Oleh: Sari Isna_Tulungagung
Dua bulan menjelang pelaksanaan Piala Dunia U-20, proses pengundian peserta grup akan digelar akhir bulan ini. Kehadiran tim sepak bola Israel mulai menarik perhatian. Sejumlah kalangan secara terang-terangan menyampaikan penolakan kehadiran tim itu.
Aksi penolakan kehadiran tim Israel di Piala Dunia U-20 mulai bermunculan. Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI KH. Muhyiddin Junaidi, Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri Faqig, Partai Keadilan Sejahtera PKS hingga ormas yang selama ini mendorong kemerdekaan Palestina telah mendesak pemerintah agar berani mengambil sikap, dengan menolak kehadiran delegasi Israel di Piala Dunia U-20 (voaindonesia.com, 10/03/2023)
Penolakan juga berasal dari beberapa kepala daerah, organisasi masyarakat, juga organisasi keagamaan. Beberapa tokoh dan institusi yang terang-terangan menolak kedatangan Timnas Israel U-20 ke Indonesia antara lain Ketua DPP PDIP bidang Keagamaan dan Kepercayaan kepada Tuhan, Gubernur Jawa Tengah,dan Bali, Persaudaraan Alumni 212, dan MUI Menanggapi gelombang penolakan ini, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Ali Mochtar Ngabalin meminta semua pihak tidak mencampur aduk olahraga dan politik (cnnindonesia.com, 24/03/2023).
Sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar sudah seharusnya Indonesia mengambil sikap tegas untuk menolaknya. Israel adalah negara penjajah yang melakukan penyerangan ke Palestina. Penolakan kita mungkin tidak akan berpengaruh pada penyerangan Israel terhadap Palestina, pun tidak akan membuat Israel menghentikan serangannya. Tapi justru seharusnya membuat kaum muslimin berfikir, kalau gelombang penolakan tidak membuat mereka berhenti, lalu apa yang bisa membuat mereka berhenti? Penolakan ini adalah bentuk keberpihakan kita, bagaimana kita bersikap, di mana keberpihakan kita.
Meskipun potensi ekonomi dari perhelatan Piala Dunia sangat besar, seperti hotel, penonton (wisatawan), dan sebagainya yang digadang-gadang akan meningkatkan perekonomian negara, tapi tetap saja tidaklah sebanding dengan kejahatan yang dilakukan saudara Muslim kita di Palestina. Seolah kita menari-nari di atas penderitaan saudara kita di sana. Ke mana yang dulu lantang bersuara ketika tragedi Kanjuruhan? Di mana teriakan, “Tidak ada satu nyawapun yang senilai dengan sepak bola!” ? Inilah standar ganda. Seharusnya ini menjadi pelajaran mahal, bahwa sampai kapanpun, di manapun, landasan berfikir, memutuskan, dan beramalnya seorang muslim harus berlandaskan akidah Islam, bukan HAM. Karena jika HAM yang berkata, standar ganda yang ada.
Lantas, bagaimana dengan impian anak bangsa dalam sepak bola? Sebagai seorang muslim justru harusnya, “Saya rela tidak bermain sepak bola sepanjang hidup, dari pada menyambut dan menerima penjajah dari tanah dan nyawa kaum muslimin”. Semakin ke sini semakin parah sekulerisme. Memisahkan bola dengan akidah dan pandangan politik Islam. Padahal kehormatan tanah dan nyawa kaum muslimin tidak sebanding dengan remehnya permainan sepak bola. Hujjah apa yang kelak akan kita tegakkan di hadapan Allah ketika lebih memilih permainan sepak bola dari pada membela Palestina?
Tuduhan yang mengatasnamakan politik dalam sepak bola sangatlah kontradiktif dengan realita. Kita dilarang mencampuradukkan politik dengan sepak bola tapi justru FIFA sendiri yang juga mempunyai standar ganda. Masih ingat kisruh LGBT di piala dunia akhir tahun lalu? Itu bukan urusan kemanusiaan, itu adalah propaganda, urusan politik juga. Kalau berdalih kemanusiaan, bukankah isu Israel-Palestina lebih nyata dari ilusi LGBT. Dan bagaimana juga dengan kekuatan politik UEFA menekan FIFA yang berimbas pada penskorsan timnas Rusia di semua kompetisi dunia? Terlalu banyak bukti bisa diberikan bahwa sepak bola tidak lepas dari politik.
Israel memanglah negara kecil tetapi ada backup negara adidaya (Amerika dan Inggris) di belakangnya. Solusi menghadapi Israel bukan sekadar mengutuk Israel, atau menolak kedatangan tim sepak bolanya, tetapi seharusnya memerangi siapa pun yang memerangi kaum muslimin. Maka harus ada kekuatan setara negara adi daya yang bisa mengusir mereka. Negara apakah itu?
Adalah satu negara yang menyatukan seluruh negeri muslim di dunia, bersatu dalam satu kepemimpinan Islam, dipimpin oleh penguasa yang bertakwa dan tidak takut kepada siapapun kecuali Allah Sang Maha Pencipta. Inilah solusi yang dibutuhkan kaum Muslimin, dialah daulah Khilafah
Tags
Opini