PANDANGAN ISLAM TENTANG FENOMENA PENCUCIAN UANG



 
Oleh : Ummu Aqeela
 
Kemajuan teknologi informasi dan globalisasi keuangan membawa dampak berkembangnya kejahatan terutama kejahatan kerah putih (white collar crime). Salah satunya adalah money laundering (kejahatan pencucian uang) yang dilakukan melalui lembaga keuangan. Dan saat ini media Indonesia tengah dimarakkan mengenai kejahatan tersebut.
 
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan HAM Mahfud MD mengemukakan bahwa temuan transaksi mencurigakan Rp 300 triliun erat kaitannya dengan tindak pencucian uang. Menurut Menko Mahfud, dari laporan yang diterimanya, transaksi mencurigakan tersebut melibatkan 467 pegawai Kementerian Keuangan sejak tahun 2009 hingga 2023.
 
Hal inilah yang disampaikan oleh Mahfud kepada Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara bersama Sekretaris Jenderal Heru Pambudi, Inspektur Awan Nurmawan, dan Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo, yang mendatangani Kantor Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD, pukul 17.00 WIB, Jumat (10/3/2023). (CNBC Indonesia, 10/03/2023)
 
Pencucian uang (Inggris:Money Laundering) adalah suatu upaya perbuatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang/dana atau Harta Kekayaan hasil tindak pidana melalui berbagai transaksi keuangan agar uang atau Harta Kekayaan tersebut tampak seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah/legal.
 
Pada umumnya pelaku tindak pidana berusaha menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang merupakan hasil dari tindak pidana dengan berbagai cara agar Harta Kekayaan hasil kejahatannya sulit ditelusuri oleh aparat penegak hukum sehingga dengan leluasa memanfaatkan Harta Kekayaan tersebut baik untuk kegiatan yang sah maupun tidak sah. Oleh karena itu, tindak pidana Pencucian Uang tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan, melainkan juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (Wikipedia)
 
Dalam ideologi kapitalisme pencucian uang bukanlah hal yang mencengangkan. Karena sistem ini memberi keleluasaan bagi perorangan untuk memiliki sumberdaya, seperti persaingan antar individu dalam memenuhi kebutuhan hidup, atau persaingan antar badan usaha dalam mencari keuntungan. Setiap individu memiliki kebebasan penuh dalam bersaing bisnis dengan menggunakan berbagai metode untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya. Di mana semua aktivitas ekonomi dan sosial dilakukan sepenuhnya untuk kepentingan diri sendiri. Setiap individu berhak untuk menimbun kekayaan pribadi sebesar-besarnya tanpa mengindahkan posisi orang lain yang tidak memiliki kemampuan untuk melakukan hal yang sama.
 
Kapitalisme memberikan kebebasan penuh terhadap setiap orang untuk melakukan aktivitas ekonomi. Campur tangan negara dalam aktivitas ekonomi dibatasi hanya sebagai penyedia fasilitas, maka semua orang dapat menjalankan aktivitas ekonominya dengan lancar. Sehingga dapat dikatakan bahwa negara memiliki peran yang sangat minim dan hanya berfungsi sebagai keamanan dan ketertiban, menetapkan hak-hak kekayaan pribadi, serta menjaga persaingan tanpa hambatan.
 
Berdasarkan metode yang digunakan, maka terungkaplah bahwa, pencucian uang adalah perbuatan yang merusak/membahayakan/merugikan kehidupan manusia dan mencegah terwujudnya kemaslahatan masyarakat. Hal ini tidak sesuai dengan hukum Islam, dan merupakan tindak pidana dan dapat dikenai hukuman ta'zir bagi yang melanggar. Hukum Islam memandang pencucian uang termasuk katagori perbuatan yang diharamkan karena dua hal : pertama dari proses memperolehnya dan proses pencuciannya. 
 
Setiap orang muslim diajarkan konsep mencari harta yang halal, jelas dan memanfaatkannya dengan baik untuk kemaslahatan diri sendiri dan umat. Tidak ada kebanggaan dari harta haram dan tidak pula bermanfaat.
“Janganlah engkau merasa kagum kepada orang yang memperoleh harta dari yang haram. Sesungguhnya bila dia menafkahkannya atau bersedekah, maka tidak akan diterima oleh Allah; dan bila disimpan, hartanya tidak akan berkah. Bila tersisa pun, hartanya akan menjadi bekalnya di neraka” (HR. Abu Dawud).
 
Setiap muslim wajib mementingkan keberkahan dalam mencari dan memanfaatkan harta. Dalam kitab Riyadus Shalihin dijelaskan yang dimaksud barokah adalah sesuatu yang dapat menambah kebaikan kepada sesama, ziyadatul khair 'ala al ghair. Harta yang barokah haruslah yang halal dan baik, karena sesuatu yang diambil dari yang tidak halal dan tidak baik tidak mampu mendorong kepada kebaikan diri maupun orang lain, sebagaimana isyarat Allah SWT. dalam Al Baqarah ayat 168: 
Hai manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan; karena sesungguhnya syaithan adalah musuh yang nyata bagimu. (QS. 2:168).
 
Tindak pidana pencucian uang dalam Islam digolongkan kedalam jarimah tazir karena dikaitkan dengan ijtihad (memutus suatu perkara dengan akal karena belum ada illat hukum) dan karena belum jelas ketentuan hukumnya sehingga dapat pula dikatakan bahwa tindak pidana pencucian uang adalah merupakan suatu jarimah yang ada karena ditentukan oleh ijtihad ulul amri (pemerintah) demi kemaslahatan umum. Dalam hal ini, nilai ajaran islam dijadikan pertimbangan penentuan kemaslahatan umum.
 
Hukum tazir boleh dan harus diterapkan sesuai dengan kemaslahatan umum yang dalam kaitan ini ada sebuah kaidah bahwa tazir itu sangat tergantung kepada tuntutan kemaslahatan, dan kaidah ini diperkuat dengan isi surat An-nisa ayat 82 yang artinya:
"........sekiranya Al-Quran ini bukan dari Allah, pasti mereka mendapatkan banyak pertentangan didalamnya".

Ayat Al-Quran tersebut dengan jelas memerintahkan agar dalam menghadapi ajaran-ajaranNya hendaknya dipergunakan akal pikiran karena hanya dengan cara demikianlah kebenaran mutlak Al-Quran dapat diyakinkan.

Selanjutnya berkaitan dengan jarimah tazir ini diperkuat dalam Al-Quran surat An-nisa ayat 59 yang artinya: 
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatlah kepada rosul dan penguasa darimu (ulul amri). Jika kamu berselisih tentang sesuatu, rujukkanlah kepada (kitab) Allah dan (sunnah) Rasul.......".

Sehingga jika ada suatu kasus tindak pidana yang bersifat baru bukan telah berarti tidak ada hukumnya ataupun aturan pidana yang mengaturnya dan bukan berarti tindakan tersebut menjadi legal untuk dilakukan karena meski belum ada peraturan hukum yang mengaturnya (apalagi belum secara tegas dan jelas diatur dalam Al-Quran dan Al-Hadits), maka kasus tersebut tidak dapat langsung diputus begitu saja karena kita masih dapat menggunakan ijtihad sebagai salah satu sumber hukum islam yang dikemukakan oleh seorang pemimpin selaku pemegang kekuasaan (pemerintah). Dan ini hanya mampu terwujudkan secara nyata jika pemerintah dan negara berlandaskan pada sistem yang kaffah, yaitu sistem yang berlandaskan atas aturan-aturan Islam yang ditegaskan dalam Al Qur’an dan As Sunnah.
 
Wallahu’alam bishowab
 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak