Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan Keluarga
Problem pengangguran memang masih menjadi PR besar bagi pemerintah di berbagai negara di dunia, tidak terkecuali Indonesia. Padahal, pengangguran berkorelasi positif dengan kemiskinan. Sedangkan kemiskinan menjadi salah satu faktor pemicu berbagai kerawanan sosial, sekaligus menjadi indikator minimnya tingkat kesejahteraan.
Pendidikan vokasi menjadi salah satu jurus yang dianggap akan mampu menjawab masalah ini. Namun jika dicermati, jurus ini justru menjadi bumerang bagi pemerintah sendiri. Pemerintah yang hanya fokus pada aspek pasokan atau supply tenaga kerja, bukan pada demand, yakni menciptakan lapangan kerja, menjadikan lulusan SMK justru menambah angka pengangguran.
Pada faktanya, pendidikan berorientasi kebidangan ini tidak serta merta terserap oleh dunia usaha, dunia industri, dan dunia kerja (DUDIKA). Penyebabnya ditengarai kurikulum yang ada tidak link and match dengan kebutuhan DUDIKA ini. Selain dinilai teoretis, juga berbasis pada target menciptakan tenaga kerja kuli tidak berdaya saing tinggi.
Betul bahwa kemampuan atau kompetensi merupakan bagian penting dari kualitas dan daya saing sumber daya manusia atau tenaga kerja. Namun, yang jadi problem terbesar maraknya pengangguran yang berdampak pada minimnya kesejahteraan hari ini adalah sempitnya akses masyarakat terhadap lapangan kerja serta buruknya atmosfer untuk berusaha.
Menciptakan lapangan kerja dan ruang berusaha yang kondusif semestinya menjadi prioritas kebijakan politik ekonomi negara sebesar Indonesia. Selain merupakan salah satu negeri terpadat di dunia, dengan jumlah penduduk sangat besar, mencapai 273,52 juta jiwa (per Januari 2023), proporsi angkatan mudanya pun sangat besar.
Lebih dari separuh jumlah penduduk, yakni sekitar 69% (data Juni 2022) tergolong usia produktif, yakni berusia antara 15—65 tahun. Wajar jika pada era sekarang ini Indonesia disebut-sebut sedang mengalami era bonus demografi. Jika dimanfaatkan sebaik-baiknya, Indonesia punya peluang besar untuk menjadi negara kuat dan berdaya. Namun, jika tidak dikelola dengan baik, tentu akan jadi malapetaka.
Kondisi ini tentu berbeda dengan Islam. Ajaran Islam menetapkan mekanisme jaminan kesejahteraan dimulai dari mewajibkan seorang laki-laki untuk bekerja. Namun, hal ini tentu butuh support system dari negara, berupa sistem pendidikan yang memadai sehingga seluruh rakyat khususnya laki-laki memiliki kepribadian Islam yang baik sekaligus skill yang mumpuni.
Pada saat yang sama, negara pun wajib menyediakan lapangan kerja yang halal serta suasana yang kondusif bagi masyarakat untuk berusaha. Caranya tidak lain dengan membuka akses luas kepada sumber-sumber ekonomi yang halal, dan mencegah penguasaan kekayaan milik umum oleh segelintir orang, apalagi asing. Termasuk mencegah berkembangnya sektor nonriil yang kerap membuat mandek, bahkan hancur perekonomian negara.
Semua itu hanya mungkin jika Islam diterapkan secara menyeluruh, tidak hanya secara individu tapi sampai negara. Wallahu a’lam bi ash showab.