Oleh : Wahyuni Mulya
(Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam)
Kenaikan harga bahan pokok selalu menjadi isu yang harus diantisipasi menjelang hari besar keagamaan, seperti pada bulan Suci Ramadan tahun 2023 ini. Permintaan yang tinggi seolah menjadi dalih yang harus bisa dimaklumi masyarakat sebagai penyebab naiknya harga. Hal ini selalu terjadi setiap tahun dengan siklus yang sama yaitu menjelang Ramadan dan hari raya lainnya. Dengan pola peningkatan permintaan yang selalu meningkat pada kondisi seperti ini, sebenarnya antisipasi sangat mungkin untuk dapat diambil. Namun, berulangnya lonjakan harga pangan menunjukkan kebijakan antisipasi tersebut tidak dipilih pemerintah.
Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional, rata-rata harga cabai merah besar secara nasional mencapai Rp 42.200 per kilogram, pada Jumat (3/2). Angka tersebut naik dibandingkan pada bulan lalu yang mencapai Rp 36.250 per kg. Sementara rata-rata harga cabai rawit hijau juga naik yang mencapai Rp 48.700 per kilogram. Angka tersebut naik dibandingkan posisi pada awal Februari yang hanya mencapai Rp 42.600 per kilogram. Rata-rata harga minyak goreng bermerek mencapai Rp 21.750 per kilogram pada Jumat (3/2). Angka tersebut naik dibandingkan posisi bulan lalu yang mencapai Rp 20.100 per kilogram. (katadata.co.id).
Solusi yang dilakukan untuk mengatasi minimnya stok pangan adalah lagi-lagi pemerintah mengandalkan langkah praktis yaitu impor. Pemerintah berdalih bahwa komoditas yang diimpor adalah yang tidak bisa dipenuhi dari dalam negeri.
World Food Programme mencatat, tingkat pemenuhan impor Indonesia sangat besar yaitu daging sapi (28%), gula (70%), dan bawang putih (94%). Ditambah garam, kedelai, gandum, dan sebagainya. Sementara langkah untuk mengoptimalkan pemenuhan dari dalam negeri masih jauh dari target, sekalipun swasembada acap kali dicanangkan.
Kebijakan pada aspek distribusi pun tak berbeda, alias pragmatis. Misalnya operasi pasar, yang seharusnya bersifat sebagai pendukung, tetapi ternyata menjadi solusi tetap. Di samping itu, operasi pasar yang menyasar konsumen bukan pedagang, dilakukan dengan menggandeng pihak ketiga (korporasi).
Sistem kapitalisme yang diadopsi oleh negara hanya berfokus pada produksi dan mengabaikan distribusi. Sistem ini menjadikan harga sebagai satu-satunya pengendali distribusi. Yaitu, setiap orang dipaksa berjuang bersama untuk mendapatkan bahan makanan dengan cara membeli.
Waspada Bun!
Secara umum kenaikan harga sembako di bulan Ramadan biasanya dipengaruhi oleh beberapa faktor; pertama, ketidakseimbangan jumlah supply & demand sembako, konsumsi/permintaan sembako di bulan Ramadan yang biasanya meningkat tidak diiringi dengan kenaikan pasokan sembako di pasaran. Kedua, panjangnya rantai distribusi sembako, sedangkan diberbagai daerah terjadi permintaan yang meningkat. Sehingga, mengakibatkan beban ongkos distribusi menjadi lebih besar terlebih di tempat yang jauh dari produsen. Selain itu, tidak dipungkiri masih adanya pihak yang tidak bertanggung jawab yang ingin meraup keuntungan lebih, pihak yang nakal ini biasanya membeli barang atau produk dari petani dengan jumlah besar kemudian ditimbun dan dijual pada saat persediaan pasar menipis dengan harga yang tinggi.
Harga Pangan Naik Jelang Ramadhan Bukan Masalah Teknis
Berbeda dengan kapitalisme yang melemahkan fungsi negara, Islam justru menjadikan negara sebagai sentral dalam setiap urusan terkait umat. Negaralah yang berkewajiban menjamin terpenuhinya kebutuhan rakyat, terlebih pangan pokok. Negara akan menggunakan politik ekonomi Islam dalam menyelesaikan seluruh persoalan. Pun agar tidak tersandera oleh kepentingan para pemilik modal sebagaimana sistem kapitalisme hari ini.
Selain itu, negara juga akan memastikan mekanisme pasar sesuai dengan syariat. Kuncinya adalah penegakan hukum ekonomi Islam terkait produksi, distribusi, perdagangan dan transaksi.
Negara wajib menghilangkan distorsi pasar seperti penimbunan, penaikan atau penurunan harga yang tidak wajar untuk merusak pasar, penipuan, rekayasa dalam permintaan dan penawaran, pasokan barang, tekanan dan keterpaksaan, dan sebagainya dari kedua belah pihak.
Islam tidak membenarkan penimbunan dengan menahan stok sampai menunggu harga naik. Abu Umamah al-Bahili berkata, “Rasulullah saw. melarang penimbunan makanan.” (HR al-Hakim dan al-Baihaqi).[10]
Penting untuk dipahami, tumbuh suburnya spekulan, mafia, atau kartel di pasar kapitalisme juga akibat hilangnya peran negara. Walhasil, rantai perdagangan dikuasai oleh korporasi alias pedagang besar atau tauke. Harga yang terbentuk di pasar bukan berdasar hukum supply and demand, melainkan dikendalikan oleh para pedagang ini.
Orang-orang berkata, "Wahai Rasulullah, harga mulai mahal. Patoklah harga untuk kami!" Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya Allahlah yang mematok harga, yang menyempitkan dan yang melapangkan rezeki dan aku sungguh berharap untuk bertemu Allah dalam kondisi tidak seorangpun dari kalian yang menuntut kepadaku dengan suatu kedzaliman pun dalam darah dan harta" (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Asy-Syaukani)
Peran negara yang dominan dan berpihak pada umat akan membuat rakyat sejahtera. Sebab, negara telah menjamin kebutuhan pokok rakyatnya. Umat akan menjalani ibadah di bulan Ramadan ini dengan khusyuk tanpa dibebani ketakutan tak mampu membeli bahan makanan.
Sungguh, hanya jika syariat Islam diterapkan secara kaffah yang mampu mewujudkan ketenangan baik di bulan Ramadan maupun seluruh bulan. Islam tak menggunakan asas manfaat demi meraih keuntungan melainkan hanya bersandarkan syariat Allah untuk meraih ridho-Nya agar keberkahan didapat.
Tags
Opini