Sibuk Kejar Eksistensi, Sampai Lupa Keselamatan Diri



Oleh: Krisdianti Nurayu Wulandari

Penggunaan media sosial saat ini sangat digandrungi oleh banyak orang, tak terkecuali generasi muda. Sebab, untuk menjadi terkenal di zaman sekarang tidaklah sulit. Cukup membuat konten sensasional, lalu viral, akhirnya terkenal. Maka tak jarang juga kita jumpai orang-orang yang melakukan hal-hal aneh demi membuat sebuah konten. Dan dari konten tersebut tak jarang juga mereka akan mendapatkan cuan sehingga semakin berambisi untuk mengejar eksistensi dan materi semata.

Beberapa waktu lalu, seorang remaja tewas tertabrak lantaran mengadang truk demi membuat konten di media sosial. Baru-baru ini juga, seorang perempuan meninggal terlilit kain yang ia gunakan untuk membuat konten gantung diri. Nahas, nasibnya tidak tertolong setelah ia terpeleset dan terjatuh.

Ada juga yang mencari eksistensi dengan cara pamer sana-sani agar keberadaannya diakui oleh banyak orang. Sibuk dengan mencari banyak pujian dari orang lain. Bahkan rela mati-matian bergaya hidup layaknya orang kaya padahal bukan. Hingga pada akhirnya memaksakan diri untuk berutang demi memenuhi gaya hidup yang serba mewah. Hal itu dapat kita kenal dengan istilah flexing.

Dilansir dari laman strategy lab, flexing adalah kebiasaan seseorang untuk memamerkan apa yang dimilikinya di media sosial demi mendapatkan pengakuan oleh orang lain. Istilah ini pertama kali digunakan pada tahun 1899 oleh Thorstein Veblen di bukunya yang berjudul The Theory of the Leisure Class: An Economic Study in the Evolution of Institutions. (Suara.com, 14/03/23)

Flexing dapat terjadi ketika seseorang merasa kurang percaya diri karena persaingan dan tekanan sosial yang ada atau juga untuk menarik perhatian lawan jenis. Sehingga rela menghabiskan uang demi mendapat pengakuan dan pujian.

Trend dan budaya yang seperti itu sungguh sangatlah miris. Sebab demi mengejar konten viral dan pujian semata, mereka rela memaksakan diri mereka terhadap sesuatu yang justru berdampak negatif pada diri mereka sendiri. Itulah yang diajarkan oleh sistem sekuler. Setiap diri bebas melakukan apa saja yang ia kehendaki untuk mengejar kesenangan dunia semata. Tanpa berpikir panjang apakah yang dilakukan ini adalah sesuatu yang bermanfaat untuk banyak orang ataukah tidak? Apakah yang ia lakukan ini sesuai dengan aturan Islam ataukah tidak?

Hal ini membuat taraf berpikir seseorang menjadi rendah. Dari yang seharusnya terikat pada syariat atau ketundukan kepada Allah lalu berlepas seolah senantiasa memperturutkan hawa nafsunya. Inilah kegagalan sistem hari ini. Sistem kapitalisme yang beraqidah sekuler gagal membawa manusia menuju kemuliaannya melalui ketinggian taraf berpikir. Negara gagal melahirkan sosok individu berilmu tinggi.  

Apalagi ini banyak menjangkiti generasi muda. Bagaimana jadinya jika bonus demografi Indonesia ke depan dipenuhi oleh potret kehidupan pemuda yang seperti ini? 

Maka, sudah seharusnya negara turut berperan dalam membentuk generasi muda yang berkepribadian Islam. Tidak hanya pola sikapnya tapi juga pola pikirnya. Bagaimana negara seharusnya bisa membersihkan generasi muda dari pemikiran-pemikiran yang dapat merusak akidah mereka. Sehingga produktivitas yang dilakukan oleh generasi muda berisi dengan kebaikan serta penuh keberkahan untuk banyak orang. 

Jiwa-jiwa dan semangat mereka harus diberdayakan untuk membangun peradaban yang islami. Selalu menjadikan aqidah Islam sebagai landasan dalam tiap aktivitas yang akan mereka kerjakan. Mengembalikan mereka agar kembali pada fitrah penciptaannya, yaitu hidup di dunia hanyalah untuk beribadah kepada Allah semata.

Inilah pentingnya peran negara dalam mewujudkan generasi yang bersyakhsiyah Islam. Negara menerapkan sistem pendidikan Islam serta menyediakan fasilitas penunjang belajar yang mumpuni agar terlahir generasi bersyakhsiyah Islam yang mampu mengembangkan keilmuan mereka. Negara juga harus menyaring berbagai konten dan tayangan yang dapat merusak pemikiran Islam. Kemudian negara dapat memberdayakan potensi yang dimiliki oleh generasi muda.

Semua proses ini tidak dapat berlangsung kecuali adanya negara yang menerapkan aturan Islam secara kaffah. Dan satu-satunya bentuk negara yang dapat merealisasikannya adalah Khilafah Rasyidah. _Wallaahu A'lam_

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak