Oleh Ummu Syahamal
Seorang Muslim umumnya tahu miras itu haram. Ironisnya di negeri yang mayoritas Muslim ini, hukum miras bukan haram, bukan halal. Tapi mengikuti situasi dan kondisi. Saat menjelang Ramadan seperti sekarang hukumnya menjadi haram. Itu sebabnya dengan alasan menghormati umat Muslim maka jelang Ramadan ini banyak razia miras dimana-mana. Sebagaimana yang juga dilakukan di Malang. Baru-baru ini operasi dengan sasaran penjual minuman keras (Miras) digelar di kawasan Kayutangan Heritage, Kota Malang. Dalam razia tersebut puluhan botol minuman beralkohol dari berbagai merk disita petugas dan terhadap pemilik kios atau tempat berjualan kemudian diberikan penindakan Tipiring (detikjatim.com, 25/2/2023).
Razia miras jelang Ramadan makin menguatkan asas sekulerisme yang berlaku di negeri ini. Yaitu asas memisahkan agama dari kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Miras yang haram ditertibkan saat menjelang Ramadan. Itupun hanya di warung rumahan, yang dianggap sebagai tempat yang tidak mendapatkan ijin untuk menjual miras. Dalam UU minol disebutkan bahwa miras masih boleh dijual di tempat tertentu sesuai dengan aturan UU.
Langkah ini jelas bertentangan dengan syariat Islam yang massif memberantas peredaran miras di masyarakat. Dalam sistem sekuler kapitalis seperti saat ini memberantas tuntas miras hanyalah mimpi. Pasalnya sisem ini menganggap miras bisnis sangat menguntungkan, yang menggerakkan roda ekonomi dan memberikan pemasukan pada negara. Sebaliknya dengan islam , miras dianggap sebagai induk kejahatan. “Khamr adalah induk kejahatan, maka siapa saja yang meminumnya, shalatnya tidak akan diterima selama 40 hari. Jika dia mati di perutnya ada khamr, maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah.” (Hr. At Thabrani).
Hadis ini disampaikan baginda Rasulullah ribuan tahun lalu tetapi sampai sekarang hadis ini relevan. Maraknya kejahatan akibat miras menjadi sebab akibat yang tak terelakkan. Badan Pusat Statistik pada 2020 merilis data 10 propinsi dengan tingkat kriminalitas tertinggi. Hasilnya, Papua Barat merupakan provinsi dengan tingkat kriminalitas tertinggi, diikuti dengan Maluku, Sulawesi Utara dan Sumatra Utara di deret selanjutnya sebagai provinsi dengan angka kriminalitas tertinggi (katadata.co.id, 15/12/2021). Data ini sejalan dengan pernyataan Kepala Bidang Humas Polda Sulut Ajun Komisaris Besar Benny Bela pada Jumat (21/1/2011) bahwa masih tingginya tindak kriminalitas di wilayahnya disebabkan oleh minuman keras (kompas.com, 21/01/2011). Demikian pula data Bareskrim Polri yang mencatat 223 kasus perkara pidana miras telah terjadi mulai tahun 2018 sampai 2020 (Jawapos.com, 14/11/2020).
Akhirnya berbagai upaya dilakukan pemerintah dan aparat keamanan untuk menekan angka kriminalitas akibat miras. Mulai dari mengesahkan Permendag, Perpres serta ditambah lagi dengan upaya aparat keamanan berantas miras dengan razia. Anehnya, pabrik miras tetap legal dan tidak ditutup. Sungguh tidak logis. Negara tidak berani menutup pabrik miras, di satu sisi bingung bagaimana menekan angka kriminalitas akibat miras. Jadi kalaupun miras di razia lebih pada untuk menekan angka kejahatan, bukan karena zatnya yang haram.
Bisa disimpulkan di sistem ini miras akan terus diizinkan beredar meski dengan embel embel dibatasi dan diawasi, pasalnya dalam sistem sekuler ini, aturan agama bukanlah pertimbangan dalam membuat peraturan. Ini karena pembuatan aturan diserahkan kepada manusia melalui mekanisme demokrasi. Sementara demokrasi adalah sistem politik ideologi kapitalisme, dimana tolak ukur kapitalisme dalam segala hal termasuk pembuatan aturan masyarakat adalah keuntungan atau manfaat semata, terutama keuntungan ekonomi. Karena itu selama sistem ini tetap diterapkan, maka masyarakat akan terus terancam dengan miras dan segala mudharatnya. Akhirnya upaya pemberantasan yang dilakukan penguasa tidak akan pernah tuntas.
Berbeda dengan bagaimana dengan Islam, begitu kerasnya keharaman khamr ini, sampai Allah dan Rasulullah Saw melaknat, bukan hanya peminumnya, tetapi sepuluh pihak yang terkait dimana dalam sebuah riwayat hadis dinyatakan: “Rasulullah Saw melaknat terhadap khamr ini sepuluh golongan orang: (1) yang memerasnya; (2) yang minta diperaskan; (3) yang meminumnya; (4) yang membawanya; (5) yang minta dihantarkannya; (6) yang menuangkannya; (7) yang menjualnya; (8) yang memakan harganya; (9) yang membelinya; (10) yang minta dibelikannya.” (Hr. Tarmizi dari Anas).
Dari hadis tersebut inilah 10 golongan orang-orang yang bisa terkena dosa miras; 1. Pegawai pabrik miras ( yang memeras anggurnya), 2. Produsen, owner pabrik miras ( orang yang minta diperaskan), 3. Konsumen miras (orang yang meminumnya), 4. Distributor miras mulai dari ekspedisi, supir, hingga pramusajinya (orang yang membawanya) 5. Pemesan miras ( orang yang minta diantarkan miras baik untuk dirinya atau orang lain), 6 bartender atau pramusaji ( yang menuangkannya), 7. Distributor, eceran dan kaki lima yang menjual miras ( yang menjualnya), 8. Retribusi, pajak hingga orang yang berinvestasi di bisnis miras ( yang memakan harganya), 9. Pembeli miras (yang membelinya), 10. Orang yang minta dibelikan miras (yang minta dibelikannya).
Jadi Islam telah melarang total segala hal terkait miras atau khamr, mulai dari pabriknya, yang mendistribusikannya, sampai yang menjual dan membelinya. Dalam negara yang menerapkan sistem Islam secara kaffah sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah dan para sahabat Nabi, para peminum khamr yang telah terbukti di pengadilan , baik meminum dalam jumlah banyak maupun sedikit akan diberikan sanksi berupa hukuman cambuk sebanyak 40 atau 80 kali. Anas ra. mengatakan,"Bahwa Nabi Muhammad saw. pernah mencambuk peminum khamr dengan pelepah kurma dan terompah sebanyak 40 kali." (HR Bukhari, at-Tirmidzi dan Abu Daud). Adapun Ali bin Abi Thalib ra. juga mengatakan,"Rasulullah Saw pernah mencambuk peminum khamr 40 kali, Abu Bakar mencambuk 40 kali, Umar mencambuk 80 kali, masing-masing adalah sunnah. Ini adalah yang lebih aku sukai." (HR Muslim).
Adapun sanksi kepada selain peminum khamr berupa ta'zir. Yang mana bentuk nya diserahkan kepada khalifah dan Qadhi yang berwenang. Tentu sanksi itu memberikan efek jera atau penebus dosa bagi pelakunya. Produsen dan pedagang miras selayaknya dberi sanksi yang lebih berat daripada yang diberikan pada peminumnya. Pasalnya mereka menimbulkan bahaya yang lebih besar dan lebih luas pada masyarakat. Karena itu miras haram dan harus dilarang secara total. Semua ini hanya bisa diwujudkan jika syariat Islam diterapkan secara kaffah. Wallahu a'lam bish showab.