Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan Keluarga
Paris Agreement yang telah diadopsi pada COP 21 UNFCCC pada bulan Desember 2015 telah menandai babak baru dalam penanganan perubahan iklim. Para negara Pihak berkomitmen untuk mengambil tindakan dalam membatasi kenaikan suhu global di bawah 20Celcius. Untuk mengimplementasikan komitmen dalam mengendalikan kenaikan suhu global tersebut, negara Pihak dapat bekerjasama satu sama lain dalam memenuhi penurunan emisi mereka sebagaimana diatur dalam Artikel 6 Paris Agreement. Kerjasama antar negara tersebut dapat dilakukan melalui perdagangan penurunan emisi antar negara.
Paris Agreement tidak menyebutkan secara eksplisit tentang mekanisme pasar atau pasar karbon dalam perjanjian, akan tetapi memungkinkan negara Pihak untuk mengejar "co-operative approaches” dan secara sukarela menggunakan "international transferred mitigation outcomes (ITMOs)” untuk membantu memenuhi target pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Artikel 6 Paris Agreement menetapkan platform perdagangan karbon baru yang sentralistik, Sustainable Development Mechanism. Pengaturan detil mengenai Sustainable Development Mechanism akan dibahas pada COP 22 UNFCCC di Marrakesh. Mekanisme ini memungkinkan sektor publik dan swasta berpartisipasi dalam penurunan emisi GRK. Negara-negara harus menyetujui aturan perhitungan yang robush dan tidak double counting dalam pengurangan emisi GRK. (www.ditjenppi.menlhk.go.id)
Sementara itu, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menyampaikan, pemerintah akan bekerja sama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI) perihal perdagangan karbon dari Indonesia, khususnya berkenaan dengan hutan.
Menurut Erick Thohir, pada era perdagangan karbon seperti saat ini, Indonesia tidak hanya menjadi penonton. Indonesia juga akan mendorong Brazil dan Kongo sebagai pemilik hutan yang menjadi paru-paru dunia untuk membentuk “OPEC-nya” hutan. Hal ini dianggap solusi untuk semua. (Cnbcindonesia, 1-3-2023).
Perdagangan karbon merupakan aktivitas penyaluran dana dari negara-negara penghasil emisi karbon kepada negara-negara yang memiliki hutan untuk menyerap emisi karbon. Konservasi hutan dimotivasi dengan imbalan dana segar melalui skema pembangunan bersih.
Dari pengelolaan hutannya, Indonesia memiliki kapasitas reduksi karbon lebih dari 686 juta ton. Jika harga rata-rata per ton karbon sebesar US$5, maka Indonesia berpotensi menjual sertifikat surplus karbon senilai US$3,430 milyar atau sekitar Rp34 triliun (Detik, 13-8-2009).
Angka penjualan sertifikat surplus karbon inilah yang dikejar oleh Kementerian BUMN saat ini. Selama ini, harga karbon per ton dianggap rendah sehingga Indonesia ingin menggandeng Brazil dan Kongo untuk menaikkan daya tawar agar harga karbon bisa naik.
Bencana pemanasan global disebabkan oleh banyaknya emisi karbon dan emisi gas rumah kaca di udara akibat aktivitas manusia. Oleh karenanya, upaya menyelesaikan masalah pemanasan global haruslah ditempuh dengan menghentikan faktor penyebabnya, yaitu tingginya tingkat emisi karbon dan gas rumah kaca.
Tentu hal ini bukan perkara yang mudah. Dalam kapitalisme, produksi akan terus digenjot demi keuntungan besar. Tanpa memperhitungkan daya dukung lingkungan dan atau dampaknya bagi lingkungan. Sehingga solusi perdagangan karbon, bukanlah solusi yang tepat untuk kasus bencana pemanasan global.
Maka sebagaimana pandangan Islam, arus industrialisasi tetap harus menjaga kelestarian lingkungan. Semangat industrialisasi bukan hanya untuk mengejar keuntungan yang besar dan melupakan dampak lingkangan, namun akan didesain untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan tetap berpatokan pada semangat ramah lingkungan.