Oleh: Wiwi Widaningsih, S.Pd
Pada 8 Maret lalu, seorang mahasiswi Universitas Indonesia (UI) berinisial MPD (21) ditemukan tewas di sebuah apartemen kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Korban diduga bunuh diri dengan melompat dari lantai 18. Kepala Kepolisian Sektor (Kapolsek) Kebayoran Baru mengatakan bahwa MPD sempat meninggalkan pesan yang berisi permintaan maaf kepada keluarga dan teman-temannya melalui unggahan di media sosialnya. (Kompas.com, 12 Maret 2023).
Selanjutnya, pada 9 maret lalu di Bantul, ditemukan gantung diri di dapur rumahnya seorang lelaki berinisial NS (38). Setelah petugas kepolisian melakukan pemeriksaan, dinyatakan bahwa NS meninggal murni bunuh diri. Menurut keterangan keluarga, NS baru satu minggu yang lalu pulang dari bekerja sebagai tukang bangunan di Bogor Jawa Barat. Informasi tambahan dari tetangganya bahwa NS terlihat ada gangguan psikis. (SINDOnews.com, 10 Maret 2023).
Setelah melihat fakta-fakta di atas, sangat disayangkan sekali mereka mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri dalam usia produktif. Kemampuan intelektual, kondisi fisik yang sehat dan sempurna tidak menjamin seseorang untuk mampu mengendalikan masalah emosi dan psikisnya. Nalarnya tidak mampu menghentikan keinginannya untuk menghabisi dirinya sendiri.
Sebenarnya masih banyak kasus-kasus bunuh diri yang lain. Di negeri ini kasus bunuh diri masih disenyapkan. Sebuah studi pada tahun 2022 menemukan bahwa angka bunuh diri di Indonesia mungkin empat kali lebih besar daripada data resmi. Padahal, WHO menyatakan bahwa bunuh diri adalah penyebab kematian terbesar keempat di antara orang-orang berusia 15-29 tahun di seluruh dunia pada 2019.
Sekulerisme-Liberalisme-Kapitalisme Melahirkan Mental Ilness
Rapuhnya jiwa masyarakat saat ini tidak lepas dari paham sekulerisme yang sudah semakin erat dengan masyarakat. Mereka tidak mampu mengaitkan antara masalah hidupnya dengan keberadaan Allah SWT sebagai Al Khaliq (Sang Maha Pencipta) dan Al Mudabbir (Sang Maha Pengatur).
Ketika ada masalah atau mengalami kegagalan, mereka tidak punya “sandaran” yang kokoh untuk menopang jiwanya. Jiwa mereka labil dan mudah dipengaruhi oleh sumber eksternal, semisal media sosial. Di jagat dunia maya bunuh diri seolah menjadi trend dalam ‘penyelesaian’ masalah (baca: menyudahi masalah). Padahal negeri ini mayoritas kaum muslim, dan jelas Islam memandang bahwa bunuh diri adalah sebuah dosa yang besar.
Sementara itu, paham liberalisme di negeri ini semakin memperparah mental masyarakat. Media sosial dibiarkan bebas menayangkan konten yang mengajarkan keburukan, termasuk prilaku bunuh diri. Negara membiarkan berbagai konten keburukan yang tayang di media sosial diakses siapa saja. Kebebasan ini harus dibayar mahal dengan kerusakan masyarakat, termasuk rusaknya generasi muda.
Selain itu, ideologi kapitalisme turut menyuburkan gangguan kesehatan mental.
Ideologi kapitalisme mempengaruhi gaya hidup masyarakat. Contoh budaya flexing, yaitu budaya memamerkan kekayaan. Masyarakat merasa terpacu untuk hidup seperti orang lain. Hingga menghalalkan segala cara untuk memuaskan gaya hidupnya. Maraknya pinjol menjadi solusi kilat bagi mereka. Namun sangat disayangkan berakhir pada jeratan hutang riba yang mengerikan. Tak jarang mereka yang terjerat pinjol memutuskan mengakhiri hidupnya.
Diperparah dengan karakter penguasa di sistem kapitalisme hanya sebagai regulator. Mereka berlepas tangan atas permasalahan masyarakat, bahkan mereka terbebani oleh kasus-kasus gangguan mental ini. Masyarakat yang mengidap gangguan kesehatan sebagaiannya tidak mendapat bantuan dari BPJS. Sebab menganggap pada kasus tertentu melukai dirinya sendiri itu tidak dapat diklain obatnya pada BPJS. Padahal BPJS merupakan upaya pengurusan Negara terhadap kesehatan masyarakatnya. Apalagi setelah pandemi banyak sekali orang yang kehilangan pekerjaannya ini tentu sangat membuat stress yang berkepanjangan. Gangguan mental menjadi terus disandang penderita tersebut, akibatnya penderita gangguan kehilangan segalanya. Penguasa tidak memikirkan kesejahteraan rakyatnya sampai tuntas. Mirisnya, penguasa terus mencari lahan yang bisa dijadikan pundi-pundi uang. Inilah karakter penguasa yang lahir dalam sistem kapitalisme. Inilah bukti buruknya penerapan sistem maupun penguasa yang abai akan kesehatan mental
rakyatnya.
Islam Kaffah Menuntaskan Mental Ilness
Islam memandang manusia secara utuh dan menyeluruh. Oleh karenanya pembangunan manusia tidak hanya aspek fisik namun juga mentalnya. Islam menegaskan bahwa kebahagiaan hakiki seorang muslim adalah meraih ridha Allah SWT. Selalu menjadikan akidah Islam sebagai asas sehingga menghasilkan manusia yang tangguh, sabar akan cobaan dan yakin akan hari akhirat.
Masyarakat dengan pemahaman aqidah Islam nya akan benar-benar memahami bahwa Allah SWT adalah al Khaliq dan al Mudabbir; Muhammad saw. adalah rasulullah; Al Qur’an adalah kitab panduan hidupnya. Sehingga dalam menjalani kehidupannya akan senantiasa terikat pada apa yang telah Allah SWT perintahkan dan apa yang telah Rasulullah saw. contohkan.
Selain itu, masyarakat juga memahami konsep qodho-qodar dalam kehidupannya. Mereka akan menerima dengan taslim segala yang telah di-qodho-kan Allah padanya. Namun, tetap optimal dalam berikhtiar dalan ranah yang mampu dia kuasai. Mereka bertawakal kepada Allah SWT atas seluruh hidupnya. Sehingga dengan hal ini akan meminimalkan rasa ‘kecewa’ berlebihan terhadap kehidupan yang tidak sesuai dengan rencananya.
Islam memberikan pijakan individual bahwa ketakwaan dan ketawakalan seorang hamba adalah modal besar dan pedoman utama menjalani kehidupan. Akan tetapi, di sisi lain Islam juga memberikan pilar-pilar mengenai kebahagiaan yang harus diwujudkan oleh penguasa bagi rakyat yang dipimpinnya.
Islam sebagai ideologi yang sempurna juga telah mewajibkan Negara (Khilafah) melindungi dan menjamin kehidupan warganya. Negara akan berperan dalam melindungi keberadaan rakyatnya sebagai individu yang harus dijaga kemaslahatannya. Negara menjamin kebutuhan pokok individu (sandang, pangan, papan) dan kebutuhan pokok masyarakat (pendidikan, kesehatan dan keamanan).
Negara akan menjamin kesehatan masyarakatnya, termasuk kesehatan mental. Namun sebelumnya, Negara akan memutus mata rantai maraknya gangguan mental.
Paham sekulerisme-liberalisme-kapitalisme akan dibuang jauh oleh Negara Khilafah. Sebab landasan masyarakat akan beralih pada aqidah Islam. Masyarakat akan menyandarkan perbuatannya pada halal dan haram.
Penguasa dalam (Khilafah) Islam memahami dengan sungguh-sungguh bahwa rakyat adalah amanah. Layaknya gembalaan yang wajib dijaga dan dilindungi oleh penggembalanya. Nabi Muhammad saw. bersabda:
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
”Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.”
(HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll)
Penerapan sistem Islam secara kaffah akan menyelesaikan secara tuntas permasalahan kesehatan mental. Di samping lahirnya penguasa yang bertanggung jawab akan kondisi rakyatnya, termasuk kesehatan mental rakyatnya.
Wallahua’alam bi shawab
Tags
Opini