Oleh : Wahyuni Mulya
(Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam)
Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) geram dan menginstruksikan jajarannya yang terkait karena maraknya impor pakaian bekas atau thrifting. Menurutnya, hal tersebut mengganggu industri tekstil dalam negeri. Fakta tersebut juga ditanggapi oleh Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan, ia akan mengambil tindakan langsung dengan memusnahkan bisnis pakaian bekas impor senilai Rp10 miliar di Mojokerto, Jawa Timur. Mendag juga akan memusnahkan bisnis pakaian bekas impor di daerah lain yang nilainya lebih besar dari Rp10 miliar.
Tindakan tegas itu disambut oleh Polri. Ini merupakan komitmen dari pihak Polri untuk mengawal dan mengamankan seluruh program kebijakan pemerintah. Salah satu kebijakannya adalah mempertahankan pertumbuhan ekonomi dalam negeri dengan menjaga pasar domestik. Jajaran Bareskrim Polri pun telah bersinergi dengan pemangku kepentingan tertentu untuk mencegah importir menyelundupkan pakaian bekas impor. Di Indonesia, syarat-syarat menjadi importir sudah diatur dalam ketentuan yang berlaku. Terdapat tujuh syarat administrasi yang harus dilakukan sebagai tahap awal. Setelah terpenuhi dan permohonan membangun usaha berhasil mendapatkan persetujuan dari kantor perdagangan setempat, proses berikutnya adalah mengajukan permintaan Angka Pengenal Importir (API), Angka Pengenal Impor Sementara (APIS), atau Angka Pengenal Import Terbatas (APIT). Proses terus berlanjut untuk mendapatkan API, APIS, atau APIT, kemudian pengusaha atau pihak importir sudah mempunyai kewenangan untuk melakukan kegiatan impor barang. Proses yang panjang dan membutuhkan dana yang besar.
Selain itu, untuk menghidupkan ekonomi mikro di dalam negeri agar pergerakan ekonomi terus tumbuh, dimunculkan gerakan “I love product Indonesia” yang merupakan ajakan untuk mencintai semua hasil jerih payah anak bangsa, terutama barang-barang buatan dalam negeri. Apakah usaha ini akan berjalan lancar hingga membawa Indonesia ke kancah Internasional? Tampaknya, usaha ini mengalami banyak kesulitan karena sudah telanjur basah dengan barang-barang impor.
Budaya konsumerisme menyebabkan tidak banyak tersedianya ruang untuk remaja agar menjadi lebih kreatif dan menciptakan sesuatu. Mereka cenderung berperilaku konsumtif karena hanya berhadapan dengan ruang konsumsi, terutama pada sandang yang saat ini tengah jor-jor an masuk ke dalam negeri. Hal ini menunjukkan adanya kebutuhan rakyat akan suplai pakaian untuk memenuhi kebutuhan pakaian bermerk dengan harga murah karena gaya hidup hedon dan brandedmind. Di sisi lain, juga menunjukkan potret kemiskinan yang terjadi di tengah rakyat yang membutuhkan pakaian dengan harga murah dan memiliki brand ternama.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata setiap tahunnya, impor pakaian bekas yang tidak tercatat atau ilegal dari China mencapai satu miliar dolar AS. Tercatat, TPT dari China rata-rata pertahun sekitar tiga miliar dolar AS, sedangkan ekspor TPT China ke Indonesia menurut Trade Map sekitar empat miliar dolar AS.
Masih berdasarkan data BPS, tercatat sepanjang 2022 impor pakaian bekas mencapai 26,22 ton atau mencapai 272.146 dolar AS yang setara dengan Rp 4,21 miliar. Nilai volume impor pada 2022 tersebut melesat 227,75 persen dibandingkan volume pada 2021 yang mencapai delapan ton. Bila dilihat secara nilai impor, kenaikannya mencapai 518,5 persen dibandingkan 2021 yang mencapai 44 ribu dolar AS. (bps.go.id)
Tren thrifting atau pembelian barang bekas di Indonesia ini bahkan berfluktuasi dalam satu dekade terakhir, dengan nilai impor terbanyak pada 2019 sebesar 6,08 juta dolar AS dan volumenya sebanyak 417,73 ton. Pemerintah pun telah mengatur pelarangan impor pakaian bekas dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51 Tahun 2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas.
Ini Penting !
Berbagai kondisi tersebut menunjukkan bahwa sejatinya tidak ada upaya untuk menyelesaikan persoalan sesuai dengan akar masalah, juga tingginya kemiskinan. Yang nampak nyata justru pencitraan dan kebijakan membela pengusaha. Inilah wajah buram kapitalisme. Dalam aturan negara Islam, bagi warga baik muslim maupun non muslim (ahli dzimmah), mereka bebas melakukan perdagangan, baik domestik maupun luar negeri. Hanya saja, mereka tidak boleh mengekspor komoditas strategis yang dibutuhkan di dalam negeri sehingga bisa melemahkan kekuatan negara Islam dan menguatkan musuh. Semua kegiatan perdagangan luar negeri diatur oleh Departemen Luar Negeri.
Kunci solusi permasalahan industri tekstil ini sebenarnya ada di tangan negara karena terkait kebijakan impor, insentif untuk industri, dan lain-lain. Namun, sayangnya kebijakan pemerintah justru makin mendorong industri tekstil ke tepi jurang kebangkrutan, yaitu dengan membuka keran impor selebar-lebarnya.
Padahal dari sisi permintaan, pangsa pasar tekstil Indonesia sangat besar karena jumlah penduduk Indonesia yang besar. Oleh karenanya, persoalannya adalah mewujudkan industri yang mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri dengan harga terjangkau oleh masyarakat.
Pemerintah bisa mendukung industri tekstil dengan menutup pintu impor, atau setidaknya membatasinya, yaitu hanya membolehkan impor tekstil khusus untuk produk yang tidak bisa diproduksi di Indonesia, semisal karena merupakan produk kerajinan khas negara tertentu. Sedangkan produk yang bisa dipenuhi industri dalam negeri, sebaiknya impornya dilarang.
Untuk mewujudkan efisiensi industri, pemerintah bisa mendukung dengan menggratiskan industri tekstil dari aneka pungutan seperti pajak dan sebagainya. Pemerintah juga bisa memperpendek jalur suplai bahan baku tekstil, misalnya dengan membantu perusahaan tekstil untuk mendapatkan bahan baku terbaik dari jarak terdekat sehingga bisa menghemat biaya transportasi.
Negara pun bisa mendukung modernisasi industri tekstil dengan menyediakan alat-alat dan mesin-mesin termutakhir. Pemerintah bisa menyambungkan lembaga penelitian dan pengembangan (litbang) milik pemerintah dengan perusahaan penghasil mesin dan perusahaan tekstil. Ketiga pihak bisa bekerja sama untuk melakukan modernisasi alat produksi tekstil sehingga biaya produksi lebih rendah, tetapi kualitas hasilnya lebih baik.
Dari aspek tenaga kerja, negara bisa mewajibkan perusahaan membayar gaji pekerja dengan upah layak sesuai hasil kerja mereka, sedangkan kebutuhan kesehatan, pendidikan, dan keamanan menjadi tanggung jawab negara.
Kepala negara dan para pejabat bisa mendukung penyerapan produk tekstil dengan memakai pakaian produk dalam negeri. Sikap ini akan menjadi contoh bagi rakyat.
Bukan seperti saat ini, para pejabat menyuruh rakyat memakai produk dalam negeri, tetapi mereka sendiri malah memakai baju impor nan mahal. Sungguh tidak bisa menjadi teladan.
Jika semua solusi tersebut dijalankan, tekstil Indonesia tidak hanya akan menjadi penguasa pasar domestik, tetapi bisa mendunia, tentunya setelah kebutuhan dalam negeri tercukupi. Hanya saja, semua solusi tersebut bisa terlaksana jika penguasa memosisikan dirinya sebagai raa’in dan mas’ul (pengurus dan penanggung jawab) urusan rakyat.
Pemimpin yang bisa mewujudkan solusi tersebut adalah pemimpin bervisi akhirat, yaitu menyadari bahwa setiap kebijakannya akan ia pertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah Taala. Jika ia zalim, setiap jiwa yang ia zalimi akan menggugatnya di akhirat, sedangkan jika ia adil, kebahagiaan yang abadi di surga akan ia peroleh. Insyaallaah.
Tags
Opini