Tanpa Khilafah, Palestina Ternista dan Terjajah





Oleh: Siti Nur Fadillah
Pegiat Literasi

Selama kurang lebih 100 tahun, merampas lebih dari 90% tanah Palestina, melanggar hak-hak kemanusiaan, hingga menyiksa dan membunuh ribuan rakyat sipil, kekejaman Zionis Israel la’natullah tak kunjung berhenti. Seorang anak Palestina berusia 14 tahun meninggal setelah mengalami luka parah pada bagian perut karena tembakan tentara Israel di wilayah Jenin. Israel menyatakan pasukannya melepas tembakan ketika mencoba melumpuhkan seorang militan Palestina yang diduga akan melempar alat peledak ke arah prajurit (CNN, 12/02/2023). 

Tak berhenti dari situ, berita kebiadaban Zionis Israel terus bermunculan. Baru-baru ini, Israel mengesahkan undang-undang yang dapat mencabut status kewarganegaraan orang Arab Israel jika kedapatan melakukan tindakan terorisme dan menerima dana dari pemerintah Palestina. Dengan UU ini, Israel dapat dengan mudah mengusir warga Palestina yang tinggal di pemukiman Israel dan mendeportasi menuju wilayah Otoritas Palestina (di Tepi Barat) atau Jalur Gaza (SindoNews, 19/02/2023). 

Problematika Palestina merupakan problematika umat muslim, sebab Palestina menyimpan sejarah mulai dari Nabi Ibrahim hingga Rasulullah SAW dan berbagai keutamaan lain. Bahkan Palestina khususnya Masjidil Aqsa disebutkan dalam Al-Quran bersandingan dengan Masjidil Haram. Allah berfirman dalam Al-Isra’ ayat 1,

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya…”

Dalam ayat tersebut secara tidak langsung Allah SWT. memerintahkan seluruh umat muslim untuk memperhatikan dan merawat Masjidil Aqsa dan sekelilingnya sebab ada keberkahan di dalamnya.

Akar Masalah Penjajahan Palestina
Berawal dari keinginan para zionis untuk mendirikan kembali Kerajaan Yehuda setelah hampir 900 tahun hidup ‘menumpang’ seperti gelandangan di negara lain tanpa kesatuan dan tanah air. Bak gayung bersambut, Theodore Herzl, yang kini dikenal sebagai Bapak Zionis mendapat dukungan dana untuk membeli Tanah Terjanji, Palestina. Singkat cerita saat menghadap Sultan Abdul Hamid II, Khalifah yang memimpin masa itu, Herzl tidak mendapat persetujuan untuk membeli Palestina meski dengan iming-iming yang menggiurkan. Namun, upaya mereka tentu tak berhenti disitu.

Kemenangan Inggris dan kekalahan Khilafah Utsmani pada Perang Dunia I segera dimanfaatkan oleh Rothcilds, penyumbang dana utama Israel. Rothcilds mengemukakan keinginannya dan para zionis untuk mendirikan negara di tanah Palestina. Pada 2 November 1917, Inggris menyetujui keinginan zionis untuk mendirikan Negara Yahudi di tanah Palestina lewat Deklarasi Balfour. Deklarasi ini sekaligus meresmikan Inggris sebagai ‘ayah angkat’ Israel yang akan siap siaga mendukung setiap kepentingan Israel.

Mengharapkan PBB Seperti Mimpi di Siang Bolong

Sebagai backing Israel, Inggris tentu melaksanakan tugasnya dengan penuh tanggung jawab. Desember 1922, Liga Bangsa-Bangsa (League of Nations) yang merupakan cikal bakal PBB (United Nations) lahir. Menjadi landasan yudisial kuat bagi Inggris agar dapat mengatur wilayah Palestina. Sejak saat itu, penduduk Palestina tak lagi memiliki negara dan hak kemanusiaan. Puncaknya, pada 29 November 1947, PBB mengumumkan persetujuan berdirinya negara Israel. Palestina yang kini tak memiliki hak sebagai negara, 55% tanahnya dirampas PBB dan diserahkan pada Israel. Penduduk Palestina makin tersingkir dan terusir dari tanah mereka sendiri.

Dari serangkaian peristiwa tersebut, sudah jelas pengharapan pembebasan Palestina melalui PBB laksana mimpi di siang bolong. Tidak mungkin PBB, ‘saudara’ Israel, mau membantu Palestina yang merupakan musuh Israel, hanya atas dasar hak-hak kemanusiaan. Sejak awal, PBB memiliki standar ganda terhadap Palestina dan negara lain. PBB hanya mau membela pihak yang akan menguntungkan empunya, yaitu Israel dan Amerika. 

Negara Muslim Tetangga Bungkam dan Tak Peduli

Pasca Israel resmi berdiri, negara-negara tetangga Palestina yaitu Mesir, Yordan, Libanon dan Siria mengumumkan perang kepada Israel, sebagai bentuk tipu daya kepedulian mereka kepada Palestina. Jauh di dalamnya banyak sekali pengkhianatan pemimpin-pemimpin muslim di wilayah tetangga Palestina. Terlebih setelah perang 6 hari pada 1967, bukannya berkurang, wilayah Israel malah bertambah menjadi 70%.

Kehadiran negara tetangga sama sekali tak membantu, hanya menyisakan kepedihan dan harapan palsu. Dengan alasan bukan bagian negara mereka, Palestina terpenjara dalam kebengisan Zionis Israel. Hingga kini, lebih dari 90% tanah Palestina dilahap Israel, negara muslim tetangga sama sekali tak peduli. Seolah tak tampak penderitaan, tangisan, teriakan saudara-saudara mereka di ‘penjara terbesar di muka bumi’. Ketidakpedulian negara muslim semakin mengukuhkan kedudukan zionis, hingga mereka merasa berkuasa dan tak terkalahkan. 

Solusi Palestina adalah Kembalinya Khilafah Islamiyah

Sejak pendudukan Israel, sudah kita saksikan berbagai upaya untuk menyelamatkan bumi Palestina. Ada yang meminta pertolongan pada organisasi internasional, pada organisasi HAM, pada negeri kaum muslimin, mengirim bantuan logistik, atau sekedar mendoakan keselamatan Palestina. Namun, upaya-upaya tersebut belum menyelesaikan problematika Palestina hingga tuntas. Jika kita mau menelisik pada akar masalahnya, maka kita dapat memahami bahwa bangkitnya Yahudi hingga mereka mampu mendirikan sebuah negara adalah karena Umat Muslim terpecah belah dan tidak memiliki kekuatan. Akibatnya ketika Israel menginvasi Palestina, Umat Muslim yang terbagi menjadi negara berbeda terus berselisih apakah masalah Palestina juga termasuk tanggung jawab mereka. Oleh karena itu, jika Umat Muslim tidak bersatu dalam satu kepemimpinan global, dalam naungan Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah, maka sampai kapanpun pembebasan Palestina hanya mimpi belaka. 

Bukti Khilafah Islamiyah Sebagai Junnah Pelindung Tanah Ummat

Namun, apakah benar Khilafah mampu melindungi umat muslim dari jajahan kaum kafir? Bukti Khilafah sebagai junnah dapat kita amati dari sejarah mengagumkan Khilafah Ustmani, yaitu pada masa kepemimpinan Sultan Abdul Hamid II. Bahkan mendekati masa keruntuhannya, kondisi keuangan yang rapuh dan banyaknya hutang luar negeri, tidak membuat Khalifah tergiur dengan tawaran Zionis Israel. Ketika para zionis itu datang kepada Sultan Abdul Hamid II dengan tawaran mengesankan. Seratus lima puluh (150) juta poundsterling, pembangunan Universitas Ustmani, dan pembuatan kapal perang. Sama sekali tidak menggoyahkan pendirian Khalifah. Atas dasar keimanan dan ketakutannya pada Allah, Sultan Abdul Hamid II menjawab dengan tegas, 

“Nasihati Dr. Herzl, agar jangan sekali-kali lagi meneruskan proyek ini. Aku tak bisa berikan tanah itu, tanah itu bukan milikku, Tanah itu milik ummat, yang telah berjihad dan telah menyiraminya dengan darah mereka, yahudi silakan simpan uang mereka. Jika Khilafah Islam dimusnahkan pada suatu hari, maka mereka boleh mengambil tanah Palestina tanpa membayar. Akan tetapi, sementara aku masih hidup, aku lebih rela menusukkan pedang ke tubuhku, daripada tanah itu dikhianati dan dipisahkan dari Khilafah Islam. Aku tidak akan memulai pemisahan tubuh kami selagi kami masih hidup."

Kaum muslim tentu rindu melihat wilayah Palestina dilindungi dan dibebaskan seperti masa kekhilafahan. Agar hal ini bisa terlaksana, umat memang membutuhkan seorang Khalifah, pemimpin seluruh kaum Muslim. Sebab, Rasulullah SAW bersabda,

“Imam (Khalifah) adalah perisai, di belakangnya kaum Muslim berperang dan berlindung” (HR Muslim).

Di sinilah pentingnya kita semua untuk serius dan sungguh-sungguh untuk memperjuangkan kembalinya Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Hanya dengan Khilafahlah Palestina bisa dibebaskan dan dimerdekakan secara nyata. Wallahua’lam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak