Oleh : Ummu Aqeela
Lampung tengah menjadi sorotan usai mendapat kritik disebut tak maju-maju. Gubernur Lampung pun ikut disorot usai kritik tersebut.
Provinsi Lampung masih menjadi perbincangan hangat di jagat dunia maya. Di Twitter misalnya, 'Lampung' berada di posisi kedua trending topik yang tengah dibahas. Sebelumnya, akun TikTok @awbimaxreborn mengkritik Pemerintah Provinsi Lampung dan menyebut Lampung tidak maju-maju. Unggahan tersebut lantas mendapat ragam respon dari warganet. Tidak sedikit yang mendukung aksi kritik tersebut dengan beramai-ramai mengunggah kondisi jalanan di Lampung.
Salah satu poin kritik tersebut di antaranya soal banyak jalan rusak yang dibiarkan bertahun-tahun di Lampung. Pengkritik yang bernama Bima itu juga menyorot soal praktik korupsi yang terjadi di Lampung.
"Gua sering bahas jalan karena jalan itu kayak infrastruktur yang paling umum dan untuk mobilisasi ekonomi di Lampung, tapi jalan-jalan di Lampung tuh kayak 1 KM bagus, 1 KM rusak terus jalan ditempel tempel doang, ini apa sih, ini pemerintah main ular tangga atau apa," kata dia.
Rentetan kritik yang disampaikan Bima melalui akun media sosial itu membuatnya dilaporkan ke Polda Lampung oleh pria bernama Ginda Ansori. Atas aksi kritik tersebut pula, Gubernur Lampung pun ikut menjadi sorotan. Ditambah lagi, Gubernur Lampung Arinal Djunaidi juga membatasi kolom komentar di sosial medianya. (detikoto, 13 April 2023)
Sungguh menggelikan, mengingat sistem demokrasi yang digaungkan. Sejauh ini pemahaman masyarakat mengenai demokrasi ialah kebebasan mutlak yang diberikan kepada rakyat untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi di negara tempat mereka bermukim. Termasuk kebebasan dalam mengeluarkan pendapat tentang peristiwa yang terjadi di negara tersebut. Istilah “dari, oleh dan untuk rakyat” adalah semboyan ajaib yang disematkan pada tubuh demokrasi untuk menarik perhatian masyarakat bahwa sesungguhnya mereka sangat diistimewakan dalam sistem demokrasi ini. Fakta berbicara sebaliknya, reaksi Pemerintah terhadap masyarakat yang berbicara sungguh diluar duga. Ini menyimpulkan bahwa Demokrasi yang terbentuk sejauh ini, hanya menghasilkan demokrasi Kaum Penjahat dan Penjabat, yang lebih menonjolkan kepentingan pribadi dan golongan ketimbang kepentingan rakyat sebagai pemilik kedaulatan.
Dalam Islam, amanah kepemimpinan bukan sekadar hasil persidangan atau pilihan mayoritas rakyat, melainkan pula mandat dari Allah sebagai penyampai nasihat-Nya. Diriwayatkan dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus Ad Dariy bahwa Rasulullah saw bersabda, ”Agama itu adalah nasihat.” Mereka (para sahabat) bertanya, ”Milik siapa, wahai Rasul Allah?” Beliau menjawab, ”Milik Allah, milik kitab-Nya, milik Rasul-Nya, milik para pemimpin kaum Muslim dan seluruh kaum Muslim.” (HR Muslim).
Hadis itu menerangkan bahwa agama adalah nasihat berbagai pihak, termasuk di dalamnya adalah nasihat para pemimpin bagi seluruh rakyatnya dan begitu pula sebaliknya, nasihat kaum Muslimin kepada pemimpin dan juga sesamanya.
Contoh terbaik dan yang paling patut diteladani dalam hal menghargai pendapat orang lain adalah Nabi Muhammad SAW. Banyak sekali contoh peristiwa dimana Nabi mengajak para sahabat bermusyawarah dan meminta pendapat mereka. Dalam logika awam, mungkin kita bertanya-tanya kenapa Nabi yang kapasitasnya sebagai penerima wahyu masih bermusyawarah dengan orang lain? Apakah wahyu saja masih kurang dalam membimbing Nabi, sehingga beliau bermusyawarah meminta pendapat orang lain?
Tentu saja wahyu sudah lebih dari segalanya dalam membimbing Nabi. Namun dalam bermusyawarah, Nabi mendidik para sahabatnya agar berpikir dan berani mengutarakan pendapat. Karena berpikir dan berpendapat merupakan suatu perintah Allah yang memiliki kemuliaan begitu tinggi.
Berkat didikan Nabi itulah, maka tidak heran jika kepemimpinan di era Sahabat begitu terbuka atas kritik dan pendapat dari rakyatnya. Abu Bakar Ash-Shiddiq ra ketika pertama kali dipilih menjadi khalifah langsung berpidato yang di antara penggalannya adalah soal keterbukaannya atas kritik jika dalam kepemimpinannya terdapat kesalahan.
Begitu juga Khalifah Umar bin Khattab ra, merupakan pemimpin yang sangat terbuka atas kritik dan pendapat dari rakyat. Cerita tentang kebijakannya soal mahar laki-laki yang langsung diprotes oleh seorang perempuan adalah salah satu dari sekian contohnya. Seketika itu juga Khalifah Umar langsung menarik kembali kebijakannya itu.
Lebih-lebih Khalifah Usman bin Affan ra yang dengan kebesaran hatinya membiarkan para demonstran pengkritiknya mengepung rumahnya selama beberapa hari. Bahkan dirinya meminta para Sahabat yang lain agar tidak mengawalnya. Hingga akhirnya, demonstrasi itu berujung pada terbunuhnya dirinya. Tidak ada pengorbanan yang lebih besar dari sebuah nyawa demi penghargaan atas kebebasan berpedapat.
Dalam perspektid as-Siyasah (Hukum Tata Negara Islam), ketaatan terhadap pemerintah merupakan salah satu unsur yang paling penting bagi berjalannya suatu negara. Tidak sedikit teks dalil yang menganjurkan untuk taat kepada pemerintah. Bahkan dalam kajian As-Siyasah, terdapat bab khusus yang melarang melakukan makar atau memberontak terhadap pemerintah. Namun demikian, bukan berarti dalam perspektif as-Siyasah, pemerintah tidak dapat dikritik. Peluang untuk melakukan kritik terhadap pemerintah justeru sangat terbuka lebar. Bahkan berdasarkan sebuah riwayat dari Nabi, dinyatakan bahwa sebaik-baiknya jihad adalah menyatakan kebenaran (mengkritik) di sisi pemerintah yang lalim, asal masih dalam koridor mengedepankan adab dan syari’at.
Wallahu’alam bishowab