman dimana Kapitalisme mencengkeram rakyat bawah dengan tujuan merauk kekayaan dunia. Untuk siapa? Untuk mereka-mereka yang berfikir bahwa hidup bahagia adalah dengan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya dan mereka yang lupa bahwa segala tindak tanduknya didunia akan mendapat hisab kelak ketika berjumpa dengan Rabbnya. 
 
Dari persepsi semacam itulah kapitalisme menjadi satu sistem yang merajai seluruh sistem dalam dunia perekonomian. Sistem ekonomi kapitalis yang digali secara obyektif dari gejala yang muncul di masyarakatnya menghasilkan hukum ekonomi pasar dengan teori suply and demand yang tidak mempercayai dorongan moral yang subyektif. Ekonomi kapitalis ditandai dengan semangat egoisme dan sistem yang liberal, di mana manusia dipandang sebagai binatang ekonomi (homo-economicus) yang senantiasa mengejar keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya. Dan pada akhirnya cenderung mengabaikan nilai-nilai moralitas dan hanya terfokus pada masalah mengeruk keuntungan.
 
Dalam Islam tentu hal ini tidak dibenarkan. Ajaran Islam yang direpresentasikan dengan aktivitas kesalehan sosial Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dengan tegas mendeklarasikan sikap antiperbudakan untuk membangun tata kehidupan masyarakat yang toleran dan berkeadilan. Islam tidak mentolerir sistem perbudakan dengan alasan apa pun. Terlebih lagi adanya praktik jual-beli pekerja dan pengabaian hak-haknya yang sangat tidak menghargai nilai kemanusiaan.
Penghapusan perbudakan menyiratkan pesan bahwa pada hakikatnya manusia ialah makhluk merdeka dan berhak menentukan kehidupannya sendiri tanpa kendali orang lain. Penghormatan atas independensi manusia, baik sebagai pekerja maupun berpredikat apapun, menunjukkan bahwa ajaran Islam mengutuk keras praktik jual-beli tenaga kerja.

 Islam menempatkan setiap manusia, apa pun jenis profesinya, dalam posisi yang mulia dan terhormat. Hal itu disebabkan Islam sangat mencintai umat Muslim yang gigih bekerja untuk kehidupannya. 
Allah menegaskan dalam QS. Al-Jumu’ah: 10, yang artinya, “Apabila telah ditunaikan sholat, maka bertebaranlah kalian di muka bumi, dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kalian beruntung.” Ayat ini diperkuat hadis yang diriwayatkan Imam Al-Baihaqi: “Tidaklah seorang di antara kamu makan suatu makanan lebih baik daripada memakan dari hasil keringatnya sendiri.”
 
Kemuliaan orang yang bekerja terletak pada kontribusinya bagi kemudahan orang lain yang mendapat jasa atau tenaganya. 
Salah satu hadis yang populer untuk menegaskan hal ini adalah “Sebaik-baik manusia di antara kamu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari beberapa dalil tersebut, dapat dipahami bahwa Islam sangat memuliakan nilai kemanusiaan setiap insan.

 Islam tidak mengenal sistem kelas atau kasta di masyarakat, begitu juga berlaku dalam memandang dunia ketenagakerjaan. Upah atau gaji adalah hak pemenuhan ekonomi bagi pekerja yang menjadi kewajiban dan tidak boleh diabaikan oleh para majikan atau pihak yang mempekerjakan. Sebegitu pentingnya masalah upah pekerja ini, Islam memberi pedoman kepada para pihak yang mempekerjakan orang lain bahwa prinsip pemberian upah harus mencakup dua hal, yaitu adil dan mencukupi.

Islam adalah solusi dari berbagai macam problema yang ada didunia ini, tak terkecuali problema dalam bidang ekonomi. Oleh sebab itu marilah kita sama-sama sadari bahwa sudah saatnya kita untuk kembali ke jalan agama, mencari solusi melalui agama, mempelajari agama secara kaffah atau menyeluruh. Karena hanya dengan itu manusia menjalani dengan benar fitrahnya. Untuk itulah menegakkan syari’at Islam kaffah dibawah komando sebuah negara tentu akan mampu mengatasi problematika umat yang kian hari kian menyesakkan dada.
 
Wallahu’alam bishowab 
 
 
 
 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak