Menyoal KLA Sebagai Solusi Problem Hak Anak

 



Oleh  Siti Komariah 

(Freelancer Writer)


Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Sulawesi Tenggara melakukan rapat koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan pendampingan hidup anak kewenangan provinsi tahun 2023.


Kepala Dinas PPPA Sulawesi Tenggara, Andi Tenri Rawe Silondae mengatakan, rapat tersebut bertujuan untuk mengkoordinir agar terlaksananya forum anak di seluruh kabupaten/kota di Sulawesi Tenggara. 


Pihaknya menggandeng organisasi perangkat daerah (OPD) terkait, seperti Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Dinas Sosial, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, dan lainnya untuk mencapai Sulawesi Tenggara sebagai provinsi layak anak tahun 2030 (telisik, 04/03/2023). 


Kota layak anak merupakan salah satu program untuk membentuk sebuah kota yang nantinya mampu menjalankan seluruh pembangunan yang berorientasi kepada anak. Hal ini maksudkan agar anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik dan mereka mendapatkan seluruh hak-haknya, serta digadang-gadang bisa menjadi solusi terhadap problem anak, yakni terhindar dari berbagai tindakan kekerasan, baik fisik maupun seksual.  


Namun patut disadari jika slogan "kota layak anak" sepatutnya hanya sebuah pemanis di atas kertas semata. Faktanya, masih banyak anak yang tidak mendapatkan haknya, mulai dari hak pendidikan hingga hak kesehatan, serta anak-anak masih belum terlindungi dari berbagai kekerasan dan kekejaman di sebuah kota yang sudah menyandang KLA. 


Sebagaimana, di daerah Mojokerto. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Mojokerto menyabet penghargaan Kota Layak Anak (KLA) kategori Madya. Namun penghargaan ini pun mendapat kritika dari Aktivis perempuan Mojokerto, Ana Yuskristiyanigsih.  Ia menilai jika penghargaan yang diterima dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia itu, bertolak belakang dengan realitas. 


Sebab menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Mojokerto jika angka anak terlantar di Kabupaten Mojokerto terbilang cukup tinggi pada tahun 2020 sebanyak 3.942 anak, baik laki-laki maupun perempuan (Faktualnews, 09/08/2021).


 Seyogianya, sebuah program harus dibarengi dengan adanya aksi nyata dan bukti konkrit terhadap aktivitas tersebut, bukan hanya sekedar memenuhi dokumen semata. 


Daerah Mojokerto hanya secuil dari bukti jika hak-hak anak masih banyak yang belum terpenuhi. Bahkan dari pernyataan di atas mengindikasi bahwa upaya pemerintah untuk mendapatkan penghargaan KLA berjalan terpisah dengan upaya pemenuhan hak-hak anak serta menjamin perlindungan mereka. Pemerintah hanya terfokus kepada urusan administrasi saja, namun minim kebijakan untuk melindungi hak-hak anak. 


KLA seyogianya sebuah program dengan tujuan yang sangat apik, namun program tersebut tidak akan mampu menyelesaikan problem anak-anak. Sebab, KLA hanyalah masalah teknis yakni bagaimana cara mencapai target sesuai kriteria yang ditentukan oleh pusat kepada daerah, akan tetapi penguasa baik pusat maupun daerah seakan lupa jika kehidupan di sekitar anak yang syarat akan liberalisme, gaya hidup hedonis, serta kesenjangan ekonomi yang kian tampak dan tak lupa pula swastanisasi di berbagai bidang yang menjadi kewajiban negara. 


Kapitalisme membuat negara berlepas tanggung jawab untuk menjamin terpenuhinya seluruh kebutuhan rakyatnya. Menjadikan negara hanya berfungsi sebagai regulator semata, sedangkan yang berperan aktif untuk melaksanakan tugasnya yakni swasta atau para kapitalis. Alhasil, semua dijadikan ladang bisnis. 


Harga kebutuhan pokok yang kian tinggi, membuat pemenuhan gizi kepada balita atau anak-anak sangat sulit dilakukan oleh orang tua. Banyak keluarga yang bekerja hari ini untuk makan hari ini, sedangkan untuk besok mereka harus berpikir bagaimana untuk mendapatkan makanan untuk hanya sekedar mengenyangkan perut mereka.  


Kemudian, pemenuhan kebutuhan rakyat yang harusnya diberikan secara gratis juga harus diswatanisasi atau dijadikan sebagai ajang bisnis. Sebuah saja, kesehatan yang harusnya bisa dinikmati oleh seluruh rakyat, namun dalam kapitalisme rakyat harus merogoh kocek dalam-dalam ketika ingin berobat, bahkan ada slogan "rakyat miskin dilarang sakit" akibat tingginya biaya kesehatan.  Begitupun dengan biaya pendidikan yang kian membumbung. 


Lebih lanjut sistem inipun tidak mampu menuntaskan kasus kekerasan yang terjadi kepada anak. Sistem sanksi yang tidak menjerakan serta bebasnya tayangan media menjadi salah satu menyumbang banyaknya kasus kekerasan kepada anak makin merajalela. Inilah seyogianya problem utama anak yang harusnya diselesaikan secara tuntas. 


Bagaimana mungkin anak bisa tumbuh dan berkembang dengan baik serta terjamin hak-haknya jika negara yang menjadi pelindung dan pelayannya justru berlepas tanggung jawab?


Oleh karena itu, problem anak tidak akan terselesaikan di dalam Kapitalisme. Sebab, kapitalisme hanya menyibukkan penguasa dengan berbagai program fatamorgana, tanpa menyentuh akar masalahnya.  Bahkan, solusi-solusinya sering kali menimbulkan masalah baru yang tak kunjung teratasi.  Sehingga, hanya Islam lah yang mampu menyelesaikannya, sebab Islam adalah sistem paripurna yang datang dari Sang Pencipta. 


Islam memandang bahwa anak adalah calon agen of change. Dalam diri generasi muda diyakini memiliki keistimewaan berupa hiddatul uquul (ketajaman aqal) yang cemerlang yang nantinya akan mampu mencari solusi terhadap berbagai problem umat, serta membawa umat ke arah perubahan mulia. 


Sehingga, Islam menuntun negara untuk melaksanakan kewajibannya yakni memenuhi kebutuhan per individu rakyat, mulai sandang, pangan dan papan hingga pendidikan, kesehatan dll sesuai syara. Semua hal tersebut diberikan secara gratis kepada rakyat, dan negara pun memastikan jika seluruh rakyat mendapatkan kesejahteraan termaksud anak-anak. 


Negara memastikan jika harta berputar kepada seluruh rakyat, tidak ada kesengajaan ekonomi antara si kaya dan miskin, yang ada yakni saling peduli antara sesama rakyat, sebab dasar kehidupan adalah menggapai ridho Allah. 


Negara memastikan jika rakyatnya terlindungi dari berbagai tindak kejahatan dan apapun yang dapat menghantarkan kepada kemaksiatan. Semua itu didukung dengan penerapan sistem yang berlandaskan akidah Islam, mulai dari sistem pergaulan hingga perpolitikan. 


Dengan demikian maka rakyat akan mendapatkan haknya, tumbuh dna berkembang  menjadi generasi yang unggul, serta terhindar dari kejahatan.


 Wallahu a'lam bissawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak