Oleh Nur Hasanah
Aktivisi Dakwah Islam
Kasus dugaan korupsi dan pencucian uang atas nama Rafael Alun Trisambodo (RAT), seorang pejabat Ditjen Pajak, menambah deretan panjang ketidak percayaan rakyat kepada pejabat negara. Kasus ini tentu bukan kasus yang pertama. Ada ratusan kasus korupsi dan pencucian uang yang telah terungkap dan telah diadili pelakunya. Tetapi hal itu tidak mampu membuat jera pelaku lain untuk melakukan korupsi. Terus saja bermunculan nama koruptor baru yang menambah panjang daftar nama pelaku korupsi.
Aksi korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara memang mustahil dilakukan seorang diri. Biasanya satu kasus korupsi akan menyeret beberapa nama lain yang turut terlibat dalam melakukan aksinya. Begitu juga dengan kasus RAT yang telah menyeret nama-nama baru. Tidak salah bila Indonesia mendapat rapot merah dalam hal korupsi. Transparency International meluncurkan hasil Indeks Persepsi Korupsi/IPK tahun 2022 di angka 34. Ini merupakan yang terburuk sepanjang era reformasi. (Voaindonesia.com, 01/02/2023)
Hukum Demokrasi Tidak Tegas Kepada Pelaku Korupsi
Korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara adalah kejahatan besar karena akan berpengaruh dengan pelayanan negara kepada rakyatnya. Sangat wajar bila rakyat menolak membayar pajak sebagai respon kekecewaannya. Apalagi sumber utama pendapatan negara adalah berasal dari pajak yang dipungut paksa negara kepada rakyatnya. Rakyat bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin berat. Di waktu yang sama, rakyat juga harus mengeluarkan uang untuk membayar pajak. Dengan dalih untuk pembangunan negara, nyatanya uang pajak digunakan untuk memperkaya diri para pejabatnya.
Terungkapnya kasus korupsi yang dilakukan oleh para pejabat negara, tidak membuat rakyat lega. Karena pelaku korupsi yang baru akan hadir sebagai penggantinya. Ketegasan hukum dalam demokrasi sangat lemah sekali. Korupsi seperti pekerjaan yang terhormat. Pelakunya seolah kebal hukum sehingga mereka bangga menjadi koruptor. Alih-alih merasa bersalah dan menyesal atas tindakannya. Mereka kerap kali terlihat tersenyum lebar di hadapan media. Mereka terlihat bahagia walaupun dalam keadaan tangannya terikat borgol dengan baju oranye yang dikenakannya. Mereka seperti merasa puas telah merampas hak rakyat dengan mengambil uang negara.
Hukum bisa dibeli. Fasilitas yang di dapat pelaku korupsi yang sudah divonis hukuman penjara pun sangat istimewa. Dari ruang VIP layaknya hotel, gadget, kebebasan keluar masuk penjara, dan lain-lain. Tentu fasilitas itu tidak gratis. Ada tarif yang harus dibayar untuk mendapatkannya. (Kompas.com, 22/07/2018) Uang hasil korupsi bisa digunakan untuk membayarnya.
Peradilan Sistem Demokrasi alurnya sangat panjang. Petugas hukum bisa menyelesaikan satu kasus dalam waktu bertahun-tahun. Banyak tenaga, waktu dan uang yang harus dikeluarkan untuk memproses tersangka menjadi terdakwa. Dalam kasus RAT, meskipun sudah lebih dari 10 tahun PPATK mengendus transaksi mencurigakan, nyatanya RAT masih bebas melenggang dan memperbanyak harta yang dicurigai hasil korupsi dan pencucian uang.
Ada lagi jalur naik banding bagi terdakwa bila tidak puas dengan keputusan hukum yang di terimanya.Hal ini menjadi celah yang bisa dimanfaatkan untuk memainkan strategi agar mendapatkan sanksi hukum yang ringan. Uang hasil korupsi bisa digunakan untuk senjata. Selain itu pelaku korupsi juga bisa mendapat remisi (potongan masa tahanan) bila memenuhi syarat berkelakuan baik.
Tidak ada alasan untuk menyesal karena telah melakukan korupsi. Dengan korupsi, mereka bisa hidup mewah. Dengan korupsi mereka bisa membeli kenyamanan dan kebebasan. Walau sedang mejalani vonis penjara, para koruptor masih bisa ikut sebagai kandidat terpilih dalam pemilihan umum.
Jadi tidak ada efeknya berada di dalam penjara bagi kebebasan mereka. Karena pelaku korupsi tidak bisa dilakukan sendiri, maka mereka akan saling melindungi. Agar pelaku korupsi yang tidak tertangkap, tidak perlu masuk penjara. Memberantas korupsi seperti jauh panggang dari api karena hukumnya tidak tegas bahkan bisa dibeli.
Peradilan Islam untuk Kasus Korupsi
Korupsi dalam Islam adalah kejahatan yang dilakukan seseorang yang memiliki jabatan dan dia tidak amanah dalam menjalankan tugasnya. Korupsi dan mencuri, walaupun sama-sama mengambil hak milik orang lain, tetapi berbeda secara keberadaannya. Untuk korupsi, keberadaan benda yang diambilnya ada di dalam kuasanya tetapi bukan haknya. Sedang untuk mencuri, keberadaan bendanya bukan di wilayah kekuasaannya dan juga bukan haknya.
Pelaku korupsi bisa digolongkan sebagai perbuatan curang, penipuan dan penghianatan terhadap amanah. Tindak korupsi termasuk dalam kelompok tindak pidana takzir dimana hakim diberi otoritas penuh untuk menentukan sanksi yang sesuai dengan ketentuan syariat.
Sanksi yang diterapkan dalam pidana korupsi, bervariasi sesuai dengan tingkat kejahatannya. Mulai dari sanksi material, penjara, pemecatan jabatan, cambuk, pembekuan hak sampai hukuman mati. Hukuman bervariasi karena tidak adanya nash qath'i (pasti) yang berkaitan dengan tindak kejahatan korupsi.
Sanksi dalam Islam sangat tegas dan keras. Tidak ada tawar menawar apalagi bermain suap untuk membeli kebebasan. Bila memang pelaku terbukti bersalah maka sanksi akan ditegakkan. Sanksi yang ditegakkan bertujuan untuk menebus dosa dan sebagai efek jera agar orang lain tidak mengikuti perbuatan korupsi. []
Tags
Opini