Oleh: Sukey
Aktivis muslimah ngaji
Baru baru ini grup K-pop BLACKPINK menggelar konser BLACKPINK WORLD TOUR [BORN PINK]. Konser akan digelar selama dua hari, yakni 11-12 Maret 2023 di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Jakarta (cnbcindonesia.com;10/03/2023).
Tidak jarang juga pesertanya adalah muslimah berhijab. Mereka rela merogoh kocek dalam-dalam demi membeli tiket yang tidak murah. Harga tiketnya mencapai Rp1,3juta sampai dengan Rp 3jutaan, bahkan banyak yang tidak dapat tempat duduk. Dalam konser ini para Blink-sebutan bagi fans blackpink dimanjakan dengan suguhan lagu-lagu terbaik mereka.
Antusiasme masyarakat terhadap konser grup yang terdiri dari Lisa, Rose, Jennie, dan Jeeso ini sangat tinggi. Lebih dari 70 ribu Blink—sebutan untuk penggemar Blackpink—menghadirinya. (Tempo.com;13/03/2023). Mereka berdatangan dari berbagai daerah.
Dukungan Amerika Serikat terhadap KPop dan KDrama yang muncul dari Korea Selatan sebagai bagian negara yang berkiblat kepadanya, pasti beralasan. Hal tersebut karena tentu akan semakin memuluskan langkah liberalisasi dan mengokohkan kapitalisme di dunia, termasuk Indonesia. Sementara demam K-POP dan K-Drama memang sudah melanda negeri ini di 20-an tahun belakangan.
Korean wave merupakan sebuah istilah yang diberikan untuk penyebaran budaya populer Korea melalui produk-produk hiburan seperti musik, drama, dan style. Korean wave ini tersebar secara global di berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia. Sejak masa Pemerintahan Presiden Kim Dae Jung (1993-1998) (Kompasiana, 27/10/2022).
Korean wave negeri ginseng ini juga seolah menjadi jalan yang mudah dan smooth untuk mempengaruhi anak muda hari ini yang juga merupakan penjajahan dalam pemikiran dan gaya hidup anak muda hari ini dengan gempuran fun, food, fashion dan film. Salah satu Profesor di Universitas Sangmyung Seoul, Song Young-chae, menyebut bahwa pemerintah Korea Selatan memakai Hallyu atau Korean Wave sebagai bentuk promosi ke negara-negara lain. Kini, kata dia, banyak orang dari negara lain mengetahui Korea terlebih dulu lewat musik, drama televisi, dan film (liputan6.com, 7/5/2021). Bahkan mengalahkan Jepang yang lebih dulu merambah dunia hiburan ini.
Miris rasanya para penonton yang mayoritas pemuda ini gencar untuk menonton konser dengan tiket puluhan juta demi pemenuhan kebahagiaan dan hiburan saja. Para idola yang mereka banggakan membuat ribuan generasi terhipnotis bahkan rela untuk mengeluarkan dana nonton konser tembus puluhan juta. Padahal dengan uang jutaan tersebut dapat digunakan untuk biaya kebutuhan yang lain.
Meski membutuhkan biaya besar, para penggemar yang didominasi remaja ini rela berkorban finansial demi berjumpa sang idola. Hal ini sungguh kontras dengan kondisi perekonomian Indonesia. Banyak orang miskin dan di-PHK, bahkan kemiskinan ekstrem juga marak terjadi. Namun, para remaja rela mengeluarkan jutaan rupiah hanya demi menonton konser.
Fenomena ini sungguh memprihatinkan karena menunjukkan budaya hedonisme sekaligus buruknya prioritas amal para remaja tersebut. Padahal, uang jutaan tersebut lebih bermanfaat jika digunakan untuk biaya pendidikan ataupun keperluan lainnya yang lebih urgen.
Mirisnya, para muslimah itu asyik dan larut bergoyang mengikuti alunan musik. Padahal, figur publik yang mereka saksikan di panggung mengumbar aurat dan menyajikan koreografi yang menonjolkan kecantikannya. Sungguh kontras, ketika para muslimah menutup auratnya, mereka justru mengelu-elukan perempuan yang mempertontonkan aurat. Sayangnya, sepertinya hal seperti ini dianggap wajar saja. Apalagi mengingat personel Blackpink yang nonmuslim sehingga seolah sah-sah saja buka-buka aurat.
Konser ini dan yang sejenisnya, sungguh berbahaya karena mengusung gaya hidup Barat yang memuja kebebasan. Aturan agama diabaikan, yang penting happy. Para muslimah yang seharusnya menjaga kehormatan dan kemuliaannya, justru menanggalkan rasa malunya dan berlenggak-lenggok mengikuti idolanya.
Di tengah persoalan bobroknya generasi, dalam segala aspeknya, negara justru memfasilitasi konser yang berpondasi dari budaya luar. Menambah potensi kerusakan generasi yang mengukur kebahagiaan dengan materi. Semisal membeli tiket konser yang sedang viral. Inilah fenomena yang terjadi di tengah masyarakat. Gaya hidup ini merupakan bagian dari hedonisme yang meracuni pemuda ditengah kemiskinan yang masih ada ditengah masyarakat.
Terlihat nyata wajah negara tanpa tujuan yang jelas terhadap generasi, inilah dampak dari pemisahan agama (sekularisme) dan penekanan peran kapital dari modal kekayaan produksi barang yang digunakan (kapitalisme) di negara ini, berujung salah kaprah menempatkan prioritas dan menimbulkan budaya hedonisme.
Umat Islam harus menyadari bahwa dunia hari ini, termasuk Indonesia berada dalam genggaman kapitalisme global. Hedonisme dan nilai-nilai liberal (kebebasan) merupakan proyek Barat untuk menjaga kepentingan mereka agar tetap menguasai dunia dengan Ideologi Kapitalisme seperti menyuguhkan konser, tontonan, hiburan, yang mengarah ke generasi saat ini.
Pihak yang berkuasa mengatakan bahwa peran pemuda adalah sebagai agen perubahan. Artinya pemuda menganalisis perubahan zaman sehingga mereka dapat memilih mana yang perlu untuk dipertahankan. Namun, berbanding terbalik dengan yang saat ini terjadi, konsekuensi logis dari penerapan sistem Kapitalisme berdampak pada krisis moral generasi, kebebasan serta sikap individualisme yang tinggi.
Apa pun yang dijajakan peradaban kapitalisme, diikuti oleh umat Islam, khususnya aspek akidahnya, yaitu sekularisme, pluralisme, dan sinkretisme. Juga politiknya, yaitu demokrasi dan nasionalisme. Bahkan, aspek budayanya, yaitu hedonisme, liberalisme, dan materialisme.
Semua yang dijajakan Barat diadopsi oleh umat Islam tanpa memikirkan kesesuaian maupun pertentangannya dengan Islam.
Inilah fakta dari sebuah negeri yang menerapkan sistem sekularisme. Tak ada misi melahirkan generasi bervisi akhirat, karena memang sistemnya sengaja memisahkan agama dari kehidupan. Dunia adalah tempat berpesta dan berfoya-foya, tak menyadari bahwa ternyata itu hanyalah tipuan nafsu semata.
Oleh karena itu, sudah saatnya negeri mayoritas muslim ini bangkit dan kembali ke habitat aslinya yakni menghasilkan generasi muda yang tangguh layaknya generasi Islam yang dilahirkan oleh manusia mulia pilihan Allah SWT, Sang suri tauladan dan panutan umat manusia hingga akhir zaman yakni Rasulullah Muhammad Saw. Hal ini sebagaimana firman Allah Taala dalam QS Ali Imran: 110,
كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ ۗ وَلَوْ اٰمَنَ اَهْلُ الْكِتٰبِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ ۗ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَاَكْثَرُهُمُ الْفٰسِقُوْنَ
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahlulkitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, tetapi kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.”
Tujuan pendidikan Islam adalah mewujudkan generasi berkepribadian Islam, yaitu yang memiliki pola pikir dan pola jiwa Islam. Dasar pendidikan berupa akidah Islam. Sementara itu, materi ajar berupa tsaqafah Islam dan ilmu sains. Dengan demikian, hasilnya adalah individu yang bertakwa dan sekaligus unggul dalam iptek.
Islam menjadikan negara sebagai pihak yang akan mewujudkannya, mengintegrasikan misi mencetak generasi bersyakhshiyah Islam dalam aspek lini kehidupan. Sebagaimana kisah gambaran sosok pemuda yang memiliki jiwa kuat, tangguh, dan harta berlimpah diberikan untuk peradaban Islam yaitu Mush’ab bin Umair dan Sa’ad bin Muadz. Mereka contoh penyadaran bagi pemuda islam untuk dicontoh dan diaplikasikan dalam kehidupan.
Untuk itu, butuh terobosan strategi yang handal untuk menghadapi racun pemikiran barat yang semakin mulus mengelabui hingga pemuda hari ini seolah tak sadarkan diri. Dengan upaya generasi yang memimpin kader dakwah Islam serta ikhlas dalam menapaki perjuangan untuk mengembalikan kejayaan dan kemuliaan Islam. InsyaAllah peradaban Islam dalam naungan Khilafah akan terwujud.
Tags
Opini