Nasib Buruk Pekerja Migran, Negara Gagal Wujudkan Kesejahteraan




Oleh : Eti Fairuzita
(Menulis Asyik Cilacap)


Bukan sekedar cerita bohong jika banyak imigran yang disiksa oleh majikannya, bahkan mereka pun hingga harus meregang nyawa. Wajah Meriance Kabu, pekerja migran Indonesia (PMI) asal NTT yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Malaysia, menghitam karena hampir setiap hari dipukul majikannya. Tubuhnya pernah ditempelkan setrika panas, alat vitalnya dijepit tang hingga memar, lebam, dan terluka, lidahnya sobek, telinganya robek, tulang hidungnya pun patah.

Meriance yang awalnya tinggal di desa yang belum teraliri listrik, berniat pergi ke Malaysia untuk sekadar bisa memberi uang jajan pada anak-anaknya. Nahas, ia menjadi pekerja migran ilegal karena ketidaktauannya. Majikannya kerap mengancam melaporkannya ke polisi jika ia keluar rumah. Setelah selamat dari siksaan, kini Meriance terus mencari keadilan karena majikan yang menyiksanya tidak mendapatkan hukuman berat.

Sama halnya dengan Majikan Adelina PMI lainnya yang pada 2019 dibebaskan oleh Pengadilan Tinggi Penang. Padahal, pada 2018, Adelina ditemukan di beranda rumah majikannya dalam kondisi tidak berdaya dan penuh luka, hingga akhirnya nyawanya tidak bisa terselamatkan. Ia pun termasuk satu dari 700 lebih pekerja asal NTT yang kembali dalam peti mati. (BBC, 1-3-2023).

Menurut Hermono selaku Dubes RI untuk Malaysia, 5.000 kasus yang menimpa PMI di Malaysia, ratusan di antaranya adalah kasus penganiayaan, termasuk penyiksaan fisik, gaji tidak dibayar, dan lain-lain. Data lima tahun terakhir, terdapat lebih dari 2.300 pekerja yang gajinya belum dibayarkan. Mirisnya, semua ini terjadi di tengah permintaan pekerja di sektor rumah tangga yang terus meningkat, bahkan mencapai lebih dari 66.000 pekerja. (Data KBRI Malaysia, Februari 2023).

Bagai fenomena gunung es, data tersebut pun berdasarkan yang melapor saja, sedangkan yang tidak bisa melapor diyakini angkanya jauh lebih besar. Banyaknya kasus penganiayaan yang tidak tertangani, bahkan banyak majikan jahat yang lolos dari hukuman, membuat para majikan di sana tidak segan menganiaya para PMI.

Atas dasar itu, Menteri Ida Fauziah menerbitkan Permenaker 4/2023 tentang Jaminan Sosial Pekerja Migran Indonesia, menggantikan Permenaker 18/2018. Dalam Permenaker 4/2023, ada penambahan manfaat jaminan sosial untuk meningkatkan perlindungan dan pelayanan bagi PMI dari risiko sosial, baik karena kecelakaan kerja, kematian, maupun hari tua.

Ida menjelaskan, ada iuran jaminan kecelakaan kerja (JKK) dan jaminan kematian (JKm) sebesar Rp370.000 dengan perjanjian kerja 24 bulan, juga iuran jaminan hari tua (JHT) berkisar antara Rp50 ribu—Rp600 ribu. (BBC, 3-3-2023).

Kompensasinya, para pekerja migran akan mendapatkan pelayanan kesehatan, santunan berupa uang, pendampingan, pelatihan vokasi bagi PMI yang cacat, santunan kematian, biaya pemakaman, beasiswa pendidikan, pelatihan perlindungan selama kerja, dan lain-lain. Dengan begitu, perlindungan kerja dan pascakerja para PMI akan makin terjamin.

Minat masyarakat Indonesia untuk bekerja di luar negeri buah dari kemiskinan dan sempitnya lapangan kerja di negeri ini. Kemiskinan ini pun telah menjadikan keterampilan para pekerja migran begitu rendah sehingga mereka hanya bisa masuk di sektor-sektor yang dianggap tidak membutuhkan skil seperti pembantu rumah tangga. Kemiskinan juga membuat warga mudah terbawa proses migrasi ilegal tersebab ketidaktahuan serta prosesnya lebih mudah dan cepat membuat para PMI rentan dengan kekerasan dan penderitaan.

Lebih dari itu, kemiskinanlah merupakan faktor penyebab tingginya angka Pekerja Migran Indonesia (PMI). Andai saja kehidupan mereka sejahtera dan pekerjaan mudah didapat, tentu hidup bersama dengan keluarga tercinta di tempat kelahiran menjadi pilihan mereka. Oleh karenanya, problem PMI ini hanya bisa selesai dengan mengembalikan kesejahteraan rakyat.

Sayangnya, alih-alih menyejahterakan, PMI justru menjadi andalan negara dalam meraup pundi-pundi keuangan. Lihatlah, titel “Pahlawan Devisa” tersemat pada para PMI yang sedang mempertaruhkan nyawanya di luar sana tanpa adanya perlindungan yang nyata dari negara. Artinya, PMI akan terus dipelihara, bahkan disosialisasikan sebagai solusi perekonomian keluarga dan negara.

Dengan diterbitkanya Permenaker ini sejatinya mengonfirmasi bahwa fokus pemerintah bukan untuk melindungi warganya dengan menyediakan lapangan kerja di tanah air agar mereka tidak perlu bermigrasi. Pemerintah lebih memilih melindungi sektor ini sebagai sumber pemasukan negara agar jangan sampai berkurang. Maka dibuatlah undang-undang perlindungan kerja dengan harapan semua PMI tidak memiliki hambatan dalam bekerja. Bahkan, pemerintah melakukan sosialisasi untuk rekrutmen PMI di daerah-daerah dengan tujuan menyelamatkan ekonomi dan jangan sampai terekrut oleh para agen ilegal.

Lagipula, Permenaker 4/2023 ini bukanlah aturan baru terkait perlindungan kerja para pekerja migran. Sebelumnya, ada UU 18/2017 tentang Pelindungan PMI dan Permenaker tahun-tahun sebelumnya yang nihil solusi dalam mengatasi kekerasan terhadap PMI. Buktinya, kasus penganiayaan terhadap PMI justru makin tinggi.

Permenaker ini juga seperti hanya berfokus pada iuran yang wajib dibayarkan para PMI dengan alasan demi terjaminnya perlindungan kerja mereka di luar negeri. Memang benar tidak terjadi perubahan iuran dalam Permenaker yang terbaru. Hanya saja, jika ingin melindungi warganya, mengapa harus ada iuran segala? Mengapa tidak dianggarkan saja dari negara untuk para pekerja migran? Bukankah ini pun memperlihatkan betapa pemerintah hanya berfokus pada otak-atik pemasukan negara?

Rendahnya posisi tawar Indonesia di negara lain pun bisa menyebabkan PMI rentan teraniaya. Lihat saja, peradilan Malaysia dengan mudahnya membebaskan para majikan meski telah terbukti menganiaya pekerja Indonesia. Bahkan, Kedubes RI untuk Malaysia tidak bisa berbuat apa-apa terhadap putusan hakim yang dianggap sangat menzalimi pekerja Indonesia. Tatkala majikan yang menyiksa Adelia diputuskan bebas, nyatanya pihak Indonesia tidak bisa berbuat apa-apa.
Persoalan mendasar terkait kekerasan terhadap PMI sejatinya adalah kemiskinan sistemis yang lahir dari sistem ekonomi kapitalis. 

Sistem ini telah nyata merampas hak rakyat dan memandulkan fungsi negara dalam mengurusi dan meri'ayah rakyatnya. Sistem ini juga melegalkan perampasan SDA yang sejatinya merupakan hak rakyat sepenuhnya.
Andai saja pengelolaan SDA dikelola negara, bukan hanya ekonomi negara yang selamat, melainkan juga ekonomi rakyat. Ini karena sumber mata pencarian akan banyak terbuka ketika pengelolaan SDA dari hulu ke hilir dikuasai negara. Sayangnya, saat ini penguasa malah menyerahkan semuanya pada asing maupun swasta. Alhasil, fenomena banjirnya tenaga kerja asing di tanah air terjadi saat angka pengangguran justru sangat tinggi.

Lebih parah lagi, sistem ini pun menyuburkan perdagangan manusia (human trafficking) sebab kebebasan tanpa batas seolah membolehkan manusia satu berkuasa terhadap manusia lainnya. Nyawa manusia tidak lebih berharga dari barang-barang produksi karena statusnya dianggap sebagai komoditas semata. Bukan hanya di Malaysia, hampir di setiap negara, PMI kerap diperlakukan tidak manusiawi. 
Oleh karenanya, menghilangkan problem PMI ini bukan sekedar melalui Permenaker, melainkan harus ada upaya mendasar dan menyeluruh, yakni mengganti sistem ekonomi kapitalisme menjadi sistem ekonomi Islam.

Islam memiliki sistem ekonomi yang mampu menjamin kesejahteraan rakyatnya. Negara akan membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi para lelaki, salah satunya dengan mengelola SDA secara mandiri dan hasilnya dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat. Sebab, proses pengelolaan SDA yang begitu besar dan melimpah ruah juga akan sangat menuntut banyak pekerja. Sehingga masalah pengangguran pun tidak mungkin terus meningkat sebagaimana terjadi hari ini.

Kaum perempuan pun akan sejahtera di bawah naungan sistem Islam (Khilafah). Dalam konsep ekonomi Islam, nafkah perempuan ditanggung oleh para walinya. Jika seluruh walinya tidak bisa, negaralah yang akan menafkahinya langsung. Sehingga para perempuan tidak perlu banting tulang bahkan harus bertaruh nyawa demi menopang ekonomi keluarga maupun negara.

Perempuan juga diperbolehkan mengaktualisasikan keahliannya tanpa mengabaikan peran utamanya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Mereka bisa menjadi dokter, dosen, pegawai, pengusaha, atau apa pun asal tetap terikat dengan hukum syara dan terjamin keamanannya. Tidakah kita rindu dengan sistem kehidupan yang mampu menjaga jiwa manusia ?

Wallahu alam bish-sawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak