Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan Keluarga
Kasus penyiksaan yang dilakukan anak seorang petinggi perpajakan, membawa warna baru dalam dunia pengadilan. Kasus yang awalnya bernuansa kriminalitas ini, melebar menjadi kasus korupsi yang kental di kehidupan pejabat tinggi.
Kekayaannya yang sangat fantastis, serta gaya hidup keluarganya yang hedonis, dinilai tidak sepadan dengan pendapatan yang diperolehnya sebagai pejabat pegawai pajak. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pun mengakui, sejak 2012 telah menemukan kejanggalan dalam harta kekayaan milik Rafael Alun Trisambodo (RAT). Terdapat beberapa transaksi mencurigakan dalam jumlah sangat besar, termasuk transaksi yang menggunakan nominee atau pihak ketiga.
Di tengah masyarakat, keberadaan mafia pajak memang sudah dimaklumi secara terbuka. Publik pun tidak akan pernah lupa dengan berbagai skandal yang dilakukan para pegawai pajak dan institusi lainnya, mulai level bawah hingga level pejabat.
Pada 2010—2011, misalnya, kasus Gayus Tambunan begitu fenomenal. Pegawai yang golongannya masih IIIA dan bergaji Rp12,1 juta per bulan, ternyata punya kekayaan lebih dari 100 milyar. Saat diputus hukuman 8 tahun, ia meminta banding. Lalu terbukti menyuap aparat penegak hukum dan memalsukan paspor hingga hukumannya diperberat menjadi 29 tahun.
Pada 2013, Denok Tapiveriana terbukti melakukan suap untuk memuluskan restitusi pajak sebesar Rp21 miliar dan pencucian uang. Lalu selain mereka, ada pula Tommy Hindratmo, Dadan Ramdani, Totok Hendriyatno, Angin Prayitno Aji, dan lain-lain yang skandalnya melibatkan cuan mencapai ratusan trilyun rupiah.
Bisa dibayangkan betapa muak perasaan masyarakat. Di satu sisi, mereka terus diburu dan dipalak dengan berbagai pungutan pajak. Dalam sistem sekuler kapitalisme neoliberal, pajak memang menjadi sumber terbesar bagi pemasukan keuangan negara. Ia bersifat memaksa, dan dipungut dari rakyatnya sebagai hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara.
Di sisi lain, korupsi dan skandal mafia pajak terus bermunculan. Padahal sejauh ini, gaji dan tunjangan para pegawai pajak tergolong paling tinggi di antara pegawai negara lainnya.
Sebagai din yang sempurna, Islam mengatur soal sumber-sumber keuangan negara. Sandarannya sendiri tidak lain adalah ketetapan syariat yang digali dari Al-Qur’an dan Sunah Rasulullah saw.. Inilah yang menjamin pelaksanaannya akan membawa kebaikan dan manfaat bagi semua pihak, jauh dari kezaliman.
Dalam Islam, haram mengambil utang yang akan menggadai kedaulatan negara. Haram pula menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara.
Pajak dalam Islam hanya akan dipungut negara saat sumber-sumber pemasukan tadi sama sekali tidak ada hingga menyebabkan kas negara kosong adanya. Itu pun tidak semua warga negara dipungut pajak. Yang dipungut hanya orang-orang kaya saja dan akan dihentikan jika kebutuhan negara sudah tercukupi.
Kisruh pajak sejatinya hanya satu dari daftar panjang problem yang lahir dari kepemimpinan sekuler kapitalis liberal. Kasus-kasus seperti ini akan terus bermunculan dan kian menjauhkan umat dari kehidupan yang sejahtera dan penuh keberkahan. Maka, jalan satu – satunya untuk menyelesaikan ini adalah dengan mengganti sistem kapitalis liberal, dengan sistem Islam yang penuh keagungan.
Wallahua’lam bi ash showab.