Sekuler, Razia Miras Jelang Ramadan




Oleh: Nisaa Qomariyah, S.Pd.
Aktivis Muslimah

Ramadan sudah dipelupuk mata, sebagian wilayah sudah melakukan razia miras. Seperti di Jawa Timur warung-warung yang menjual minuman bikin teler dirazia oleh Satuan Samapta Kepolisian Resor Situbondo. Dilakukan operasi tersebut berdasarkan adanya pengaduan masyarakat yang mengalami keresahan dengan adanya warung-warung tersebut.

Aparat tidak hanya menyita semua miras, namun juga memberikan sanksi terhadap tindak pidana ringan kepada pemilik dan penjual minuman haram tersebut. Polisi juga memberikan himbauan untuk masyarakat agar tidak lagi memperjualbelikan atau mengonsumsi miras. Sebab hal itu dapat membahayakan kesehatan, mengganggu keamanan, dan ketertiban masyarakat. (Liputan6.com, 26-2-2023).

Tidak hanya itu, ditemukan 95 liter miras tradisional dan 30 botol miras impor oleh Polresta Kendari, Sulawesi Tenggara. Disita pula 1.000 liter miras di Sulawesi Utara, oleh Polres Minahasa. Begitu pun di beberapa daerah, demi menjaga kekondusifan menjelang bulan suci umat Islam, aparat telah merazia miras.

Hal tersebut sudah jelas membuktikan bahwasanya sekularisme masih menjadi platform sistem kehidupan di negeri ini. Bukan karena bulan puasa saja miras itu haram, akan tetapi setiap bulan kaum muslim diharamkan menjual dan mengonsumsi miras. Mengapa hanya momen-momen tertentu saja diadakan razia?

Terlebih penggrebekan hanya warung-warung warga yang dianggap sebagai tempat yang tidak mendapatkan izin untuk menjual miras. Sedangkan, jika milik pengusaha besar, misal bar dan diskotik, mengapa tidak ada penggrebekan? Padahal, sudah pasti tempat tersebut terdapat miras. Apatah, biasanya sepaket dengan perjudian, narkoba, dan pelacuran.

Sangat jelas kemudaratan miras yang dipaparkan banyak peneliti dan pakar, baik dari sisi kesehatan maupun sosial masyarakat. Terjadi banyak kejahatan dan kriminalitas yang berawal dari barang haram ini. Misalnya, pelaku mabuk-mabukan dan tidak sadarkan diri, hingga bertindak semaunya. Terjadinya pqemerkosaan, penganiayaan hingga pembunuhan menjadi rentetan kasus yang kerap kali diawali dengan miras.

Akan tetapi, pemerintah masih saja memperbolehkan adanya peredaran miras di tempat-tempat tertentu seperti kelab malam dan tempat pariwisata dengan dalih manfaat ekonomi. Hebatnya lagi Presiden Jokowi membuka investasi industri miras yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 tahun 2021 terkait Bidang Usaha Penanaman Modal. Bahkan dari miras pernah menyumbang Rp250 miliar pada kas negara, (cnnindonesia, 2021).

Beginilah wajah kebijakan yang terjadi ketika sistem ekonomi kapitalisme menjadi asas dalam pengelolaan negara. Tidak hanya itu saja, terlahir masyarakat yang liberal dari kehidupan yang sekuler, yakni masyarakat yang memiliki pemahaman kebebasan bertingkah laku. Budaya Barat yang terus masuk tanpa penolakan, akan menjadikan mabuk sebagai gaya hidup.

Oleh sebab itu, razia miras menjelang Ramadan hanya menjadi peredam keresahan ditengah masyarakat saja atas kemudaratan miras. Miras akan tetap beredar selama permintaan dan penawarannya tinggi. Permintaan miras tinggi dikarenakan gaya hidup yang liberal dan adanya dukungan dari pemerintah dalam rangka turut membiayai negara.

Bertolak belakang dengan Islam. Miras dalam Islam yakni induk dari kejahatan. Sehingga untuk menciptakan kehidupan yang aman, maka salah satu yang harus ditegakkan yaitu pelarangan miras, baik pelarangan produksi, konsumsi, maupun distribusinya.

Dari Abdullah bin Amr bin Ash ra., Nabi Muhammad Saw,. bersabda, “Minuman keras itu induk dari hal-hal yang buruk, bagi siapa yang meminum, maka salatnya tidak akan diterima selama empat puluh hari, dan jika ia meninggal dunia sedangkan minuman keras berada di dalam perutnya, maka ia akan meninggal dunia dalam keadaan jahiliah.” (HR Thabrani). Naudzubillah.

Allah SWT, sudah jelas melarang peredaran miras hingga yang terkena dosa bukan hanya peminumnya saja, namun juga penjualnya dan orang-orang yang terlibat di dalam peredarannya. Seperti orang yang mengambil untung dari jual beli, kuli angkutnya, sopir pengangkut miras, dll. 

“Allah melaknat khamar (minuman keras), peminumnya, penuang, yang mengoplos, yang minta dioploskan, penjual, pembeli, pengangkut, yang minta diangkut, serta orang yang memakan keuntungannya.” (HR Ahmad)

Menciptakan masyarakat yang bebas dari miras, bukan hanya diberlakukan larangan secara mutlak, namun juga harus dibangun pemahaman pada diri umat bahwa miras adalah benda yang haram sebab zatnya. Oleh sebab itu, umat pasti akan menjauhkan diri dari hal tersebut meskipun mendatangkan manfaat untuk diri.

Begitu pula sistem sanksi dalam Islam, akan sangat menjerakan bagi pelaku. Ali ra. berkata,

جَلَّدَ رَسُوْلُ اللهِ أَرْبَعِيْنَ وَأَبُو بَكْر أَرْبَعِيْنَ وَعُمَرَ ثَمَانِيْنَ وَكُلٌ سُنّةٌ وَهَذَا أَحَبُّ إِلَيَّ

“Rasulullah saw. mencambuk peminum khamar sebanyak 40 kali. Abu bakar juga 40 kali. Sedangkan Utsman 80 kali. Kesemuanya adalah sunah. Akan tetapi, yang ini (80 kali) lebih aku sukai.” (HR Muslim)

Jika terdapat pihak selain peminum khamar dikenai sanksi takzir, yaitu sanksi yang hukumannya diserahkan kepada khalifah atau kadi yang akan memberikan hukuman. Hukumannya menjerakan dan sesuai dengan ketentuan syariat.

Karena sistem kehidupan yang sekuler liberal lah yang menyebabkan makin masifnya peredaran miras. Satu-satunya cara untuk menjauhkan miras dari umat tidak lain dengan membuang sistem rusak ini dan menggantinya dengan sistem Islam di bawah naungan Daulah Khilafah Islamiah. Insyaallah, kesehatan manusia akan terjaga dari kerusakan yang diakibatkan oleh miras. Keamanan di tengah masyarakat juga akan tercipta dan umat hidup dalam keberkahan dan penuh martabat. Wallahu a'lam bishawwab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak