Pemberantasan Miras Menjelang Ramadan Bukti Kuatnya Sekularisme

 



Oleh Anggia Widianingrum
(Pegiat Literasi)

Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk Muslimnya terbesar di dunia. Maka sudah sepatutnya produk yang beredar di tengah masyarakat adalah produk yang terjamin kehalalannya. Tidak cukup hanya dengan halal, namun juga kebaikan bagi yang mengonsumsinya. Karena bagi seorang Muslim, perkara  kehalalan produk yang dikonsumsi adalah tuntutan agama dan bisa mempengaruhi kualitas ibadah.

Apalagi sebentar lagi akan masuk bulan suci Ramadan. Bulan dimana umat Islam melaksanakan ibadah puasa, pastilah menginginkan suasana yang mendukung agar ibadah yang dijalankan penuh kekhusyu'an.

Pemerintah bersama jajaran aparat kepolisian dibantu Satpol PP melakukan razia minuman beralkohol di berbagai wilayah di tanah air, guna mengkondusifkan suasana menjelang Ramadan.

Seperti halnya jajaran Polresta Kendari, merazia tempat-tempat yang disinyalir menjual miras tradisional serta menyisir rumah-rumah indekos.
Hasil dari patroli razia tersebut, aparat menyita miras tradisional sebanyak 95 liter. (antaranews, 19/2/23)

Kemudian di wilayah berbeda, Polresta Malang Kota, melaksanakan Kegiatan Rutin Yang Ditingkatkan(KRYD) guna menindaklanjuti laporan masyarakat yang resah dengan adanya kios-kios penjual miras. Dalam patroli tersebut didapati salah satu kios yang menjual miras tanpa izin dan mengamankan pemiliknya dengan sanksi tindak pidana ringan dan menyita puluhan botol miras dari berbagai merek. (republika, 26/2/23)

Peraturan yang Melegalkan Miras

Pemerintah pusat dan daerah membuat peraturan terkait peredaran miras. Peraturan tersebut tertuang dalam Perpres No. 74 tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman beralkohol. Dalam aturan tersebut juga dimuat lokasi yang tidak diperbolehkan menjual miras yaitu dekat tempat peribadatan, lembaga pendidikan dan rumah sakit.
Kemudian aturan itu diperjelas dengan Peraturan Kementerian Perdagangan No. 20/M-Dag/Per/4/2014 yang memuat batasan usia yang boleh mengonsumsi minuman beralkohol yaitu 21 tahun. Di pasal 14 ayat 1-3 diatur pembagian lokasi yang boleh menjual minuman beralkohol yaitu restoran, hotel, bar atau sesuai dengan perundangan kepariwisataan. Sementara penjualan di tingkat pengecer seperti di Toko Bebas Bea(TBB) dan tempat-tempat tertentu yang memiliki izin.

Namun berbeda halnya Perda Provinsi Papua yang melarang peredaran minuman beralkohol. Yang tertuang dalam Perda No. 15 tahun 2013 yang diubah menjadi Perdana No. 22 tahun 2016 dengan sanksi 6 bulan penjara dan denda Rp 50 juta bagi pelanggarnya. (Papua, 17/11/18)

Lantas mengapa pemerintah hanya giat menertibkan peredaran miras pada saat-saat tertentu, terlebih pada saat menjelang Ramadan?
Hal ini tidaklah aneh bagi negara yang menerapkan peraturan sekularisme kapitalis. Peran agama tidak diberi ruang dalam membuat kebijakan untuk mengatur masyarakat. Apapun itu, tidak peduli halal-haram, ataukah mengorbankan keselamatan rakyat atau tidak yang terpenting selagi bisa dijadikan sumber pendapatan bagi negara, maka akan terus dibiarkan berproduksi.

Peraturan Sekuler Membentuk Masyarakat Liberal.

Miras adalah minuman haram dan memabukkan. Pihak yang mengkonsumsi bisa hilang kesadaran akal sehatnya. Bahkan kebanyakan pelaku kejahatan melancarkan aksinya setelah mengonsumsi miras. Sehingga wajar saja karena jumlah produksi miras meningkat dikarenakan banyaknya permintaan.

Inilah wajah masyarakat yang dibentuk oleh aturan sekuler kapitalis liberal. Masyarakat yang jauh dari keimanan, yang menjadikan gaya hidup bebas sebagai ukuran kebahagiaan. Teler (mabuk) dijadikan standar pergaulan. Tak jarang juga mereka kebingungan mencari solusi atas permasalahan hidup yang dihadapi, lalu beralih dengan mabuk-mabukan. Maka sudah sepatutnya pula miras itu ditiadakan sama sekali, bukan hanya sekali-kali atau pula setahun sekali ketika menjelang Ramadan.

Mengutip pernyataan mantan wakil ketua umum MUI Anwar Abbas saat menyikapi investasi miras yang diteken Jokowi beberapa waktu lalu, semestinya pemerintah sesuai dengan tugas dan fungsinya sebagai pelindung rakyat, tentu tidaklah akan memberikan izin bagi usaha-usaha yang merugikan dan merusak serta menimbulkan kemafsadatan bagi rakyatnya.

Sungguh kebijakan setengah hati dan kontraproduktif terhadap upaya pemberantasan miras yang jelas kemudharatannya. Nyatanya hanya kios kecil yang tak berizin saja yang di razia. Tindakan sanksi pun tak menimbulkan efek jera. Sungguh hal demikian juga tidak sejalan dengan tujuan negara yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.

Islam Menutup Celah Kemaksiatan

Dalam Islam, Allah Swt. dengan tegas melarang umat manusia meminum khamr ataupun miras. Allah Swt. berfirman yang artinya:" Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya(meminum) khamr, berjudi(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan".(TQS. Al-Maidah:90)

Negara yang menerapkan Islam tidak akan mentolelir segala hal yang dapat merusak masyarakat. Apalagi minuman beralkohol yang telah jelas keharamannya. Karena standar hukum yang diadopsi adalah syari'at Islam, barang haram tetaplah haram.
Negara juga akan mendidik rakyatnya dengan pemahaman Islam, baik dalam ranah pendidikan dan lingkungan sosial. Serta menjatuhkan sanksi yang tegas jika ada pelanggarnya.

Rasul saw. menyebut khamr adalah induk dari segala kejahatan, dan siapa yang meminumnya maka tidak diterima solatnya selama 40 hari, dan jika ia mati sementara masih tersisa khamr di dalam perutnya, maka ia mati sebagaimana matinya orang jahiliyah.(HR.ath-Thabrani)

Adalah suatu kekeliruan apabila menghendaki kebaikan dalam demokrasi sekuler liberal. Karena segala sesuatu ditimbang dengan akal dan hawa nafsu. Buktinya, yang jelas-jelas haram bisa dimusyawarahkan dan dibuat undang-undangnya. Maka begitulah adanya, sistem kufur yang akan selalu bertentangan dengan fitrah manusia.
Sebaliknya, peraturan yang baik berasal dari sistem yang sohih yang diwariskan baginda Nabi saw. yaitu sistem kepemimpinan Islam (khilafah) yang akan menjaga kesehatan fisik dan akal seluruh warga negaranya. Sehingga tercipta masyarakat yang memiliki peradaban tinggi disepanjang  sejarah penerapannya.

Tidakkah kita rindu hidup dibawah aturan Islam dan menjadi bagian dari mega proyek penegakkannya kembali di akhir zaman seperti yang telah Allah dijanjikan?

Wallahu a'lam bishawwab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak